Allah Ta’ala berfirman,
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran, 3: 110)
Ayat ini menyebutkan bahwa umat
yang paling baik di dunia adalah umat yang mempunyai dua macam sifat, yaitu
mengajak kepada kebaikan serta mencegah kemungkaran, dan senantiasa beriman
kepada Allah. [1]
Semua sifat itu telah dimiliki
oleh kaum muslimin di masa nabi dan telah menjadi darah daging dalam diri
mereka karena itu mereka menjadi kuat dan jaya. Dalam waktu yang singkat mereka
telah dapat menjadikan seluruh tanah Arab tunduk dan patuh di bawah naungan
Islam, hidup aman dan tenteram di bawah panji-panji keadilan, padahal mereka
sebelumnya adalah umat yang berpecah belah selalu berada dalam suasana kacau
dan saling berperang antara sesama mereka. Bahkan Islam semakin melebarkan
sayapnya hingga ke wilayah-wilayah Persia dan Romawi serta tersebar ke seluruh
penjuru bumi. Ini adalah berkat keteguhan iman dan kepatuhan mereka menjalankan
ajaran agama dan berkat ketabahan dan keuletan mereka menegakkan amar makruf
dan mencegah kemungkaran.
Namun, pada masa selanjutnya kaum
muslimin mengalami degradasi; diawali dengan terjadinya perpecahan politik,
fanatisme, perebutan kepemimpinan dan jabatan. Tumbuhnya pertentangan keagamaan
dan madzhab, sikap berpaling dari kitabullah dan sunnah Rasulullah, jumud dan
fanatisme terhadap pendapat, serta gemar berdebat semakin melemahkan kekuatan
mereka. Kondisi ini semakin parah ketika kebanyakan mereka tenggelam dalam
berbagai kemewahan dan kenikmatan, suka bersantai-santai dan melampiaskan
syahwat. Mereka mengabaikan ilmu pengetahuan dan bersikap lengah terhadap
kekuatan musuh-musuhnya. Maka terjadilah kenyataan pahit yang telah disebutkan
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya,
“Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa
lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkok.” Para
sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi
seperti buih air bah dan kalian ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya
lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu
Daud).
Namun, seiring dengan semakin
melemahnya peradaban Barat yang material minded, kini
kesadaran akan kebangkitan umat ini telah tumbuh kembali. Kekotoran atheisme,
permissivisme, hedonisme, sikap egoisme, dan ekonomi ribawi telah membuka mata
generasi baru umat ini untuk segera bangkit. Sebagai bagian dari umat, kita
hendaknya turut berkontribusi dalam gerakan kebangkitan yang kini terus
digelorakan, sehingga dakwah menyebar di seantero negeri mengobati kerusakan
jiwa, dekadensi moral, dan tindakan kriminal; seluruh manusia terbimbing dengan
nilai-nilai dan aturan ilahi yang akan membawa kepada kebahagiaan dan
kesejahteraan.
*****
Di hadapan kita ada medan amal
yang demikian berat. Sebuah kerja besar yang harus dilakukan secara
kolektif (amal jama’i), berbekal iman yang mantap (al-imanul ‘amiq),
pembentukan (pembinaan) yang cermat (at-takwinud daqiq), dan kerja yang
berkesinambungan (al-‘amalul mutawashil). Demi terwujudnya
kebangkitan umat kita harus bekerja keras memancangkan pilar-pilar
penyangganya, ia adalah:
Al-Yaqdhatur Ruhiyah (kesadaran/kebangkitan
ruhiyah)
Inti kekuatan umat ada pada
kekuatan ruhani, bukan pada kekuatan materi. Di sepanjang sejarahnya, dapat
kita ketahui bahwa kekuatan ruhani itulah yang menjadi andalan. Tumbuh darinya
keikhlasan, semangat jihad, tadhiyah (kesungguhan), dan badzli (pengorbanan
jiwa dan raga). Tanpa itu, pertolongan Allah Ta’ala tidak
mungkin akan turun dan kita pun tidak akan mungkin memperoleh kemenangan.
Gambaran tentang hal ini
terungkap dari episode sirah generasi terbaik umat ini. Sebelum terjadinya
Perang Mu’tah, saat para sahabat mempertimbangkan langkah terbaik guna
menghadapi pertempuran yang tidak seimbang—3.000 prajurit melawan 200.000
prajurit—Abdullah bin Rawahah menyampaikan pendapatnya, “Hai kaum, demi
Allah, sesungguhnya apa yang tidak kalian sukai ini adalah merupakan tujuan
keberangkatan kalian. Bukankah kalian menginginkan mati syahid? Kita memerangi
musuh bukanlah dengan mengandalkan jumlah, kekuatan, maupun banyaknya
balatentara. Kita memerangi mereka hanyalah dengan mengandalkan agama ini, yang
dengannya Allah memuliakan kita. Maka dari itu, maju terus! Kita pasti memperoleh
satu dari dua kebaikan, menang atau mati syahid!”
