KEUTAMAAN MENJADI TAKMIR / PENGURUS MASJID
PROF. DR. H.
IMAM SUPRAYOGO Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sekaligus Guru
Besar Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Malang.-
menyatakan, "Sesungguhnya jabatan tertinggi itu bukan rektor atau
presiden, tapi takmir masjid". Sebuah statemen yang cukup menarik untuk
kita renungkan bersama
Beliau mengatakan "Adakah
yang lebih mulia dari pekerjaan takmir masjid yang setiap hari membukakan pintu
masjid, lalu mengumandangkan adzan dan iqamah, menyeru kita untuk shalat dan
menggapai al-falaah atau kesuksesan hidup? Sungguh mulia orang yang memakmurkan
masjid sembari mengajak dan memudahkan orang lain bersujud kepada Allah".
Pendapat Prof. Imam memang benar
adanya. Jabatan apapun memang bisa dijadikan sarana ibadah dan dakwah, tapi
untuk merealisasikannya tidak mudah. Setiap jabatan, apalagi yang disertai
bayaran, tunjangan, aneka fasilitas, apalagi ketika meraihnya masih perlu trik
politik dan berbagai persoalan lainnya, maka jelas sekali jabatan selain takmir
masjid amat sulit dijadikan sebagai sarana untuk ibadah dan dakwah.
Berbeda dengan takmir masjid yang
pada umumnya tanpa disertai tunjangan alias gratis, maka dengan segala jerih
payah dan pengabdiannya untuk melayani para hamba Allah yang hendak bersujud,
jelas pekerjaan itu amat mulia. Bahkan, andaikan takmir itu pun diapresiasi
dengan gaji, misalnya, aktivitas memakmirkan masjid itu masih tetap unggul.
Mengingat, masjid merupakan baitullah atau rumah Allah. Segala hal yang
dinisbatkan kepada Allah, pasti lebih unggul daripada yang lainnya.
Hal yang perlu dipahami adalah
bahwa istilah "Takmir Masjid" tidak hanya sebatas pada ketua,
bendahara, sekretaris, koordinator seksi-seksi dan semua jabatan yang biasanya
terstruktur dalam organisasi ketakmiran. Akan tetapi, secara luas, kata
"Takmir Masjid" adalah sebuah predikat yang berarti
"memakmurkan, meramaikan, memuliakan dan melayani segala hal yang terkait
dengan kemasjidan". Artinya bahwa semua orang meski bukan termasuk
pengurus masjid, tapi ia tetap melayani keperluan ibadah di masjid, maka ia pun
disebut "Takmir Masjid".
Oleh karena itu, siapa saja bisa
menjadi takmir, dan bahkan seharusnya setiap muslim melekatkan pada dirinya
bahwa dialah takmir masjid yang harus memakmurkan baitullah dengan segala daya
dan upaya. Meski secara struktural, namanya tidak tercantum, tapi kewajiban
untuk mengagungkan masjid adalah kewajiban personal dan tanggung jawab setiap
muslim. Para pengurus masjid hanyalah orang-orang tertentu yang ditunjuk atau
diberi amanah lebih untuk memanajemen urusan teknis kemasjidan. Sedangkan
secara luas, segala keperluan masjid dan apapun yang berkaitan untuk
kemaslahatannya adalah tanggung jawab bersama.
Ada banyak hal yang berhubungan
dengan aktivitas ketakmiran. Misalnya, menjadi imam shalat rawatib, membuka
pintu masjid, menjaga kebersihan masjid, mengupayakan penggalangan dana,
mewaqafkan tanah untuk masjid, menyisihkan sebagian harta untuk kebutuhan masjid,
menjadi muadzin atau bilal, menjaga keamanan dan ketertiban, mengikuti
pengajian dan segala aktivitas ibadah yang diselenggarakan di masjid, ikut
andil sebagai remaja masjid, dan banyak lagi aktivitas lain yang terkait dengan
masjid.
Banyaknya aktivitas itu merupakan
peluang bagi siapa saja untuk menjadi takmir masjid. Setiap orang, dengan skill
dan kemampuannya sendiri, bisa memposisikan diri sebagai takmir dengan
menyumbangkan apa yang ia bisa dan apa yang ia punya untuk memakmurkan rumah
Allah. Karena begitu banyaknya aktivitas kemasjidan dan melibatkan banyak orang
atau jamaah, maka diperlukan pengurus atau orang-orang tertentu yang dipilih
untuk mengorganisasir sehingga ada ketua takmir, wakil takmir, bendahara, dan
seterusnya.
Namun, bukan berarti hanya para
pengurus itu saja yang berkewajiban terhadap urusan ketakmiran. Semua orang
harus merasa memiliki masjid dan bersemangat memberikan karya terbaiknya untuk
kemaslahatan tempat ibadah yang suci itu.
Ketika suatu hari ada seseorang
sedang mengangkat sebuah balok kayu untuk pembangunan masjid dan dia
melakukannya sendirian, tiba-tiba Khalifah Ali bin Abu Thalib yang kebetulan
lewat dan melihat peristiwa itu, beliau segera menghampiri orang tersebut.
"Mengapa kamu akan masuk surga sendirian? Bantulah saudara-saudaramu yang
lain dan ajaklah mereka bekerja sama memakmurkan masjid ini", kata Sayidina
Ali.
Peristiwa ini menunjukkan betapa
banyak peluang untuk masuk surga dalam berkhidmat untuk masjid sehingga sangat
tidak bijak jika dilakukan sendirian. Sebaliknya, betapa teganya kita
membiarkan hanya segelintir orang saja yang berkhidmat untuk masjid tanpa kita
bersedia membantu mereka, padahal kita mampu. Ketika kita acuh tak acuh dan
tidak mau bekerja sama dalam berkhidmat untuk masjid, maka sama saja kita telah
berlepas diri dari kumpulan orang-orang yang kelak dibahagiakan Allah di surga.
Lebih lanjut lagi, Rasululullah
saw menjanjikan terhadap orang yang hatinya selalu terikat dengan masjid,
benaknya tak luput untuk terus memikirkan kemaslahatan masjid meski harus
menghadapi tantangan dari sana-sini, maka orang seperti itu dijanjikan akan
memperoleh naungan atau perlindungan Allah di hari kiamat kelak. Hari yang tak
satu pun ada naungan perlindungan melainkan dari Allah swt.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau Shallallahu‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada
hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam yang adil, (2)
seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang
yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan
Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang
laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi
cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6)
seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya
sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta
(7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan
air matanya.” (
Bukhari & Muslim )
Singkat kata, melihat kemuliaan dan balasan dari
Allah berupa surga dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak, maka jabatan takmir
masjid seharusnya diperebutkan secara personal. Artinya, setiap orang di dalam
dirinya harus memposisikan diri sebagai takmir atau person yang akan selalu
setia memakmurkan masjid Allah secara tulus. Dan, al-Quran memberi tanda-tanda
tentang siapa takmir masjid itu? Yaitu, orang yang beriman kepada Allah dan
tidak takut kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah.
Janji Rasulullah ini pasti benar dan pernyataan Sayidina
Ali juga benar. Kini, semua kembali kepada setiap pribadi seorang muslim.
Apakah dia bersedia menjabat dan menjadi takmir untuk meraih kebahagiaan di
akhirat ataukah tidak? Bagi orang yang memiliki visi dan misi ke depan
(akhirat), jelas tugas dan posisi takmir untuk memakmurkan masjid Allah, tidak
akan disia-siakannya.
Dr. H.
R. Taufiqurrochman, MA
Komentar
Posting Komentar