Secara bahasa,
kata marhaban berasal
dari kata rahuba – yarhubu – rahban, warahabatan wa marhaban yang pada asalnya berarti longgar dan lapang, baik secara fisik,
yaitu lapang dan longgarnya suatu tempat, maupun secara psikis, yaitu
kelapangan dada dan hati.
Sedangkan kosa kata “ahlan” berasal dari kalimat:
“ahalar-rajulu” yang maksudnya adalah memberi informasi bahwa seorang lelaki
telah menikah atau telah berkeluarga. Oleh karena itu, kosa kata “ahlun” sering
dimaknai sebagai keluarga.
Dan apabila dua kosa kata itu diucapkan sekaligus,
sehingga menjadi: marhaban wa sahlan, maka maknanya, sebagaimana dijelaskan
oleh para ahli bahasa adalah sebagai berikut:
Al-Ashmu’iy (122- 216 H = 740 – 831 M) berkata:
Terkait dengan perkataan banyak orang “marhaban” maknanya adalah engkau telah
mendatangi tempat yang luas, longgar dan lapang, bukan tempat yang sempit nan
sumpeg. Atau engkau telah mendatangi seseorang yang memiliki hati dan jiwa yang
lapang dada.
Sedangkan ucapan “ahlan” maknanya adalah engkau telah
mendatangi keluarga sendiri, karenanya engkau bukanlah orang asing, oleh sebab
itu, hendaklah engkau merasa nyaman dan jangan merasa kesepian.
Sementara ucapan “sahlan” maksudnya adalah engkau
telah tiba di satu tempat yang datar, lunak dan nyaman untuk ditinggali, dan
bukan tempat yang berbatu-batu, miring dan sulit ditinggali. Atau, engkau telah
tiba di satu tempat di mana seluruh urusan engkau menjadi mudah.
(lihat: Gharibul Hadits karya Ibnu Qutaibah [1/481], juga lihat: Az-Zahir fi Ma’ani Kalimatin-Nas [1/234]).
Pendapat lain mengatakan bahwa makna dari kalimat
“marhaban wa ahlan” adalah kalimat do’a yang artinya adalah:
Semoga Allah SWT menjadi dirimu sebagai sebab bagi
lapangnya dan luasnya suatu tempat, atau lapangnya dada,
Dan semoga Allah SWT memberikan kepadamu satu
keluarga, dan
Semoga Allah SWT memudahkan semua urusanmu.
(lihat: Az-Zahir fi Ma’ani Kalimatin-Nas [1/234]).
Sedangkan kalimat “tarhib Ramadhan” maksudnya adalah
mengucapkan kata “marhaban” atas datangnya “tamu” yang berupa bulan Ramadhan.
Maksudnya, kedatangan bulan Ramadhan kepada kita
hendaknya disambut dengan sambutan “marhaban” dalam arti:
1.
Disambut dengan memberikan tempat dan ruang yang luas
untuk berbagai amal shalih dan segala bentuk ketaatan di dalamnya.
2.
Disambut dengan sukacita dan lapang dada, senang dan
gembira layaknya kedatangan seorang tamu istimewa kepada kita.
3.
Disambut sebagaimana disambutnya Abdul Muththalib,
kakek Rasulullah SAW oleh Saif bin Dzi Yazan saat datang kepadanya (baca tema lain: Sejarah
Kalimat Marhaban wa Ahlan).
Atau, hendaknya kita sambut kedatangan bulan Ramadhan dengan do’a, semoga Allah SWT memberikan keluasan dan kelapangan ruang dan waktu serta kelapangan dada dan hati kepada kita untuk mengoptimalkan dan memaksimalkan bulan Ramadhan dengan berbagai amal shalih yang akan memberi manfaat kepada kita di dunia dan di akhirat, baik untuk diri kita, keluarga kita, masyarakat, kaum muslimin dan umat manusia seluruhnya, amin.
KITA sering mendengar kata tarhib pada setiap menjelang datangnya
bulan Ramadhan. Semarak datangnya Ramadhan dihiasi dengan sambutan yang cukup
meriah, hampir disetiap daerah secara merata mengadakan tabligh akbar dengan
tema yang sama tarhib Ramadhan.
