Marhaban, Ya Ramadhan!

Secara bahasa, kata marhaban berasal dari kata rahuba – yarhubu – rahban, warahabatan wa marhaban yang pada asalnya berarti longgar dan lapang, baik secara fisik, yaitu lapang dan longgarnya suatu tempat, maupun secara psikis, yaitu kelapangan dada dan hati.

Sedangkan kosa kata “ahlan” berasal dari kalimat: “ahalar-rajulu” yang maksudnya adalah memberi informasi bahwa seorang lelaki telah menikah atau telah berkeluarga. Oleh karena itu, kosa kata “ahlun” sering dimaknai sebagai keluarga.

Dan apabila dua kosa kata itu diucapkan sekaligus, sehingga menjadi: marhaban wa sahlan, maka maknanya, sebagaimana dijelaskan oleh para ahli bahasa adalah sebagai berikut:

Al-Ashmu’iy (122- 216 H = 740 – 831 M) berkata: Terkait dengan perkataan banyak orang “marhaban” maknanya adalah engkau telah mendatangi tempat yang luas, longgar dan lapang, bukan tempat yang sempit nan sumpeg. Atau engkau telah mendatangi seseorang yang memiliki hati dan jiwa yang lapang dada.

Sedangkan ucapan “ahlan” maknanya adalah engkau telah mendatangi keluarga sendiri, karenanya engkau bukanlah orang asing, oleh sebab itu, hendaklah engkau merasa nyaman dan jangan merasa kesepian.

Sementara ucapan “sahlan” maksudnya adalah engkau telah tiba di satu tempat yang datar, lunak dan nyaman untuk ditinggali, dan bukan tempat yang berbatu-batu, miring dan sulit ditinggali. Atau, engkau telah tiba di satu tempat di mana seluruh urusan engkau menjadi mudah.

(lihat: Gharibul Hadits karya Ibnu Qutaibah [1/481], juga lihat: Az-Zahir fi Ma’ani Kalimatin-Nas [1/234]).

Pendapat lain mengatakan bahwa makna dari kalimat “marhaban wa ahlan” adalah kalimat do’a yang artinya adalah:

Semoga Allah SWT menjadi dirimu sebagai sebab bagi lapangnya dan luasnya suatu tempat, atau lapangnya dada,

Dan semoga Allah SWT memberikan kepadamu satu keluarga, dan

Semoga Allah SWT memudahkan semua urusanmu.

(lihat: Az-Zahir fi Ma’ani Kalimatin-Nas [1/234]).

Sedangkan kalimat “tarhib Ramadhan” maksudnya adalah mengucapkan kata “marhaban” atas datangnya “tamu” yang berupa bulan Ramadhan.

Maksudnya, kedatangan bulan Ramadhan kepada kita hendaknya disambut dengan sambutan “marhaban” dalam arti:

1.    Disambut dengan memberikan tempat dan ruang yang luas untuk berbagai amal shalih dan segala bentuk ketaatan di dalamnya.

2.    Disambut dengan sukacita dan lapang dada, senang dan gembira layaknya kedatangan seorang tamu istimewa kepada kita.

3.    Disambut sebagaimana disambutnya Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW oleh Saif bin Dzi Yazan saat datang kepadanya (baca tema lain: Sejarah Kalimat Marhaban wa Ahlan).

Atau, hendaknya kita sambut kedatangan bulan Ramadhan dengan do’a, semoga Allah SWT memberikan keluasan dan kelapangan ruang dan waktu serta kelapangan dada dan hati kepada kita untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan bulan Ramadhan dengan berbagai amal shalih yang akan memberi manfaat kepada kita di dunia dan di akhirat, baik untuk diri kita, keluarga kita, masyarakat, kaum muslimin dan umat manusia seluruhnya, amin.


KITA  sering mendengar kata  tarhib  pada setiap menjelang datangnya bulan Ramadhan. Semarak datangnya Ramadhan dihiasi dengan sambutan yang cukup meriah, hampir disetiap daerah secara merata mengadakan tabligh akbar dengan tema yang sama tarhib Ramadhan.

Sebagai seoranpog muslim, mari kita mengenal lebih jauh apa makna dari tarhib yang selalu kita lakukan setiap menjelang Ramadhan. Agar setiap amaliyah yang kita lakukan, selain bermodalkan semangat tentunya juga harus mengetahui ilmunya.