Abu Hurairah berkata tentang
pengalamannya mengikuti Perang Mu’tah, “Aku turut serta dalam perang
Mu’tah. Ketika pasukan musyrikin mendekat, kami melihat perbekalan,
perlengkapan, dan persenjataan mereka tidak ada tolok bandingnya, sehingga aku
sendiri merasa silau. Ketika itu Tsabit bin Arqam bertanya kepadaku: ‘Hai Abu
Hurairah, tampaknya engkau heran melihat pasukan musuh begitu besar bukan?’ Aku
menjawab: ‘Ya benar.’ Tsabit berkata,”Itu karena engkau tidak turut serta dalam
perang Badr bersama kami. Ketika itu kami menang bukan karena besarnya jumlah
pasukan!”
Di dalam sirah diriwayatkan pula
bahwa musuh mana pun tidak akan sanggup bertahan lama menghadapi
sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan
Hireklius sekalipun. Ketika ia berada di Anthakiyah dan pasukan Romawi datang
dalam keadaan kalah, ia berkata kepada mereka, “Celaka
kalian. Jelaskan kepadaku tentang orang-orang yang berperang melawan
kalian! Bukankah mereka manusia seperti kalian juga?” Pasukan Romawi
menjawab, “Betul.”
Hireklius bertanya lagi, “Siapa
yang lebih banyak pasukannya; kalian atau mereka?” Pasukan
Romawi menjawab, “Kami lebih banyak pasukannya beberapa kali lipat di
semua tempat.”
Hireklius berkata, “Kalau
begitu kenapa kalian kalah?”
Salah seorang tokoh Romawi
menjawab, “Karena mereka melakukan qiyamu lail, berpuasa di siang hari,
menepati janji, memerintahkan hal-hal baik, melarang hal-hal mungkar, dan adil
sesama mereka. Sedangkan kita minum minuman keras, berzina, menaiki kendaraan
haram, bersikap ingkar janji, merampok, menzalimi orang,
memerintahkan hal-hal yang haram, melarang hal-hal yang diridhai Allah, dan
membuat kerusakan di bumi.”
Hireklius berkata kepada
tokoh itu, “Anda berkata benar kepadaku.”[2]
Dengan kecerdasannya, tokoh
Romawi itu meringkas sebab-sebab pembawa kemenangan dan sebab-sebab pembawa
kekalahan. Ia jelaskan bahwa pasukan Islam punya seluruh sebab pembawa
kemenangan, sedang pasukan Romawi punya semua sebab pembawa kekalahan.
Allah ta’ala pun menolong siapa yang berhak ditolong dan
menelantarkan siapa yang berhak ditelantarkan. [3]
Maka, pilar pertama yang harus
kita bangun dengan sungguh-sungguh sebelum yang lainnya adalah kebangkitan
ruhiyah.
Allah ta’ala berfirman,
“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah
orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi
pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari
Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu’min
bertawakkal.” (QS. Ali Imran, 3: 160)
“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu,
sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat
kemenangan.” (Q.S. Al-Hajj, 22: 77)
As-Shahwatul Fikriyah (kebangkitan fikriyah/pemikiran)
Selain kebangkitan ruhani, hal
lain yang menjadi pilar kebangkitan umat adalah kebangkitan fikriyah (pemikiran).
Supremasi pemikiran Islam di tengah masyarakat harus diwujudkan. Umat ini harus
menjadi umat yang memiliki kepercayaan bahwa secara konseptual Islamlah yang
paling siap menyelamatkan peradaban dan kemanusiaan ini.
Kita harus berupaya membina diri
dan umat ini agar memiliki pandangan hidup, pola pikir dan ideologi yang sesuai
dengan aqidah Islam. Rela menjadikan Islam sebagai referensi tertinggi dalam
memandang urusan kehidupannya dan meninggalkan sikap mengekor (taqlid)
atau ikut-ikutan (imma’ah) kepada fikrah dan tsaqafah umat/bangsa
lain yang tidak selalu sesuai dengan fikrah dan tasaqafah
Islamiyah.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dengan sabdanya,
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta
sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit
sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat)
berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan
Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Imam Nawawi –rahimahullah–
ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan, “Yang dimaksud dengan
syibr (sejengkal) dan dzira’ (hasta) serta lubang dhab (lubang hewan tanah yang
penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat
mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashrani. Yaitu kaum muslimin mencocoki
mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan dalam hal-hal
kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu mukjizat bagi
beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat ini.” (Syarh
Muslim, 16: 219)[4]
Sedangkan tentang sikap imma’ah (ikut-ikutan),
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kamu menjadi orang yang tidak
punyai sikap. Bila orang melakukan kebaikan maka aku pun melakukannya. Namun
bila orang melakukan keburukan maka aku pun ikut melakukannya juga. Akan
tetapi tempatkanlah diri kalian! Jika orang melakukan kebaikan maka
aku melakukannya. Namun jika orang melakukan keburukan maka aku tinggalkan
sikap buruk mereka.” (HR. Tirmidzi)
Sesungguhnya kaum muslimin telah
memiliki way of life (manhajul hayah) yang sempurna.