Sebagai seoranpog muslim, mari kita mengenal lebih jauh apa makna
dari tarhib yang
selalu kita lakukan setiap menjelang Ramadhan. Agar setiap amaliyah yang kita
lakukan, selain bermodalkan semangat tentunya juga harus mengetahui ilmunya.
Allah berfirman;
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungan jawabnya.” (QS: Al Isra [17]:36)
Makna etimologis dan terminologis
Secara etimologis (bahasa), kata tarhib berasal
dari fi’il “ra-hi-ba,
yarhabu, rahbun”yang berarti luas, lapang dan lebar. Dan
selanjutnya menjadi fi’il “rahhaba, yurahhibu, tarhiban” yang mengandung arti
menyambut, menerima dengan penuh kelapangan, kelebaran dan keterbukaan hati. (Kamus al-Munawwir).
Menurut Kamus Al-Munjid (Kamus Besar Bahasa Arab),marhaban berasal dari
akar kata rahib (ra-ha-ba)
yang artinya menyambut. Masdarnya adalah tarhibyang mengandung makna
penyambutan.
Kebiasaan orang Arab ketika menyambut tamunya, ungkapan yang biasa
mereka sampaikan (ucapkan) adalah: marhaban, maksudnya kedatanganmu aku terima dengan penuh
keterbukaan, seisi rumah kami menyambutmu dengan dengan segala kelapangan.
Sebagai catatan, dalam bahasa Arab, kata “tarhib” bisa punya dua makna. Pertama,
kata tarhib (pake
huruf ha besar),
berasal dari rahhaba-yurahhibu atau arhaba-yurhibu,
artinya ancaman. Derivasinya ada kata irhab (teror), irhabiy (teroris).
Kedua, kata
“tarhib”
(pake huruf ha tipis),
dari kata ini lahir kata marhaban (menyambut gembira, senang, dll).
Nah, yang dimaksud “Tarhib Ramadhan”, berarti yang dimaksud adalah
menyambut gembira Ramadhan (yang pake ha tipis).
Secara terminologis (istilah), kata tarhib Ramadhan berarti menyambut
kedatangan bulan Ramadhan dengan segala kesiapan, keluasan, kepalapangan,
keterbukaan dan kelebaran yang dimiliki, baik materil maupun spritual, jiwa dan
raga serta segala apa yang ada dalam diri kita.
Jadi ketika kita mengatakan: “aku men-tarhib Ramadhan”, itu bermakna kedatangan bulan
Ramadhan akan aku sambut secara total, maksimal dan optimal. Antara
istilah Tarhib dan Marhaban,
secara teori dan makna sama-sama bisa digunakan karena mengandung arti yang
sama yaitu menyambut dengan senang hati, gembira, lapang dan secara terbuka
lebar.
Ibnu Mandzur (630-711 H), seorang ahli Bahasa Arab pernah menjelaskan
bahwa Ramadhan berasal dari kata al Ramadh, yang artinya panas batu akibat sengatan
sinar matahari. Ada juga yang mengatakan, Ramadhan diambil dari akar kara ramida, keringnya
mulut orang yang berpuasa akibat haus dan dahaga. Dengan pengertian di atas,
Ramadhan sebagai simbol sengatan sinar matahari yang bisa mempengaruhi dan
memanaskan batu. Sementara batu sering disimbulkan dalam Al-Quran untuk orang
yang memiliki hati yang keras. Namun Ramadhan mampu membuat panas dan hati yang
sekeras batu bisa terpengaruh. (Misteri Bulan Ramadhan, Yusuf Burhanuddin, QultumMedia)
Gebyar dalam menyambut Ramadhan merupakan bagian dari syi’ar Islam.
Warna warni menghiasi segala penjuru nusantara dengan kajian, ta’lim tabligh
akbar dengan mengundang para ulama yang sengaja didatangkan dari luar daerah
untuk memberikan pencerahan dan pembekalan dalam detik-detik memasuki Ramadhan.