Allah berfirman;

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS: Al Isra [17]:36)

Makna etimologis dan terminologis

Secara etimologis (bahasa), kata tarhib berasal dari fi’il “ra-hi-ba, yarhabu, rahbun”yang berarti luas, lapang dan lebar. Dan selanjutnya menjadi fi’il “rahhaba, yurahhibu, tarhiban” yang mengandung arti menyambut, menerima dengan penuh kelapangan, kelebaran dan keterbukaan hati. (Kamus al-Munawwir).

Menurut Kamus Al-Munjid (Kamus Besar Bahasa Arab),marhaban berasal dari akar kata rahib (ra-ha-ba) yang artinya menyambut. Masdarnya adalah tarhibyang mengandung makna penyambutan.

Kebiasaan orang Arab ketika menyambut tamunya, ungkapan yang biasa mereka sampaikan (ucapkan) adalah: marhaban, maksudnya kedatanganmu aku terima dengan penuh keterbukaan, seisi rumah kami menyambutmu dengan dengan segala kelapangan.

Sebagai catatan, dalam bahasa Arab, kata “tarhib” bisa punya dua makna. Pertama, kata tarhib (pake huruf ha besar), berasal dari rahhaba-yurahhibu atau arhaba-yurhibu, artinya ancaman.  Derivasinya ada kata irhab (teror), irhabiy (teroris).

Kedua, kata “tarhib” (pake huruf ha tipis), dari kata ini lahir kata marhaban (menyambut gembira, senang, dll).

Nah, yang dimaksud “Tarhib Ramadhan”, berarti yang dimaksud adalah menyambut gembira Ramadhan (yang pake ha tipis).

Secara terminologis (istilah), kata tarhib Ramadhan berarti menyambut kedatangan bulan Ramadhan dengan segala kesiapan, keluasan, kepalapangan, keterbukaan dan kelebaran yang dimiliki, baik materil maupun spritual, jiwa dan raga serta segala apa yang ada dalam diri kita.

 

Jadi ketika kita mengatakan: “aku men-tarhib Ramadhan”, itu bermakna kedatangan bulan Ramadhan akan aku sambut secara total, maksimal dan optimal. Antara istilah Tarhib dan Marhaban, secara teori dan makna sama-sama bisa digunakan karena mengandung arti yang sama yaitu menyambut dengan senang hati, gembira, lapang dan secara terbuka lebar.

Ibnu Mandzur (630-711 H), seorang ahli Bahasa Arab pernah menjelaskan bahwa Ramadhan berasal dari kata al Ramadh, yang artinya panas batu akibat sengatan sinar matahari. Ada juga yang mengatakan, Ramadhan diambil dari akar kara ramida, keringnya mulut orang yang berpuasa akibat haus dan dahaga. Dengan pengertian di atas, Ramadhan sebagai simbol sengatan sinar matahari yang bisa mempengaruhi dan memanaskan batu. Sementara batu sering disimbulkan dalam Al-Quran untuk orang yang memiliki hati yang keras. Namun Ramadhan mampu membuat panas dan hati yang sekeras batu bisa terpengaruh. (Misteri Bulan Ramadhan, Yusuf Burhanuddin, QultumMedia)

Gebyar dalam menyambut Ramadhan merupakan bagian dari syi’ar Islam. Warna warni menghiasi segala penjuru nusantara dengan kajian, ta’lim tabligh akbar dengan mengundang para ulama yang sengaja didatangkan dari luar daerah untuk memberikan pencerahan dan pembekalan dalam detik-detik memasuki Ramadhan.

Namun terntunya, kita juga selalu menasehati dan mengingatkan saudara-saudara kita semoga tidak terjerumus ke dalam perkara-perkara yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.

Beberapa hal bisa kita lakukan dalam mentarhib Ramadhan:

Pertama, menyambutnya dengan penuh rasa gembira, karena bulan Ramadhan sangat banyak faedah dan keutamaan-keutamaan yang terdapat di dalamnya, pintu Syurga dibuka, pintu Neraka ditutup. Pahala dilipat gandakan, amalan sunnah menjadi wajib dan masih banyak lagi.

Kedua, mendatangi berbagai kajian puasa Ramadhan  guna meningkatkan pengetahuan tentang Ramadhan. Agar hari-hari yang dilewati semenjak hari pertama sampai terkahir tinggal pemantapan dan pelaksanaan saja.