Umat ini harus terus meningkatkan komitmen terhadap segala sesuatu yang
bersumber dari ajaran Islam; mencakup aspek keyakinan (al-i’tiqadi),
moral (al-akhlaki), sikap (as-suluki), perasaan (as-syu’uri),
pendidikan (at-tarbawi), kemasyarakatan (al-ijtima’i), politik (as-siyasi),
ekonomi (al-iqtishadi), militer (al-‘askari), dan hukum (al-jina’i).
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sejak awal telah mencontohkan tentang pentingnya
menjaga kemurnian fikrah para pengikutnya. Telah diriwayatkan
secara shahih bahwa beliau sangat marah ketika melihat Umar
bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu memegang lembaran yang di
dalamnya terdapat beberapa potongan ayat Taurat, beliau berkata,
“Apakah engkau masih ragu wahai Ibnul
Khatthab? Bukankah aku telah membawa agama yang putih bersih? Sekiranya
saudaraku Musa (‘alaihis salam) hidup sekarang ini maka tidak ada keluasan
baginya kecuali mengikuti (syariat)ku.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi dan
lainnya).
Al-Ihathatun Nazhariyah (penguasaan
teori/konsep)
Kebangkitan umat akan terwujud
semakin kokoh jika ditopang penguasaan teori/konsep yang mencakup bidang agama
maupun teori/konsep umum. Kita memerlukan orang-orang yang memahami fikih,
syariah, ushuludin, tafsir, hadits, fikih dakwah, fikih ahkam, dan lain
sebagainya; kita juga memerlukan orang-orang yang memahami ekonomi, politik,
sosial, sains, psikologi, teknologi, dan lain sebagainya.
Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah berkata, “Umat
Islam tidak pernah mengenal dikotomi ilmu dan agama, sebagaimana yang terjadi
di dunia Eropa selama berabad-abad. Bahkan berulang kali saya katakan bahwa
ilmu—bagi kita—adalah agama, dan agama adalah ilmu. Ilmu—bagi kita—adalah
ibadah, karenanya menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim dan muslimah.
Kewajiban ini mencakup segala disiplin ilmu yang bermanfaat, baik ilmu duniawi
maupun agama, baik berkategori fardhu kifayah maupun fardhu ‘ain.”[5]
Karena itulah pada masa lalu,
para ulama Islam memiliki kecermelangan prestasi dalam ilmu-ilmu agama maupun
ilmu-ilmu duniawi.
Ibnu Rusyd (wafat th. 595 H)
mengarang sebuah buku yang memuat fiqih perbandingan yang cukup terkenal, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid. Selain itu, ia juga mengarang buku
tentang ilmu kedokteran Al-Kuliyat, yang telah diterjemahkan
dalam bahasa Latin dan menjadi referensi utama orang-orang di Eropa selama
berabad-abad.
Semasa dengan Ibnu Rusyd, di
belahan dunia timur, kita mengenal Fakhruddin Ar-Razy (wafat th. 606 H) yang
karya-karya keagamaannya dalam bidang tafsir, ushul fiqih, dan kalam telah
masyhur. Namun ia juga terkenal kepakarannya dalam bidang kedokteran. Para
penulis biografinya mengatakan bahwa kemasyhuran Ar-Razi dalam ilmu kedokteran
tidak lebih rendah dibanding kemasyhurannya dalam bidang ilmu-ilmu agama.
Masih dalam ilmu kedokteran, kita
mengenal Ibnu Nafis, penemu kapiler darah (wafat th. 687 H) yang juga merupakan
pakar fiqih mazhab Syafi’i. Biografi tokoh ini ditulis oleh Imam Tajuddin
As-Subki dalam bukunya yang terkenal, Tabaqatus Syafi’iyah al-Kubra.[6]
*****
Penguasaan teori/konsep ini
dibutuhkan karena tujuan eksistensi kita di muka bumi ini paling tidak mencakup
dua hal:
Pertama, sebagai ‘ibadullah (hamba
Allah) yang menjalankan tugas peribadahan dan iqamatuddin (menegakkan
agama—yakni memurnikan aqidah tauhid seutuhnya).[7]
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat, 51: 56)
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.” (QS.