Namun terntunya, kita juga selalu menasehati dan mengingatkan
saudara-saudara kita semoga tidak terjerumus ke dalam perkara-perkara yang
tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
Beberapa hal bisa kita lakukan dalam mentarhib Ramadhan:
Pertama, menyambutnya dengan penuh rasa gembira, karena bulan Ramadhan sangat
banyak faedah dan keutamaan-keutamaan yang terdapat di dalamnya, pintu Syurga
dibuka, pintu Neraka ditutup. Pahala dilipat gandakan, amalan sunnah menjadi
wajib dan masih banyak lagi.
Kedua,
mendatangi berbagai kajian puasa Ramadhan guna meningkatkan pengetahuan
tentang Ramadhan. Agar hari-hari yang dilewati semenjak hari pertama sampai
terkahir tinggal pemantapan dan pelaksanaan saja.
Ketiga,
melakukan persiapan fisik, mental dan spritual. Sejak awal sudah ada
perencanaan yang matang mulai dari menyiapkan mushaf khusus untuk tadarrus dan,
berazzam membaca tafsir al-Qur’an selama Ramadhan. Membeli buku-buku yang berkaitan
dengan pengetahuan puasa jika tidak berkesempatan mengikuti kajian bisa baca
sendiri di rumah.
Akhirnya menjadi tahu apa itu tarhib. Marhaban yaa Ramadhan.*
Tamu agung itu sebentar lagi akan
tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Bisa jadi inilah Ramadhan terakhir
kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa banyak orang-orang yang
pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita, melakukan shalat tarawih dan
idul fitri di samping kita, namun ternyata sudah mendahului kita dan sekarang
mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’ ditemani hewan-hewan tanah.
Kapankah datang giliran kita?
Dalam dua buah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menggambarkan kondisi dua golongan yang saling bertolak belakang kondisi
mereka dalam berpuasa dan melewati bulan Ramadhan. Golongan pertama
digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Barang siapa
yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan
dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Golongan kedua digambarkan oleh beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Betapa banyak
orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah), al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani
berkata: “Hasan Shahih.”
Akan termasuk golongan manakah kita? Hal itu
tergantung dengan usaha kita dan taufik dari Allah ta’ala. Bulan Ramadhan
merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan keistimewaan,
satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para pelaku kebaikan dan
orang-orang mulia.
Oleh sebab itu, para ulama telah menggariskan beberapa
kiat dalam menyongsong musim-musim limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita
turut merasakan nikmatnya bulan suci ini. Di antara kiat-kiat tersebut (Agar
Ramadhan Kita Bermakna Indah, nasihat yang disampaikan oleh Syaikh kami Dr.
Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili pada malam Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun
Nurain Madinah. Plus penjelasan-penjelasan lain dari penyusun):
Kiat Pertama: Bertawakal kepada
Allah Ta’ala
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Dalam
menyambut kedatangan musim-musim ibadah, seorang hamba sangat membutuhkan
bimbingan, bantuan dan taufik dari Allah ta’ala. Cara meraih itu semua adalah
dengan bertawakal kepada-Nya.”
Oleh karena itu, salah satu teladan dari ulama salaf
-sebagaimana yang dikisahkan Mu’alla bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada
Allah dan memohon pada-Nya sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat
menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan mereka untuk beribadah di dalamnya.
Sikap ini merupakan salah satu perwujudan tawakal kepada Allah.
Ibnu Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin
melakukan suatu amalan, dia berkepentingan dengan beberapa hal yang
bersangkutan dengan sebelum beramal, ketika beramal dan setelah beramal:
a. Adapun perkara yang dibutuhkan sebelum beramal
adalah menunjukkan sikap tawakal kepada Allah dan semata-mata berharap
kepada-Nya agar menolong dan meluruskan amalannya. Ibnul Qayyim memaparkan
bahwa para ulama telah bersepakat bahwa salah satu indikasi taufik Allah kepada
hamba-Nya adalah pertolongan-Nya kepada hamba-Nya. Sebaliknya, salah satu ciri
kenistaan seorang hamba adalah kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.