Ketiga, melakukan persiapan fisik, mental dan spritual. Sejak awal sudah ada perencanaan yang matang mulai dari menyiapkan mushaf khusus untuk tadarrus dan, berazzam membaca tafsir al-Qur’an selama Ramadhan. Membeli buku-buku yang berkaitan dengan pengetahuan puasa jika tidak berkesempatan mengikuti kajian bisa baca sendiri di rumah.

Akhirnya menjadi tahu apa itu tarhibMarhaban yaa Ramadhan.*

 

Tamu agung itu sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Bisa jadi inilah Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang-orang yang pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita, melakukan shalat tarawih dan idul fitri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan sekarang mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’ ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?

Dalam dua buah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kondisi dua golongan yang saling bertolak belakang kondisi mereka dalam berpuasa dan melewati bulan Ramadhan. Golongan pertama digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

 “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Golongan kedua digambarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

 “Betapa banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah), al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani berkata: “Hasan Shahih.”

Akan termasuk golongan manakah kita? Hal itu tergantung dengan usaha kita dan taufik dari Allah ta’ala. Bulan Ramadhan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan, satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan orang-orang mulia.

Oleh sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut merasakan nikmatnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut (Agar Ramadhan Kita Bermakna Indah, nasihat yang disampaikan oleh Syaikh kami Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili pada malam Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurain Madinah. Plus penjelasan-penjelasan lain dari penyusun):


Kiat Pertama: Bertawakal kepada Allah Ta’ala

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah dengan bertawakal kepada-Nya.”

Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah dan memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.

Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:

a. Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap tawakal kepada Allah dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan amalannya. Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa salah satu indikasi taufik Allah kepada hamba-Nya adalah pertolongan-Nya kepada hamba-Nya. Sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.

Menghadirkan rasa tawakal kepada Allah adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah. Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam menjalani bulan Ramadhan.

Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ketika akan beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:

 “Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)


Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.

b. Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Di antaranya: Firman Allah ta’ala,

 “Padahal mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 “Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Muslim)

c. Usai beramal, seorang hamba membutuhkan untuk memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istigfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.

Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun! Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…” Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.

Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) serta silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya. Hati-hati dengan tipu daya setan yang telah bersumpah:

 “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” (QS. Al-A’raf: 16-17)

 

Kiat Kedua: Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba

Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:

 “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim: 8)

Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

 “Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)

Dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga dia tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat (lihat Dampak-Dampak dari Maksiat dalam kitab Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan Adz-Dzunub Wa Qubhu Aatsaariha ‘Ala Al-Afrad Wa Asy-Syu’ub karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48). Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada Allah ta’ala, maka prahara itu akan sirna dan Allah akan menganugerahi taufik kepadanya kembali.

Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya hakikatnya adalah: bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi menjabarkan: Taubat yang sempurna adalah taubat yang memenuhi empat syarat:

1.    Meninggalkan maksiat.

2.    Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.

3.    Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.

4.    Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat: Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38)

 

 

Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.

Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.

Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya

Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:

 “Barang siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)

Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya:

 “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama.” (Lathaa’if al-Ma’arif, karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292)

Orang yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.

Umar bin Abdul ‘Aziz pernah ditanya tentang arti takwa, “Takwa adalah menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram”, jawab beliau. Para ulama menegaskan, “Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampur adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai takwa, meski dibarengi dengan amalan-amalan sunnah.”

Oleh sebab itu para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’ (hubungan suami istri), ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan.

Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya diperbolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang zaman seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa.”

Kiat Keempat: Memprioritaskan Amalan yang Wajib

Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:

 “Dan tidaklah seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)

Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan pada bulan Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid (bagi kaum pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul ihram. Telah diuraikan dalam sebuah hadits:

 “Barang siapa yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan selalu mendapatkan takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat kebebasan’ bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)

 

Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba waktunya. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.

Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!?

Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk peremehan terhadap kewajiban!Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu berjamaah tanpa diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan shalat lima waktu.

Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan-amalan yang wajib seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah seperti shalat tarawih.

Kiat Kelima: Berusaha untuk Mendapatkan Lailatul Qadar

Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa meraih lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1, dan QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa rahmat (QS. Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan! (83 tahun plus 4 bulan) (QS. Al-Qadar: 3).

Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).

Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia ini, seyogyanya seorang muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk meraihnya.


Kiat Keenam: Jadikan Ramadhan Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh, yang Terus Dibudayakan Setelah Berlalunya Bulan Suci Ini

Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita tamat dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam diri kita hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.