Asy-Syura, 42:13)
Kedua, sebagai khalifah—pewaris
dan penguasa di muka bumi yang memiliki tugas untuk melakukan ri’ayah (pemeliharaan)
dan isti’mar (memakmurkannya). Allah Ta’ala berfirman,
“Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi
(tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya.”. (QS. Hud, 11: 61)
Ustadz Attabiq Luthfi hafizhahullah dalam
salah satu tulisannya menyebutkan bahwa ayat di atas oleh Imam Al-Alusi rahimahullah dijadikan
dalil akan kewajiban memakmurkan bumi sesuai dengan kemampuan dan peran setiap
orang yang beriman. Sedangkan menurut Ibnu Asyur rahimahullah,
maksud dari kata ‘isti’mar’ yang sinonim dengan i’mar’ adalah
aktivitas meramaikan bumi dengan penataan bangunan dan pelestarian lingkungan
dengan menanam pohon dan bercocok tanam sehingga semakin panjang usia kehidupan
bumi ini dengan seluruh penghuninya.[8]
Guna menjalankan risalah
udzma (misi agung) ini—yakni misi ubudiyah dan khilafah—kita
sebagai manusia membutuhkan bekal teori, konsep, atau ilmu yang memadai.
Bukankah Adam ‘alaihis salam pun diberikan bekal ilmu sebelum
ia diangkat menjadi khalifah di muka bumi? Renungkanlah firman Allah Ta’ala berikut
ini,
“Dan Dia mengajarkan kepada
Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
malaikat lalu berfirman: ‘Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu
memang orang-orang yang benar!’ Mereka menjawab: ‘Maha Suci Engkau, tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.’ Allah
berfirman: ‘Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.’ Maka
setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman:
‘Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia
langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu
sembunyikan?’” (QS. Al-Baqarah, 2: 31-33).
Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma dan beberapa orang tabi’in rahimahumullah berkata: “Allah
Ta’ala mengajarkan kepada Adam nama-nama semua hal, yang besar maupun yang
kecil.”[9]
Pengertian asma (nama-nama)
pada ayat di atas adalah mencakup segala hal, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
“Allah mengajarkan Adam tentang segala
sesuatu, sampai tentang qash’ah (tempat makanan untuk sepuluh orang) dan
qushai’ah (kurang dari sepuluh).”[10]
Dengan kata lain, Adam ‘alaihis
salam telah diberikan kemampuan mengenali karakteristik segala sesuatu
dan sarana memanfaatkannya. Az-Zamakhsyari berkata: “Allah Ta’ala telah
mengajarkan Adam keadaan segala sesuatu dan semua manfaat yang terkait
dengannya baik manfaat duniawi maupun dini (agama).”[11]
Al-Ma’rifatul
Maidaniyah (pemahaman lapangan)
Dari uraian sebelumnya, semakin
tergambar bahwa upaya penegakan pilar-pilar kebangkitan umat ini bukanlah
perkara yang sederhana. Upaya menumbuhkan kekuatan ruhani, kebangkitan
pemikiran, dan penguasaan teori/konsep tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan. Upaya-upaya ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan situasi
teologis (keagamaan), kultural (budaya), dan struktural (kekuasaan) di
masyarakat.
Pemahaman lapangan yang tepat dan
cermat akan melahirkan kebijakan dakwah yang tepat dan cermat pula. Jika kita
perhatikan dinamika perjalan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,tentu
akan kita temukan contoh kebijakan-kebijakan dakwahnya yang menggambarkan
tentang pemahaman lapangan yang beliau miliki.
Dakwah Sirriyah
Perhatikanlah, kebijakan dakwah sirriyah (sembunyi-sembunyi)
yang beliau lakukan selama tiga tahun di masa awal dakwahnya; seruan kepada
Islam saat itu tidak dilakukan secara terbuka di pertemuan-pertemuan dan
majelis-majelis umum. Tetapi dilakukan berdasarkan pilihan/seleksi. Maka pada
tahapan ini gerak dakwah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil
merekrut semua lapisan masyarakat: orang-orang merdeka, kaum budak, lelaki,
wanita, pemuda, dan orang-orang tua. Bahkan telah bergabung ke Islam ini
orang-orang dari segenap suku bangsa Quraisy, sehingga hampir tidak ada
keluarga di Makkah kecuali satu atau dua orang anggotanya telah masuk Islam.
Syaikh Munir Muhammad
al-Ghadban dalam Manhaj Haraki-nya mengatakan bahwa boleh dikatakan
pada periode sirriyah ini Quraisy lebih banyak memperhatikan
golongan hanif—yang dianut oleh Zaid bin Amer bin Naufal, Waraqah bin Naufal,
dan Umaiyah bin Abu Shalt—daripada kaum muslimin. Hal ini disebabkan
orang-orang hanif itu pernah mengatakan keraguan mereka
terhadap berhala-berhala kaum Quraisy dan sesembahan orang-orang Arab,
sementara kaum muslimin belum pernah menyatakan sikap seperti itu.