Menghadirkan rasa tawakal kepada Allah adalah
merupakan suatu hal yang paling penting untuk menyongsong musim-musim ibadah
semacam ini; untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak berdaya dan tidak akan mampu
menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan semata dengan taufik dari Allah.
Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan bulan
Ramadhan dan supaya Allah membantu kita dalam beramal di dalamnya. Ini semua
merupakan amalan yang paling agung yang dapat mendatangkan taufik Allah dalam
menjalani bulan Ramadhan.
Kita amat perlu untuk senantiasa memohon pertolongan
Allah ketika akan beramal karena kita adalah manusia yang disifati oleh Allah
ta’ala sebagai makhluk yang lemah:
“Dan manusia
dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)
Jika kita bertawakal kepada Allah dan memohon
kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi taufik-Nya pada kita.
b. Di saat mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu
diperhatikan seorang hamba adalah: ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua hal inilah yang merupakan dua syarat
diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak ayat dan hadits yang menegaskan
hal ini. Di antaranya: Firman Allah ta’ala,
“Padahal mereka
tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS.
Al-Bayyinah: 5)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Barang siapa
yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan
itu akan tertolak.” (HR. Muslim)
c. Usai beramal, seorang hamba membutuhkan untuk
memperbanyak istigfar atas kurang sempurnanya ia dalam beramal, dan juga butuh
untuk memperbanyak hamdalah (pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik
sehingga bisa beramal. Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara
hamdalah dan istigfar, maka dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan
diterima oleh-Nya.
Hal ini perlu diperhatikan betul-betul, karena setan
senantiasa mengintai manusia sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun!
Makhluk ini mulai menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau
telah berbuat begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat
malam di bulan suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…”
Dan terus menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan
sehingga tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang
menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa
rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.
Seharusnya kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub;
pasalnya, orang yang merasa silau dengan dirinya sendiri (bisa begini dan
begitu) serta silau dengan amalannya berarti dia telah menunjukkan kenistaan,
kehinaan dan kekurangan diri serta amalannya. Hati-hati dengan tipu daya setan
yang telah bersumpah:
“Karena Engkau
telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi)
mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi
mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka.” (QS. Al-A’raf: 16-17)
Kiat Kedua: Bertaubat Sebelum
Ramadhan Tiba
Banyak sekali dalil yang memerintahkan seorang hamba
untuk bertaubat, di antaranya: firman Allah ta’ala:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim: 8)
Kita diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena
tidak ada seorang pun di antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
“Setiap
keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa
adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan
isnadnya oleh Syaikh Salim Al Hilal)
Dosa hanya akan mengasingkan seorang hamba dari taufik
Allah, sehingga dia tidak kuasa untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan
sebagian kecil dari segudang dampak buruk dosa dan maksiat (lihat Dampak-Dampak
dari Maksiat dalam kitab Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan
Adz-Dzunub Wa Qubhu Aatsaariha ‘Ala Al-Afrad Wa Asy-Syu’ub karya Muhammad bin
Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48). Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada
Allah ta’ala, maka prahara itu akan sirna dan Allah akan menganugerahi taufik
kepadanya kembali.
Taubat nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya
hakikatnya adalah: bertaubat kepada Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi
menjabarkan: Taubat yang sempurna adalah taubat yang memenuhi empat syarat:
1.
Meninggalkan maksiat.
2.
Menyesali kemaksiatan yang telah ia perbuat.
3.
Bertekad bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu
selama-lamanya.
4.
Seandainya maksiat itu berkaitan dengan hak orang
lain, maka dia harus mengembalikan hak itu kepadanya, atau memohon maaf darinya
(Lihat: Riyaadhush Shaalihiin, karya Imam an-Nawawi hal: 37-38)
Ada suatu kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian
orang terkadang betul-betul ingin bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak
berbuat maksiat, namun hanya di bulan Ramadhan saja, setelah bulan suci ini
berlalu dia kembali berbuat maksiat. Sebagaimana taubatnya para artis yang
ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan, namun setelah itu kembali ‘pamer
aurat’ sehabis idul fitri.