Allah ta’ala memerintahkan:

 “Dan sembahlah Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 99)

Tatkala al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau menjelaskan,

 “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya.”

Maka jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima waktu berjamaah di masjid, shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa dan zikir, rajin menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan Ramadhan, mari terus kita budayakan di luar Ramadhan.

 “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab:

 Alangkah buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!

Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah: berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.

Wahai kaum muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.

Bersyukurlah atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan.

Ketidaksiapan yang Berbuah Pahit

Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.[1]

Abu Bakr Az Zur’i menyitir firman Allah ta’ala berikut,

فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)

“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (At Taubah: 83).

Renungilah ayat di atas baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak menyukai keberangkatan mereka dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan dan niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tidak layak menjalankan perintah Allah ta’ala yang penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.

Allah ta’ala berfirman,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١١٠)

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).

Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan

Bila kita menginginkan kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima amalnya serta dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.

Allah ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)

“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At Taubah: 46).

Harus ada persiapan! Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu, dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.

Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.”[2]

Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.

Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, meeka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.”[3]

Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.

Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan,

شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع

“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”[4]

Sebagian ulama yang lain mengatakan,

السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر

“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.”[5]

Wahai kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Ramadhan, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang sebaik-baiknya.

Jangan Lupa, Perbarui Taubat!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.”[6]

Taubat menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki Ramadhan tanpa adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh perjalanan selama mengarungi Ramadhan.

Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Allah ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)

“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).

Taubat yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan tetapi hati kita lalai, akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali terulang. Namun, yang dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat.

Jangan pula taubat tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.

Wahai kaum muslimin, mari kita persiapkan diri kita dengan memperbanyak amal shalih di dua bulan ini, Rajab dan Sya’ban, sebagai modal awal untuk mengarungi bulan Ramadhan yang akan datang sebentar lagi.

Ya Allah mudahkanlah dan bimbinglah kami. Amin.

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Buaran Indah, Tangerang, 24 Rajab 1431 H.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Orang Beriman Menyambut Ramadhan

Bulan ini disebut tamu agung, karena banyak peristiwa agung yang pernah terjadi di dalamnya, diantaranya: Nuzulul Quran, Perang Badar, turunnya wahyu pertama di Gua Hira, meninggalnya paman Nabi tercinta, Abu Thalib, serta istri beliau Khadijah pada tahun ke-10 kenabian,  mulainya diwajibkan Zakat Fitrah pada tahun ke-2 Hijriyah, dimulainya persiapan perang khandak pada tahun ke-5 hijriyah, peristiwa penaklukan kota Mekah atau Fathu Makkah yang terjadi pada tanggal 21 Ramadhan tahun ke-8 Hijriyah, Perang Tabuk pada tahun ke-9 Hijriyah, dan masih banyak lagi peristiwa yang agung lainnya terjadi pada masa awal dakwah Islam dan setelahnya, bahkan kemerdekaan bangsa Indonesiapun terjadi pada bulan ramadhan.

Bulan ini disebut tamu istimewa karena keistimewaan yang dikhususkan padanya, seperti: Lailatul Qadr, yaitu nilai ibadah yang lebih baik dari pada seribu bulan saat orang beriman beribadah pada malam itu, bulan dilipat gandakannya pahala, amalan sunah dihitung sebagai pahala wajib, umrah pada bulan ini mendaatkan pahala sebagaimana haji bersama Rosulullah, dll.

Maka agar keagungan dan keistimewaan ramadhan dapat dirasakan, kemudian dapat dimanfaatkan dengan baik dan optimal, maka selayaknya setiap orang beriman mempersiapkan diri untuk menyambutnya.

Hal yang biasa dilakukan jika seseorang ingin menyambut tamunya, dia akan mempersiapkan dirinya, merapikan ruang tamunya, bahkan mempersiapkan makanan yang juga istimewa untuk disediakan buat tamunya.

 Apalagi  ini adalah tamu agung dan sangat istimewa, yang akan selalu bersama di rumah kita selama satu bulan lamanya. Maka tentu persiapannya bukanlah persiapan biasa-biasa saja, maka akan sangat tidak wajar jika  seorang yang akan kedatangan pejabat saja, ia begitu sibuk mempersiapkan segala sesuatunya agar tidak merasa malu, sedangkan dengan kedatangan ramadhan dia biasa-biasa saja.