Pada periode ini tidak pernah
terdengar adanya ‘benturan’ antara masyarakat Islam yang sedang tumbuh dengan
masyarakat jahiliyyah. Karena fikrah belum diumumkan selain
kepada orang yang ‘dipastikan’ mau bergabung dengan komunitas Islam yang sudah
ada.
Dakwah Jahriyah Setelah
Mendapatkan Jaminan Keamanan
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk
berdakwah kepada kaum kerabatnya.[12] Maka hal pertama yang beliau
lakukan adalah menyampaikan dakwahnya itu kepada Bani Hasyim dan Bani
Mutahallib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan
mereka lalu menyampaikan dan mengajak mereka kepada ajaran Islam. Pada saat itu
beliau langsung mendapat penentangan dari Abu Lahab. Meskipun begitu, kontak
pertama ini telah berhasil meraih dukungan ‘perlindungan dan pembelaan’ dari
Abu Thalib. Ia berkata di majelis itu, “Demi Allah, aku akan tetap
melindungi dan membelamu, tetapi aku sendiri tidak dapat meninggalkan agama
Abdul Muthallib.”
Setelah yakin akan mendapat
pembelaan dari Abu Thalib inilah kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mulai melancarkan dakwahnya secara terang-terangan
kepada khalayak yang lebih luas. Beliau memanfaatkan perlindungan dan pembelaan
Abu Thalib itu untuk terus mengembangkan dakwahnya. Mengomentari hal ini
Rasulullah bersabda, “Quraisy tidak dapat melancarkan suatu tindakan
yang tidak aku sukai, sampai Abu Thalib meninggal dunia.”[13]
Pertemuan-pertemuan Rahasia
di rumah Arqam bin Abil Arqam
Dakwah memang sudah disampaikan
secara terbuka, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
merahasiakan ‘organisasi’-nya demi melindungi perkembangan dakwah dan
pengikutnya. Rasulullah mengadakan ‘pengajian rutin’ secara tersembunyi di
rumah Arqam bin Abil Arqam. Seandainya markaz dakwah ini diumumkan,
niscaya penduduk Makkah akan menyerbu, dan akan mengakibatkan terjadi kontak
senjata antara kedua belah pihak.
Mengapa dipilih rumah Arqam?
Menurut Syaikh Munir Muhammad Ghadban, pemilihan tempat itu untuk mengecoh
orang-orang Quraisy. Pertama, karena Arqam tidak diketahui
keislamannya. Kedua, karena Arqam berasal dari Bani Makhzum
yang merupakan musuh bebuyutan Bani Hasyim—keluarga besar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketiga, karena Arqam saat itu masih
berusia muda, sekitar 16 tahun, sehingga tidak terpikirkan oleh orang-orang
Quraisy jika markaz dakwah itu bertempat di rumah ‘anak kecil’.
Hijrah ke Habasyah
Dalam fase dakwah jahriyah,
kaum muslimin menghadapi berbagai macam tribulasi. Namun, hantaman penyiksaan
itu tidak dilawan oleh kaum muslimin kecuali dengan kesabaran. Bukan karena
mereka penakut. Namun siyasatu dakwah pada saat itu memang
tidak menghendaki adanya perlawanan yang hanya akan menyebabkan musnahnya
‘benih-benih dakwah’ secara keseluruhan.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian bermaksud melindungi para pengikutnya dari
ancaman bahaya, maka beliau bersabda kepada kaum muslimin, “Sebaiknya
kalian pergi ke Habasyah karena di sana ada seorang raja yang adil sekali. Di
dalam kekuasaannya tidak seorang pun boleh dianiaya, disana adalah bumi
kejujuran. Sampai Allah memberikan jalan keluar kepada kalian.”[14]
Meminta Jaminan Keamanan
Sekembalinya dari Thaif
Puncak serangan kaum Quraisy
terhadap Islam adalah pemboikotan. Mereka bersepakat memboikot Bani Hasyim dan
Bani Muthallib, baik yang muslim maupun yang kafir sehingga mengalami
kesengsaraan tidak ada bahan makanan. Boikot ini berlangsung sekitar 3 tahun.
Tidak lama setelah pemboikotan berakhir, Abu Thalib wafat.
Dakwah di Makkah benar-benar
menghadapi jalan buntu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
mengarahkan dakwahnya ke tempat lain, yakni Thaif. Beliau datang ke sana untuk
mencari pembelaan dan menyebarkan Islam. Tetapi beliau ditolak mentah-mentah
dan malah dianiaya. Beliau kemudian kembali lagi ke Makkah setelah mendapatkan
jaminan keamanan dari Muth’am bin Adiy. Sebelumnya beliau meminta jaminan
keamanan kepada Akhnas bin Syuraiq dan Suhail bin Amer, namun ditolak secara
halus.