Ini merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya,
tekad bulat untuk tidak mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari
maksiat, harus tetap menyala baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan
sesudahnya.
Kiat Ketiga: Membentengi Puasa Kita
dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan Pahalanya
Sisi lain yang harus mendapatkan porsi perhatian
spesial, bagaimana kita berusaha membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang
mengurangi keutuhan pahalanya. Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit
ini berkategori bahaya tinggi, dan sedikit sekali orang yang selamat dari
ancamannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
“Barang siapa
yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya Allah
tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak
membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)
Jabir bin Abdullah menyampaikan petuahnya:
“Seandainya
kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut
berpuasa dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga.
Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari
puasamu dan hari tidak berpuasamu sama.” (Lathaa’if
al-Ma’arif, karya Ibnu Rajab al-Hambali, hal: 292)
Orang yang menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.
Umar bin Abdul ‘Aziz pernah ditanya tentang arti
takwa, “Takwa adalah menjalankan kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram”,
jawab beliau. Para ulama menegaskan, “Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampur
adukkan antara ketaatan dan kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai
takwa, meski dibarengi dengan amalan-amalan sunnah.”
Oleh sebab itu para ulama merasa heran terhadap sosok
yang menahan diri (berpuasa) dari hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar
terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa
adalah menahan diri dari hal-hal mubah dan hal-hal yang terlarang. Mengekang
diri dari makanan, minuman dan jima’ (hubungan suami istri), ini sebenarnya
hanya sekedar menahan diri dari hal-hal mubah yang diperbolehkan.
Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh
kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini
tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat mengherankan
kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada dasarnya
diperbolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa (menahan
diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di sepanjang
zaman seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan lain-lain.
Semua ini merontokkan ganjaran puasa.”
Kiat
Keempat: Memprioritaskan Amalan yang Wajib
Hendaknya orang yang berpuasa itu memprioritaskan
amalan yang wajib. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala adalah
amalan-amalan yang wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
dalam suatu hadits qudsi, bahwa Allah ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah
seseorang mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih Aku cintai
daripada amalan-amalan yang Ku-wajibkan.” (HR. Bukhari)
Di antara aktivitas yang paling wajib dilaksanakan
pada bulan Ramadhan adalah: mendirikan shalat berjamaah lima waktu di masjid
(bagi kaum pria), berusaha sekuat tenaga untuk tidak ketinggalan takbiratul
ihram. Telah diuraikan dalam sebuah hadits:
“Barang siapa
yang shalat karena Allah selama empat puluh hari dengan berjama’ah dan selalu
mendapatkan takbiratul ihram imam, akan dituliskan baginya dua ‘jaminan surat
kebebasan’ bebas dari api neraka dan dari nifaq.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani)
Seandainya kita termasuk orang-orang yang amalan
sunnahnya tidak banyak pada bulan puasa, maka setidaknya kita berusaha untuk
memelihara shalat lima waktu dengan baik, dikerjakan secara berjamaah di
masjid, serta berusaha sesegera mungkin berangkat ke masjid sebelum tiba
waktunya. Sesungguhnya menjaga amalan-amalan yang wajib di bulan Ramadhan
adalah suatu bentuk ibadah dan taqarrub yang paling agung kepada Allah.
Sungguh sangat memprihatinkan, tatkala kita dapati
orang yang melaksanakan shalat tarawih dengan penuh semangat, bahkan
hampir-hampir tidak pernah absen, namun yang disayangkan, ternyata dia tidak
menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah. Terkadang bahkan tidur, melewatkan
shalat wajib dengan dalih sebagai persiapan diri untuk shalat tarawih!!?
Ini jelas-jelas merupakan suatu kejahilan dan bentuk
peremehan terhadap kewajiban!Sungguh hanya mendirikan shalat lima waktu
berjamaah tanpa diiringi dengan shalat tarawih satu malam, lebih baik daripada
mengerjakan shalat tarawih atau shalat malam, namun berdampak menyia-nyiakan
shalat lima waktu.