Lalu apa yang perlu kita persiapkan untuk menyambut ramadhan ini?

Ada beberapa hal yang harus kita persiapkan agar kita mampu mengisi bulan yang penuh berkah ini dengan kegiatan yang dapat menambah bobot umur kita ketika kita menghadap Allah SWT.

Pertama, Persiapan Individu

Ini adalah persiapan yang paling utama kita lakukan, secara individu kita harus mempersiapkan kedatangan bulan ini secara optimal, karena persiapan ini akan mempengaruhi baik tidaknya kita mengisi amaliah ramadhan. Di antara persiapan individu yang harus kita lakukan adalah:

a.       Persiapan Rohani, ini adalah persiapan yang paling utama karena kekuatan ruh inilah yang akan menjadi motor penggerak segala bentuk ibadah kita, baik sebelum, ketika dan setelah ramadhan. Rasulullah mempersiapkan diri beliau dari sisi ini sangat luar biasa, yaitu dengan melaksanakan puasa sya’ban. Hal tersebut beliau lakukan dalam rangka mempersiapkan dan menyongsong kedatangan bulan Ramadhan. Disamping itu kita dianjurkan untuk banyak istighfar dan memohon serta memberi maaf agar kedatangan bulan suci kita sambut dengan hati bersih dari segala bentuk dosa dan perselisihan, rasa dengki dan penyakit-penyakit hati yang lainnya.  Bahkan para salafus shalih berdoa selama 6 bulan agar mereka disampaikan hingga bulan ramadhan dan kemudian berdoa pasca Ramadhan selama 6 bulan agar ibadah mereka diterima”.

b.      Persiapan Ilmu, agar ibadah kita benar dan sesuai dengan tuntunan Rosulullah maka kita harus memahami ilmunya, untuk itu kita harus membaca dan menelaah buku-buku yang berbicara tentang puasa agar kita dapat mengetahui syarat dan rukun puasa serta hal-hal yang dapat membatalkan serta menghilang nilai puasa, serta banyak permasalahan puasa yang perlu mendapat penjelasan lebih dalam dari ulama dan pakar syariah, tentang hal-hal yang sering terjadi menyangkut ibu hamil dan menyusui yang tidak dapat berpuasa, orang tua yang sakit, serta tentang permasalahan ilmu kedokteran yang ada hubungannya dengan ibadah puasa.

c.       Persiapan Jasmani, tubuh adalah salah satu komponen yang penting dan harus kita persiapkan dalam menyambut bulan ramadhan, karena tanpa jasmani yang sehat kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah puasa, membaca Al-Quran, sholat tarawih dan qiyamullail. Menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh merupakan salah satu modal penting dalam melaksanakan segala perintah Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah bersabda, ”Seorang mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai dari mu’min lemah dan keduanya adalah baik”.

d.      Persiapan Akhlak dan Moral, Agar puasa pada ramadhan tahun ini meningkat dari tahun sebelumnya, sehingga sampai kepada puasa Khawaasul Khawash seperti pembagian Imam Ghazali, yaitu puasanya di dunia karena karena Allah, ia menjaga kepala dan apa yang dibawahnya, menjaga perut dan apa yang di sekelilingnya dan mengingat mati serta apa yang terjadi setelah kematian, menjadikan orientasi hidupnya adalah akherat. Sehingga terhindar dari apa yang disampaiakn oleh Rosulullah,“Berapa banyak orang yang puasa namun mereka tidak mendapatkan dari puasa mereka kecuali lapar dan haus” (HR.Thabrani, Ahmad dan Baihaqi).

 

Diantara hal yang harus dijaga dari saat ini adalah:

1.       Menjaga penglihatan dan menghindarinya dari obyek yang tidak baik. Rasulullah saw bersabda, ”Penglihatan adalah panah dari panah beracun iblis”.

2.       Menjaga lisan dari perkataan yang bathil dan tdk bermanfaat. Rasulullah saw bersabda, ”Apabila kalian sedang berpuasa janganlah berkata dengan perkataan kotor (keji) dan janganlah melakukan perbuatan tercela, apabila ada orang yang menghina katakan kepadanya bahwa saya sedang puasa” (HR. Muttafaq ‘alaihi). Rasulullah saw, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan bohong maka Allah tidak menperdulikan ibadah puasanya” (HR. Ibnu Majah).

