Tidak ada manusia yang sempurna. Memang itulah kenyataannya. Akan tetapi, pada waktu yang sama kita juga diperintahkan untuk berusaha menjadi sempurna. Atau, setidaknya mendekati kesempurnaan.
Inilah masalahnya. Adakah kesalahan dalam perintah ini? Tidak! Namun, mengapa kita diperintahkan melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi kenyataan? Jawabannya adalah kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan itu relatif. Ukuran kesempurnaan adalah batas maksimum dari kemampuan setiap individu untuk berkembang. Karena, “Allah membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(Al-Baqarah: 286).
Maka, bergerak menuju kesempurnaan adalah bergerak menuju batas maksimum itu. Akan tetapi, kemudian muncul pertanyaan baru, “Bagaimana cara mengetahui batas maksimum itu?”
Tidak ada jawaban ilmiah yang cukup valid untuk pertanyaan ini, jika jawaban yang kita harapkan adalah ukuran kuantitatif. Bahkan, tokoh-tokoh besar dalam sejarah manusia, kata Syeikh Muhammad Al-Ghazali dalam Jaddid Hayataka, ternyata hanya menggunakan lima sampai sepuluh persen dari total potensi mereka. Berapakah, misalnya, jumlah waktu yang dibutuhkan Einstein untuk menemukan teori realitivitas, jika sebanding dengan total umurnya?
Jadi, ukurannya tidak bersifat kuantitatif. Namun, bersifat psikologis. Yaitu, semacam kondisi psikologis tertentu yang dirasakan seseorang dari suatu proses maksimalisasi penggunaan potensi diri, dimana seseorang memasuki keadaan yang oleh Al-Qur'an disebut “menjelang putus asa.” (Yusuf: 110).
Maka, kesempurnaan itu obsesi. Bila obsesi itu kuat, maka ia akan menjadi mesin yang memproduksi tenaga jiwa, yang membuat seseorang mampu bergerak secara konstan menuju titik kesempunaan. Yang kemudian terjadi dalam kenyataan adalah suatu proses perbaikan berkesinambungan. Karena itu, kadar kepahlawanan seseorang tidak diukur pada awal perjalanan hidupnya. Tidak juga pada pertengahannya. Namun, pada akhirnya; pada perbandingan antara satuan waktunya dengan satuan karyanya dan pada perbandingan antara karyanya dengan karya orang lain. Seseorang dianggap pahlawan karena jumlah satuan karyanya melebihi jumlah satuan waktunya dan karena kualitas karyanya melebihi kualitas rata-rata orang lain.
Itulah sumber dinamika yang dimiliki para pahlawan mukmin sejati: obsesi kesempurnaan. Akan tetapi, obsesi ini mudah dilumpuhkan oleh sebuah virus yang biasanya menghinggapi para pahlawan. Yaitu, kebiasaan merasa besar karena karya-karya itu, walaupun ia sangat merasakan hal itu. Sebab, perasaan itu akan membuatnya berhenti berkarya. Maka, Imam Ghazali mengatakan, “Siapa yang mengatakan saya sudah tahu, niscaya ia segera menjadi bodoh.”
Jadi, musuh obsesi kesempurnaan adalah sifat megalomania. Inilah hikmah yang kita pahami dari turunnya surah Al-Nasr pada saat Fathu Makkah, “Apabila ia datang pertolongan Allah dan kemenangannya, dan engkau melihat orang-orang berbondong-bondong masuk kedalam agama Allah, maka bertasbihlah kepada Tuhanmu dan mintalah ampunan-Nya, karena sesungguhnya Ia Maha Menerima Taubat.”
Rasulullah saw pun tertunduk sembari menangis tersedu-sedu saat menerima wahyu itu, hingga janggut beliau menyentuh punuk untanya. Membebaskan satu negeri adalah karya besar. Akan tetapi, ketika Uqbah bin Nafi' bergerak untuk membebaskan Afrika, beliau hanya mengucapkan sebuah kalimat yang sangat seerhana, “Ya Allah, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Anis Matta
Komentar
Posting Komentar