Bukan berarti kita memandang sebelah mata terhadap
shalat tarawih, akan tetapi seharusnya seorang muslim menggabungkan
kedua-duanya; memberikan perhatian khusus terhadap amalan-amalan yang wajib
seperti shalat lima waktu, lalu baru melangkah menuju amalan-amalan yang sunnah
seperti shalat tarawih.
Kiat Kelima: Berusaha untuk
Mendapatkan Lailatul Qadar
Setiap muslim di bulan berkah ini berusaha untuk bisa
meraih lailatul qadar. Dialah malam diturunkannya Al-Qur’an (QS. Al-Qadar: 1,
dan QS. Ad-Dukhan: 3), dialah malam turunnya para malaikat dengan membawa
rahmat (QS. Al-Qadar: 4), dialah malam yang berbarakah (QS. Ad-Dukhan: 3),
dialah malam yang lebih utama daripada ibadah seribu bulan! (83 tahun plus 4
bulan) (QS. Al-Qadar: 3).
Barang siapa yang beribadah pada malam ini dengan
penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah maka dosa-dosanya yang telah
lalu akan diampuni oleh-Nya (HR. Bukhari dan Muslim).
Mendengar segunung keutamaan yang dimiliki malam mulia
ini, seyogyanya seorang muslim memanfaatkan kesempatan emas ini untuk
meraihnya.
Kiat Keenam: Jadikan Ramadhan
Sebagai Madrasah untuk Melatih Diri Beramal Saleh, yang Terus Dibudayakan Setelah
Berlalunya Bulan Suci Ini
Bulan Ramadhan ibarat madrasah keimanan, di dalamnya
kita belajar mendidik diri untuk rajin beribadah, dengan harapan setelah kita
tamat dari madrasah itu, kebiasaan rajin beribadah akan terus membekas dalam
diri kita hingga kita menghadap kepada Yang Maha Kuasa.
Allah ta’ala memerintahkan:
“Dan sembahlah
Rabbmu sampai ajal datang kepadamu.” (QS.
Al-Hijr: 99)
Tatkala al-Hasan al-Bashri membaca ayat ini beliau
menjelaskan,
“Sesungguhnya
Allah tidak menjadikan batas akhir bagi amal seorang Mukmin melainkan ajalnya.”
Maka jangan sampai amal ibadah kita turut berakhir
dengan berakhirnya bulan Ramadhan. Kebiasaan kita untuk berpuasa, shalat lima
waktu berjamaah di masjid, shalat malam, memperbanyak membaca Al-Qur’an, doa
dan zikir, rajin menghadiri majelis taklim dan gemar bersedekah di bulan
Ramadhan, mari terus kita budayakan di luar Ramadhan.
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang paling dermawan, dan beliau
lebih dermawan sekali di bulan Ramadhan.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ulama salaf pernah ditanya tentang sebagian orang yang
rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan suci itu berlalu mereka pun
meninggalkan ibadah-ibadah tersebut? Dia pun menjawab:
“Alangkah
buruknya tingkah mereka, mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan
Ramadhan!”
Merupakan ciri utama diterimanya puasa kita di bulan Ramadhan dan tanda terbesar akan keberhasilan kita meraih lailatul qadar adalah: berubahnya diri kita menjadi lebih baik daripada kondisi kita sebelum Ramadhan.
Wahai
kaum muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak
disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan
sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya
tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat
menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.
Bersyukurlah
atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat
kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan
menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan.
Ketidaksiapan yang Berbuah Pahit
Imam
Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah memaparkan dua perkara yang
wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak
siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan
perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan
kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut
merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah
nampak di depan mata.[1]
Abu
Bakr Az Zur’i menyitir firman Allah ta’ala berikut,
فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)
“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka,
kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka
katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh
memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang
kali yang pertama. karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut
berperang.” (At Taubah: 83).
Renungilah
ayat di atas baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak
menyukai keberangkatan mereka dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada
persiapan dan niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap
untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan
hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya.
Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tidak layak menjalankan
perintah Allah ta’ala yang penuh berkah. Seringnya kita
mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman berupa tertutupnya
hati dari hidayah.
