SAAT
ini orang amanah adalah sesuatu yang sangat langka, sementara khianat
merajalela, tersebar di mana-mana. Ada yang mengatakan, “Dalam klan keluarga
fulan terdapat seorang laki-laki yang amanat.” Hal itu menunjukkan betapa
jarangnya orang yang amanah di zaman sekarang ini.
Manusia
mungkin tidak tahu atau mereka lupa, amanah dan rahim (hubungan keluarga) akan
berdiri pada hari kiamat di sebelah kanan dan kiri sirath, -menunjukkan betapa
besarnya permasalahan ini- keduanya menuntut hak kepada setiap orang yang
melewati sirath.
Sekarang
kita terbangkan alam pikiran kita ke masa-masa orang-orang shaleh banyak
ditemui, mereka berjalan di jalan-jalan kota, dan bermuamalah dengan
akhlak-akhlak terpuji, merekalah generasi awal Islam. Di masa mereka sifat
amanah tertanam begitu mendalam di hati-hati masyarakat. Rekam jejak kehidupan
mereka selalu dihiasi kisah-kisah amanah dan kejujuran.
Kita
sering dengar tentang profil pemimpin yang amanah di zaman mereka, dan kita
katakan “Ada tidak ya pemimpin seperti mereka di zaman sekarang?”
Ibnu
Aqil telah mengisahkan tentang dirinya: “Aku pernah menunaikan ibadah haji dan
menemukan kalung mutiara dengan tali berwarna merah. Di waktu berikutnya, ada
seorang laki-laki yang mengumumkan kehilangan kalung mutiara dan menyediakan
uang sebanyak seratus dinar bagi penemunya. Tanpa banyak berpikir, aku
kembalikan kalung itu kepadanya. Laki-laki itu berkata kepadaku, “Amibillah
dinar ini.” Namun aku menolak pemberiannya.
Setelah
itu, aku pergi bersafar ke Syam, mengunjungi Baitul Maqdis lalu ke Baghdad dan
Halb (Aleppo sekarang). Aku bermalam di sebuah masjid di Halb. Malam itu aku
benar-benar merasa kedinginan dan kelaparan, dan itulah awal Ramadhan-ku di
Halb. Tak disangka, masyarakat kampung tersebut menunjukku sebagai imam masjid
karena imam masjid sebelumnya baru saja meninggal.
Mereka
memuliakanku dengan memberi makanan. Setelah itu mereka mengatakan, “Imam
masjid kami memiliki seorang anak perempuan.” Lalu mereka menikahkanku dengan
anak sang imam masjid tersebut. Selama satu tahun aku hidup bersama istriku itu
dan dia melahirkan anak pertama kami. Sampai akhirnya tiba saat-saat
perpisahan. Setelah melahirkan, dalam masa nifas, istriku sakit parah.
Aku
merawatnya dan memperhatikannya, kulihat ia mengenakan sebuah kalung yang aku
kenal. Kalung itu adalah kalung mutiara yang aku temukan pada musim haji. Aku
berkata kepada istriku, “Kalung ini mempunyai cerita.” Kuceritakan kepadanya
kisahku dengan kalung tersebut. Istriku menitikkan air mata mendengar kisahku.
Dia berkata, “Kamulah orangnya. Ayahku pernah menangis, dalam doanya ia
mengatakan, ‘Ya Allah, jodohkanlah putriku dengan seseorang seperti orang yang
menemukan kalung dan mengembalikannya kepadaku’. Allah telah mengabulkan
permohonan ayahku.” Kemudian istriku meninggal. Secara otomatis kalung tersebut
beralih kepemilikannya kepadaku sebagai pewaris istriku. Sepeninggal istriku,
aku pun pulang ke Baghdad.
Kisah
lainnya tentang seorang ulama besar yang terkenal, Abdullah bin Mubarak. Beliau
menceritakan sendiri kisahnya, “Di Syam aku meminjam pena. Aku berniat
mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya, tapi ternyata pena tersebut
masih kubawa. Saat itu aku sudah berada di kota lain, Kota Marwu. Aku kembali
ke Syam untuk mengembalikan pena tersebut kepada pemiliknya.”
Pelajaran:
Kejujuran
dan amanah itu tidak mengurangi jatah rezeki seseorang. Ibnu Aqil, yang
seandainya dia mengambil barang temuannya berupa kalung mutiara, ia bisa
menyimpan kalung itu menjadi milikinya, dan kalung tersebut menjadi rezeki
baginya, tapi rezeki yang ia dapat tersebut diperoleh dengan cara yang haram.
Di kemudian hari, kalung tersebut tetap menjadi bagian dari rezekinya, dan
diperoleh dengan cara yang halal. Dalam bahasa kita, sering kita katakana
“Kalau rezeki tidak akan kemana.”
Penyair
mengatakan,
(Jatah)
Rezeki itu tidak berkurang karena kita bersantai
Dan (jatah) rezeki itu tidak bertambah
dengan bekerja habis-habisan
Seandainya benar itu adalah rezekiku, maka
ia tidak akan berlalu pergi
Walaupun ia berada di relung samudera
terdalam.
Demikian
juga kisah Abdullah bin Mubarak, hanya untuk mengembalikan sebatang pena, ia
rela menghabiskan waktu dan mengeluarkan tenaga untuk kembali ke Syam demi
mengembalikan hak pemilik pena, Masya Allah. []
SUMBER: KISAH MUSLIM
Komentar
Posting Komentar