3.       Menjaga pendengaran dari hal-hal yang bathil, seperti ghibah, serta hal-hal yang diharamkan lainnya. 

e.      Persiapan Materi, Dari Abi Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw bersumpah tidak ada bulan yang paling baik bagi orang beriman kecuali bulan Ramadhan, dan tidak ada bulan yang paling buruk bagi orang munafik kecuali bulan Ramadhan, dikarenakan pada bulan itu orang beriman telah menyiapkan diri untuk berkonsentrasi dalam beribadah dan sebaliknya orang munafik sudah bersiap diri untuk menggoda dan melalaikan orang beriman dari beribadah” (HR.Imam Ahmad).

Para ulama menjelaskan maksud hadits ini ”dikarenakan orang beriman telah menyiapkan diri untk berkonsentrasi dalam beribadah” adalah: Hal itu dikarenakan orang beriman telah menyiapkan diri dari sisi materi untuk memberikan nafkah kepada keluarganya karena mereka ingin konsentrasi beribadah, sebab memperbanyak Qiyam lail menyebakan mereka harus banyak tidur di waktu siang dan memperbanyak I’tikaf menyebabkan mereka tidak bisa untuk beraktifitas di luar masjid, hal ini semua menyebabkan mereka tidak bisa untuk melakukan aktifitas mencari nafkah, maka itu mereka mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum datang bulan Ramadhan agar mereka dapat berkonsentrasi beribadah serta mendapatkan keutamaan bulan yang mulia ini”.

Dari kitab Shahihain Ibnu ‘Abbas ra berkata ”Rasulullah adalah manusia yang paling dermawan, dan beliau semakin dermawan pada bulan Ramadan ketika berjumpa dengan Jibril untuk bertadarus Al-Quran, kedermawanan Rasulullah ketika itu bagaikan angin yang berhembus”. Maka tanpa persiapan dari sisi materi kita tdk akan mampu mencontoh dan mengikuti kedermawanan Rasulullah saw.     

Kedua, Persiapan Lingkungan Masyarakat

Lingkungan adalah faktor yang penting dalam menyiapkan diri menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan, sebab lingkungan mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung proses pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan.   Di antara hal yang perlu di lingkungan kita adalah:             

         

1.       Rumah, ia adalah lingkungan yang paling utama dalam kehidupan seorang, maka sebagai orang beriman harus mengkondisikan tempat tinggal kita agar dapat menunjang kekhusuan amaliah ibadah kita selama bulan Ramadan. Di antara hal yang harus kita perhatikan dalam mengkondisikan rumah adalah TV, karena TV merupakan media utama pengganggu kekhusuaan ibadah kita, dan akan menghabiskan waktu kita sia-sia dari membaca Al-Quran dan ibadah lainnya.

2.       Tetangga, hal ini dapat kita lakukan dengan berkoordinasi dengan para tokoh masyarakat baik Ketua RT dan RW untuk bahu membahu saling mengingatkan bersama-sama mempersiapkan diri menyambut ramadhan serta saling menjaga kekhusuan selama beribadah di bulan ramadhan.

3.   Masjid dan Mushalla, tempat ibadah juga harus kita siapkan dalam menyambut bulan suci Ramadan, baik dengan cara mengadakan pembersihan serta merapikan di bagian dalam dan di luar tempat sholat, karena dengan masjid dan musholah yang bersih dan rapi serta fasilitas yang memadai akan menambah kekhusuan ibadah tarawih dan I'tikaf bagi orang-orang yang beribadah di sana.

4.   Kantor, tempat bekerja juga  mempunyai peranan yang sangat penting dalam dalam menyambut dan mengoptimalkan ramadhan, karena sebagian besar hari-hari yang dilalui oleh masyarakat perkotaan adalah di kantor. Perkantoran juga dapat mengisi kegiatan ramadhan dengan kajian keilmuan yang bermanfaat bagi karyawannya, seperti ceramah agama setelah sholat zhuhur yang mengupas permasalahan puasa atau permasalahan umum lainnya dengan menghadirkan para ustadz. Atau juga melakukan tadarus Al-Quran di antara para karyawan. Sehingga kantor tersebut juga mendapat keberkahan.