*****
Peristiwa dari sirah nabawiyah di
atas memberikan pelajaran kepada gerakan dakwah kebangkitan umat untuk
memiliki al-ma’rifatul maidaniyah yang tepat dan cermat.
Mereka harus mengenal bagaimana kekuatan dan sikap para penguasa
struktural—juga para penguasa ekonomi masyarakat—dan masyarakat secara umum.
Sehingga langkah-langkah dan upaya-upaya membangkitkan umat ini dapat terus
berlangsung dan tumbuh berkembang.
Abjadiyatul
Khuthuwath (Sistematika Langkah)
Saat ini kita dihadapkan pada
realita dimana kondisi umat Islam sangat tidak ideal. Mayoritas umat—di
berbagai negeri Islam—kini berada dalam keadaan lemah; baik dalam aspek aqidah,
pendidikan, tsaqafah, dakwah, soliditas, maupun akhlak.[15] Belum lagi ragam problematika
akibat penjajahan begitu nyata terlihat: negeri-negeri muslim tercerai-berai,
pengaruh dan penjajahan bangsa asing dalam aspek ideologi, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya mencengkram kuat; umat kini mengalami kemunduran peradaban,
pola pikir yang keliru merebak, dan kejiwaan mereka pun lemah. Di sisi
lain, kekuatan internasional yang memusuhi Islam memiliki keunggulan
perencanaan, pengorganisasian, dan sarana-sarana yang memadai.
Maka kita harus sabar dalam
meniti jalan dan membangun fondasi yang kokoh. Menggiring umat untuk bergabung
lagi di bawah panji Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,
menuntut langkah bertahap dalam penerapannya. Oleh karena itu, salah seorang
reformis Islam abad ini, Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah merumuskan abjadiyatul
khuthuwath (sistematika langkah) yang dikenal dengan maratibul
‘amal (tingkatan amal) yang hendaknya dilakukan oleh setiap pribadi
muslim dan juga gerakan dakwah demi tegaknya izzul Islam wal
muslimin. Berikut ini rumusan tingkatan amal yang beliau tawarkan:
Pertama, perbaikan
diri (ishlahu nafsih), sehingga menjadi pribadi yang memiliki kekuatan
fisik (qawiyyul jism), akhlak yang kokoh (matinul khuluq),
wawasan yang luas (mutsaqqaful fikri), mampu mencari penghidupan (qadirun
‘alal kasbi), aqidah yang bersih (salimul aqidah), ibadah yang benar
(shahihul ibadah), kemampuan mengendalikan diri (mujahidun linafsih),
kemampuan menjaga waktunya (harisun ‘ala waqtihi), kemampuan menata
urusannya (munazham fi syu’unihi), dan bermanfaat bagi orang lain (nafi’un
li ghairihi).
Kedua, pembentukan
keluarga muslim (takwinu baitin muslim), yaitu dengan mengarahkan
keluarganya agar menghargai pemahaman Islam, menjaga etika Islam dalam setiap
aktivitas rumah tangganya, memilih istri yang baik dan menjelaskan kepadanya
hak dan kewajibannya, mendidik anak-anak dan pembantunya dengan didikan yang
baik, serta membimbing mereka dengan prinsip-prinsip Islam.
Ketiga, bimbingan
masyarakat (irsyadul mujtama’), yakni dengan menyebarkan dakwah,
memerangi perilaku kotor dan mungkar, mendukung perilaku utama, amar ma’ruf,
bersegera mengerjakan kebaikan, menggiring opoini umum untuk memahami fikrah
islamiyah, dan mencelup praktik kehidupan dengannya terus menerus.
Keempat, pembebasan
tanah air (tahrirul wathan) dari setiap penguasa asing—non Islam—baik
secara politik, ekonomi, maupun moral.
Kelima, memperbaiki
kondisi pemerintahan (ishlahul hukumah) sehingga menjadi pemerintah
Islam yang baik, yaitu yang mampu memainkan perannya sebagai khadimul
ummah (pelayan masyarakat).
Yang dimaksud pemerintahan Islam
adalah pemerintah yang anggotanya terdiri dari kaum muslimin yang menunaikan
kewajiban-kewajiban Islam, tidak terang-terangan dengan kemaksiatan, serta
konsisten menerapkan hukum-hukum dan ajaran Islam. Tidak mengapa menggunakan
orang-orang non Islam—jika dalam keadaan darurat—asalkan bukan untuk posisi
strategis.
Beberapa sifat pemerintahan Islam
yang harus diwujudkan adalah: rasa tanggung jawab, kasih sayang kepada rakyat,
adil terhadap semua orang, tidak tamak terhadap kekayaan negara, dan ekonomis
dalam penggunaannya.
