Oleh: Dhana Rosaeri
Aktivis Dakwah, dhanarosaeri@yahoo.co.id
Anak emas Sultan ini, tak pernah merasakan getirnya kehidupan,
selalu bergelimang harta dan hiburan, tak pernah sekalipun merasakan kerasnya
pendidikan. Guru-guru yang pernah dihadirkannya pun, tak pernah luput dari
pelecehan sang anak Sultan, ditertawakan, dicemooh menjadi santapan sehari-hari
guru-gurunya.
Namun, Sultan Murad II, ayahnya, tak kurang akal, dia mencarikan
guru yang paling cakap membentuk kharakter, akhirnya dia memanggil Syeikh Ahmad
bin Ismail Al Qurani dan Syeikh Aaq Syamsudin. Berkat pendidikan kharakter dan
pendidikan Islami, kelak Sang Anak itulah yang bergelar Sultan Muhammad
Al-Fatih (Sang Penakluk). Sultan yang mampu menaklukkan sebuah benteng paling
kuat dalam sejarah, 1000 tahun lebih tak tergoyahkan dan selama 825 tahun
penantian atas kebenaran Sabda Nabi akan takluknya benteng Konstantinopel oleh
Sultan terbaik.
Pukulan Guru, Membentuk
Karakter Pemimpin
Menjadi anak manja, bandel, dan susah diatur merupakan hal yang
wajar dan umum terjadi, apalagi jika si anak tersebut selalu dilindungi orang
tuanya ketika mendapatkan masalah. Nampaknya hal ini juga terjadi pada Muhammad
II atau Mehmed II, putra dari sang Khalifah Sultan Murad II, dari Khilafah
Utsmani yang berpusat di Edirne. Kebesaran nama sang ayah menjadi alasan bagi
si anak untuk berperilaku manja dan bandel, sehingga menyulitkan setiap guru
yang mengajarnya untuk taat pada perintah guru.
Sultan Murad II ketika bertemu dengan Syeikh Ahmad bin Ismail Al
Qurani menitip pesan agar mendidik anaknya dengan baik dan sekaligus memberikan
kewenangan penuh untuk memukulnya jika si anak tak patuh. Hal tersebut
disampaikan di depan si anak sambil Sang Khalifah menyerahkan sebuah cemeti
kepada sang guru. Tentu saja, amanah orang tua yang sepenuh hati, tak
tanggung-tanggung kepada sang guru merupakan modal penting bagi guru manapun
untuk mendidik muridnya. Apalagi sang guru tahu dan mengerti cara mendidik yang
baik, menegur hingga memukul murid yang bersalah dengan pukulan yang sesuai
aturan dan terukur.
Tak ayal, Mehmed II mendapat pukulan pertama kalinya dari sang
Guru, yang mana pukulan itu belum pernah dia rasakan dari guru-guru sebelumnya.
Tentu saja si anak kaget dan terperanjat dengan kejadian yang baru dialaminya
itu, namun dia tak bisa melawan, sang guru mendapat legitimasi penuh dari
ayahnya untuk memukul jika bersalah. Saat itulah, momen titik balik dari si
anak bandel menjadi murid yang patuh dan taat pada guru.
Mehmed II berubah menjadi anak yang sholeh, hafidz Qur’an di
usia emas, 8 tahun, selanjutnya menguasai 7 bahasa asing dan menguasai
ilmu-ilmu politik, ekonomi, strategi perang, dsb. Legitimasi guru untuk memukul
disandarkan pada Sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Perintahkanlah anakmu
shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah dia karena (meninggalkan)nya pada
usia 10 tahun dan pisahkan tempat tidur mereka.”(HR. Abu Daud no 495 dengan
sanad hasan).
Pukulan mendidik bukanlah pukulan telak yang mematikan saraf,
penuh emosi dan kebencian serta pukulan bertubi-tubi hingga menimbulkan trauma
bagi si anak didik. Pukulan tersebut hanya bertujuan menimbulkan ‘shock terapy’
bagi si anak, membuat anak berfikir untuk tidak melakukan pembangkangan
terhadap perintah guru, serta menunjukkan kewibawaan dan keseriusan guru dalam
mendidik. “Janganlah seseorang mendera lebih dari sepuluh kali deraan, kecuali
dalam hukuman (hudud) yang ditentukan Allah Ta’ala-“ H.R. Ibnu Taymiyyah, serta
dalam sebuah sabda Nabi Muhammad Saw : “Apabila salah seorang di antara kalian
memukul, hendaknya menghindari wajah.” (HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no.
2612)
Ketika Muhammad Al-Fatih Kecil
Tak Salah Namun Dipukul Sang Guru
Guru yang baik dan berwibawa di hadapan muridnya yakni ketika
sebuah hukuman saja sudah mampu membuat ‘kenangan’ tak terlupakan, menjadikan
sang murid tak lagi bermain-main dengan pelajaran dan selalu fokus terhadap
materi pendidikan.
Pukulan kedua ini yang lebih dikenang pahit oleh Muhammad Al
Fatih. Kali ini pukulan datang dari gurunya yang mendampinginya hingga ia kelak
menjadi Sultan, Syeikh Aq Syamsuddin. ‘Kenangan’ pahit dari gurunya itu tak
sanggup dia tanyakan atau protes pada gurunya, saking hormatnya pada sang Guru.
Namun ‘kenangan’ itu tak lekang oleh waktu, terus berkecamuk di benak Sang
Sultan. Hingga pada suatu saat yang tepat, setelah resmi menjadi Sultan
Khilafah Utsmani, dia menanyakan kegundahannya selama ini :
“Guru, aku mau bertanya. Masih ingatkah suatu hari guru
menyabetku, padahal aku tidak bersalah waktu itu. Sekarang aku mau bertanya,
atas dasar apa guru melakukannya?”
Sekian tahun lamanya sang murid menyimpan pertanyaan atas
‘kenangan’ pahit dari sang Guru, namun tak kuasa menanyakannya apalagi menuntut
sang Guru berupa Qishash (balasan memukul), merupakan sebuah pelajaran berharga
bagi kita semua. Bahwa, tindakan guru menghukum untuk kebaikan sang murid
adalah hal yang lumrah dan dibenarkan oleh Syariah. Meski Sang Murid mempunyai
hak tanya terhadap sang Guru, apalagi sang murid tak merasa bersalah dan
menimbulkan kegundahan hati sang murid, mengapa sang guru berbuat dzalim terhadapku?
Inilah jawaban Aq Syamsuddin ketika itu : “Aku sudah lama
menunggu datangnya hari ini. Di mana kamu bertanya tentang pukulan itu.
Sekarang kamu tahu nak, bahwa pukulan kedzaliman itu membuatmu tak bisa
melupakannya begitu saja. Ia terus mengganggumu. Maka ini pelajaran untukmu di
hari ketika kamu menjadi pemimpin seperti sekarang. Jangan pernah sekalipun
mendzalimi masyarakatmu. Karena mereka tak pernah bisa tidur dan tak pernah
lupa pahitnya kedzaliman.” []
Komentar
Posting Komentar