5.    Pasar, agar pelaksaan ibadah selama ramadhan tidak terganggu dengan kesibukan di pasar, keperluan rumah tangga hendaklah mulai disiapkan seperlunya, karena biasanya kebutuhan dan harga meningkat menjelang ramadhan.  Serta harus menjadi kesadaran bagi para pedagang, terutama bagi mereka yang menjual makanan untuk santap siang, untuk juga dapat menghormati kaum muslimin yang berpuasa dengan mengubah jadwal jualannya setelah sholat asar dan setelah tarawih, sehingga nuansa ramadhan juga terlihat bukan hanya di masjid namun juga di pasar. Perlu diyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah, jadi ketika ia menghormati orang yang berpuasa insya Allah keberkahannya akan semakin bertambah.

 

Marhaban, Ya Ramadhan!

Oleh: A Ilyas Ismail

Seperti diwartakan dalam banyak hadis sahih, Rasulullah SAW selalu menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.

Dalam bahasa Arab, kegiatan penyambutan ini dinamai tarhib. Dalam sejumlah sabdanya, Nabi SAW selalu menegaskan kebesaran dan keagungan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah (syahrun mubarak) serta bulan yang di dalamnya ada “malam seribu bulan”. (HR Baihaqi dari Salman Al-Farisi).

Kegiatan penyambutan (tarhib) ini penting sebagai manifestasi dari kerinduan kita kepada Ramadhan. Paling tidak ada empat pesan yang bisa dipahami di balik penyambutan ini.

Pertama, filosofi tarhib ini mengindikasikan secara nyata bahwa apa yang disambut, yaitu Ramadhan dan kebaikan yang ada di dalamnya, adalah hal yang sangat istimewa. Karena pada kenyataannya, kita hanya menyambut hal-hal yang besar dan istimewa.

Kedua, secara kejiwaan (psikologi), tarhib memperlihatkan suasana hati yang riang dan gembira. Hal ini disebabkan paling tidak oleh dua hal. Pertama, Ramadhan bisa diibaratkan sebagai “tamu agung” yang mau menemui kita. Kedua, Ramadhan adalah “momentum”, yakni momentum perubahan dan perbaikan diri, baik sebagai individu maupun umat. Sebagaimana diketahui, momentum tak setiap saat datang.

Ketiga, tarhib bermakna memperbarui komitmen atau memasang niat (motivasi) yang kuat. Komitmen ini perlu karena ia menjadi salah satu faktor yang menentukan kualitas kerja dan kesuksesan. “Innama al-a`mal bi al-niy yat.” (HR Muslim dari Umar ibn Al-Khathab).

Sebagian ulama memahami niat (motivasi kerja) sebagai syarat sahnya perbuatan. Sebagian lagi memahami sebagai syarat kesempurnaan. Ada lagi yang memahami sebagai pencipta (penggerak) perbuatan (al-mujid li al-`amal). Menurut pendapat yang ketiga ini, tidak dapat dibayangkan timbul atau lahir suatu tindakan tanpa niat karena ia pencetusnya. Di sinilah pentingnya niat (motivasi).

Kempat, tarhib adalah langkah awal menuju dan meraih prestasi, yaitu takwa. La`allakum tattaqun (QS Al-Baqarah [2]: 183). Penting dicatat, perintah puasa dalam ayat ini diawali dengan seruan indah, “Hai orang-orang yang beriman.” Dalam tafsir ayat al-shaum, Syekh Sayyid Thanthawi, mantan Syekh Al-Azhar, memandang ser an (nida’) ini memiliki makna penting bagi tercapainya prestasi puncak bernama takwa.

Seruan ini, dalam pandangan Thanthawi, dimaksudkan untuk menggerakkan dan menggelorakan semangat iman dalam hati kaum beriman (li tahrik hararat al-iman fi qulub al-mu`minin). Juga dimaksudkan untuk mengingatkan mereka bahwa watak dan karakter dari kaum beriman adalah “mendengar dan patuh” ( al-sam`u wa al-tha`ah). (QS Al-Ahzab [33]: 36).

Watak lain dari kaum beriman adalah jujur dan bersungguh-sungguh (al-shidq). Kesungguhan ini, bagi Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarij Al-Salikin, meliputi tiga aspek sekaligus, yaitu kesungguhan dalam niat seperti dikemukakan (al-shidq fi al-niyyah), kesungguhan dalam kata-kata (al-shidq al-qaul), dan kesungguhan dalam tindakan (al-shidq fi al-`amal). Semoga puasa kita pada tahun ini menjadi lebih baik. Wallahua`lam.

 

Komentar