Sedangkan beberapa kewajiban yang
harus ditunaikan pemerintahan Islam antara lain: menjaga keamanan, menerapkan
undang-undang, menyebarkan nilai-nilai ajaran, mempersiapkan kekuatan, menjaga
kesehatan, melindungi keamanan umum, mengembangkan investasi dan menjaga
kekayaan, mengukuhkan mentalitas, serta menyebarkan dakwah.
Keenam, mempersiapkan
seluruh aset di dunia untuk kemaslahatan umat Islam (i’adatul kiyani
ad-dauli lil ummatil Islamiyah). Hal demikian itu dilakukan dengan cara
membebaskan seluruh negeri, membangun kejayaannya, mendekatkan peradabannya,
dan menyatukan kata-katanya, sehingga dapat mengembalikan tegaknya kekuasaan
khilafah yang telah hilang dan terwujudnya persatuan yang diimpi-impikan
bersama.
Ketujuh, penegakan
kepemimpinan dunia (ustadziyatul ‘alam) dengan penyebaran dakwah Islam
di seantero negeri. Sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama itu hanya untuk
Allah belaka (QS. Al-Baqarah: 193); Dan Allah tidak menghendaki, selain
menyempurnakan cahaya-Nya (QS. At-Taubah: 32).[16]
Al-Matanatut Tandzimiyyah (Soliditas
Organisasi Gerakan Dakwah)
Gerakan kebangkitan umat
membutuhkan tandzim dakwah yang kokoh; memiliki soliditas,
daya tahan, dan imunitas terhadap berbagai goncangan. KH. Hilmi
Aminuddin—seorang tokoh pergerakan Islam di Indonesia—dalam salah satu
taujihnya menyebutkan bahwa untuk mewujudkan soliditas jama’ah dakwah,
diperlukan adanya istiqrar (ketenangan atau kestabilan) yang
meliputi:
Pertama, istiqraru
nafsi (ketenangan dan stabilitas jiwa para kadernya) yang diraih
dengan al-muta’alliqah billah (hubungan yang erat dengan
Allah Ta’ala). Dengan begitu di dalam jiwanya senantiasa
tertanam tsiqah kepada Allah Ta’ala, watsiqun
binashrillah (yakin pada pertolongan Allah) dan kemenangan yang akan
dianugerahkan dari-Nya. Berbagai tantangan dan tugas berat tidak akan
membuatnya gelisah, karena semua itu selalu disandarkan kepada Allah Ta’ala.
Kedua, istiqraru
a’ili (ketenangan dan stabilitas keluarga para kadernya) karena ia
merupakan labinatun min labinaatul jama’ah, salah satu batu bata
dari struktur jama’ah (organisasi dakwah) ini. Ikatan mahabbah fillah dalam
keluarga para pengemban dakwah harus dibina di atas fondasi wihdatul
aqidah (kesatuan aqidah), wihdatul fikrah (kesatuan
pemikiran) dan wihdatul manhaj (kesatuan pedoman).
Ketiga, istiqraru
ijtima’i (ketenangan dan stabilitas sosial para kadernya) dalam
berkomunikasi dengan tetangga dan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Mereka
harus menjadi husnul jiran (tetangga yang baik) dan mampu
memancarkan keteladanan. Dengan begitu lingkungan di
sekitarnya akan menjadi al-qaidah al-ijtima’iyah (basis
sosial) bagi dakwah.
Keempat, istiqraru
tandzimi (ketenangan dan stabilitas struktur organisasi), yakni bebas
berbagai urusan internal. Tidak direpotkan oleh isu, gosip, kasak kusuk, dan
friksi-friksi internal yang dapat menimbulkan kelemahan organisasi.
Kelima, istiqraru
da’wi (ketenangan dan stabilitas aktivitas dakwah) sehingga tetap bisa
berlangsung. Guncangan apa pun tidak membuatnya terguling; jebakan apapun tidak
membuatnya terperosok; situasi apapun tidak membuatnya terkecoh.
An-Nahdhatul
Harakiyyah (Kebangkitan Gerakan Dakwah)
Kebangkitan umat mustahil akan
terwujud tanpa diawali oleh kebangkitan gerakan dakwah. Diantara indikasi yang
nyata dari kebangkitan gerakan dakwah ialah terwujudnya ta’biyah
afaqiyah (mobilitas horizontal) dan ta’biyah ‘amudiyah (mobilitas
vertikal).
Ta’biah al-afaqiyah (mobilitas
horizontal) adalah bergulirnya dakwah kultural, yakni terjadinya penyebaran
para pengemban dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat agar mereka
menerima manhaj Islam serta produk-produk kebijakan yang islami.
Sedangkan ta’biah al-amudiyah (mobilitas vertical) adalah
bergulirnya dakwah struktural, yakni terjadinya penyebaran para pengemban
dakwah ke berbagai lembaga yang menjadi mashadirul qarar (pusat-pusat
kebijakan) untuk menerjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan
publik.
Dakwah harus mengisi setiap ruang
sehingga seluruh aspek kehidupan masyarakat dapat terwarnai oleh nilai-nilai
ajaran Islam. Oleh karena itu dakwah harus hadir di lingkungan masjid,
pemukiman, pasar, sekolah, kampus, pabrik, perkantoran, dan lain-lain.
Diantara pedoman dan motivasi
amaliyah dakwah adalah nash-nash berikut ini:
Beberapa firman Allah Ta’ala,
“Siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan
berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?’” (QS.
Fushilat, 54: 33)
Kalimat pertanyaan (istifham)
dalam ayat ini mengandung makna peniadaan (nafy). Maka maknanya, tidak
ada satupun yang lebih baik ucapan, langkah, dan kedudukannya di sisi
Allah Ta’ala, daripada orang yang berdakwah di jalan-Nya.
قُلْ
هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ
ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ
أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ
وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا
مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: ‘Inilah jalan
(agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang
yang musyrik’”. (QS. Yusuf, 12: 108)
Tentang ayat di atas, Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata, “Tidaklah
seseorang itu murni sebagai pengikut Muhammad sampai ia mau mendakwahkan
apa-apa yang didakwahkan oleh beliau dengan dasar ilmu yang mendalam.”[17]
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran,
3: 104)
Tentang ayat ini Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Hendaklah ada di antara
kalian sekelompok umat yang menunaikan perintah Allah untuk berdakwah kepada
kebaikan dan amar ma’ruf nahi mungkar, sekalipun dakwah itu wajib pula bagi
setiap individu Muslim.”
Sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
“Sebarkanlah oleh kalian (ilmu yang aku
sampaikan), sekali pun satu ayat!” (HR. Bukhari)
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata, “Dalam
hadits ini Rasulullah mengatakan, ‘sekalipun satu ayat’. Tujuannya agar
semua pendengar dapat segera menyampaikan ayat-ayat yang telah
didengarnya itu kepada orang lain, walaupun sedikit. Sehingga akan berkelanjutanlah
penyampaian ayat-ayat yang didakwahkan oleh beliau.”[18]
“Allah memberikan hidayah kepada seorang
manusia melalui perantaraanmu, hal itu lebih baik nilainya bagimu
daripada mendapatkan unta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk,
maka baginya pahala seperti pahala-pahala orang yang mengikutinya, tanpa
dikurangi dari pahala-pahala mereka itu sedikitpun.” (HR. Muslim).
*****
Demikianlah pilar-pilar
kebangkitan umat yang perlu disiapkan. Sungguh tidak ada daya dan kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah Ta’ala. Semoga Dia senantiasa
menolong dan memampukan kita untuk mewujudkannya. Allahu Akbar wa lillahil
hamd!
CATATAN KAKI:
[1] Al-Qur’anul Karim wa
Tafsiruhu, Depag RI.
[2] Diriwayatkan Ahmad bin Marwan Al-Maliki
dan Ibnu Asakir
[3] Lihat:Taushiyah untuk Aktivis Islam,
Dr. Najih Ibrahim, hal.107 – 108.
[4] Dikutip dari: https://rumaysho.com/3076-mengikuti-gaya-orang-kafir-tasyabbuh.html
[5] Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21, hal.
182 – 183, Era Intermedia, 2001.
[6] Ibid, hal. 182.
[7] Lihat makna Iqamatuddin dalam
Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah, Al-Ustadz M. Thalib, hal. 613.
[8] Lihat: http://www.dakwatuna.com/2011/01/10/10627/menanti-peran-memakmurkan-kita/#ixzz4BJtTk7ju
[9] Lihat Tafsir Al-Qurthubi : I/282, di
dalamnya tersebut tabi’in yang dimaksud yaitu Ikrimah, Qatadah, Mujahid dan
Ibnu Jubair rahimahumullah.
[10] Tafsir Al-Qurthubi: I/284.
[11] Al-Kasyaf – Lihat: Adam as, Al-Bahi
Al-Khuli.
[12] Lihat: QS. Asy-Syu’ara, 26: 214
[13] Lihat: Manhaj Haraki, hal.
83
[14] Lhat: Manhaj Haraki, hal.
73
[15] Lihat madah: Ahwalul
Musliminal Yaum
[16] Lihat: Risalah Ta’alim,
Hasan Al-Banna.
[17] Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1
hal. 154
[18] Lihat: Fath Al-Bari, jilid
6, hal. 575
Komentar
Posting Komentar