Allah ta’ala berfirman,
وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١١٠)
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti
mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami
biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).
Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan
Bila
kita menginginkan kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima
amalnya serta dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.
Allah ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)
“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk
keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah
melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu
bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At Taubah: 46).
Harus
ada persiapan! Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang
tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu,
dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan
disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.
Sebagai
persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban.
‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,
وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً
“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan
Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban,
kecuali sedikit hari.”[2]
Beliau
tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan
Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan
Ramadhan.
Generasi
emas umat ini, generasi salafush shalih, meeka selalu mempersiapkan diri
menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,
كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ
”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka
dapat menjumpai bulan Ramadlan.”[3]
Tindakan
mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan,
permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak
hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai
amal ibadah.
Abu
Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan,
شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع
“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan
Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”[4]
Sebagian
ulama yang lain mengatakan,
السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر
“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu
menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan
adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu),
mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas
“memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah
menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur
sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.”[5]
Wahai
kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang
disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa,
qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban,
semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban.
Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan
Ramadhan, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran,
perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak,
perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang
sebaik-baiknya.
Jangan Lupa, Perbarui Taubat!
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون
“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang
berdosa adalah yang bertaubat.”[6]
Taubat
menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin
memasuki Ramadhan tanpa adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh
perjalanan selama mengarungi Ramadhan.
Allah
memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan
setiap saat. Allah ta’ala berfirman,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)
“Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).
Taubat
yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita
bertaubat, lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan
tetapi hati kita lalai, akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali
terulang. Namun, yang dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat.
Jangan
pula taubat tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar
Ramadhan kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum
ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa
terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.
Wahai
kaum muslimin, mari kita persiapkan diri kita dengan memperbanyak amal shalih
di dua bulan ini, Rajab dan Sya’ban, sebagai modal awal untuk mengarungi bulan
Ramadhan yang akan datang sebentar lagi.
Ya
Allah mudahkanlah dan bimbinglah kami. Amin.
Waffaqaniyallahu wa iyyakum.
Buaran
Indah, Tangerang, 24 Rajab 1431 H.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Orang
Beriman Menyambut Ramadhan
Bulan ini disebut tamu agung, karena banyak peristiwa
agung yang pernah terjadi di dalamnya, diantaranya: Nuzulul Quran, Perang
Badar, turunnya wahyu pertama di Gua Hira, meninggalnya paman Nabi tercinta,
Abu Thalib, serta istri beliau Khadijah pada tahun ke-10 kenabian,
mulainya diwajibkan Zakat Fitrah pada tahun ke-2 Hijriyah, dimulainya
persiapan perang khandak pada tahun ke-5 hijriyah, peristiwa penaklukan kota
Mekah atau Fathu Makkah yang terjadi pada tanggal 21 Ramadhan tahun ke-8
Hijriyah, Perang Tabuk pada tahun ke-9 Hijriyah, dan masih banyak lagi
peristiwa yang agung lainnya terjadi pada masa awal dakwah Islam dan
setelahnya, bahkan kemerdekaan bangsa Indonesiapun terjadi pada bulan ramadhan.
Bulan ini disebut tamu istimewa karena keistimewaan
yang dikhususkan padanya, seperti: Lailatul Qadr, yaitu nilai ibadah yang lebih
baik dari pada seribu bulan saat orang beriman beribadah pada malam itu, bulan
dilipat gandakannya pahala, amalan sunah dihitung sebagai pahala wajib, umrah
pada bulan ini mendaatkan pahala sebagaimana haji bersama Rosulullah, dll.
Maka agar keagungan dan keistimewaan ramadhan dapat
dirasakan, kemudian dapat dimanfaatkan dengan baik dan optimal, maka selayaknya
setiap orang beriman mempersiapkan diri untuk menyambutnya.
Hal yang biasa dilakukan jika seseorang ingin menyambut tamunya, dia akan mempersiapkan dirinya, merapikan ruang tamunya, bahkan mempersiapkan makanan yang juga istimewa untuk disediakan buat tamunya.
Apalagi ini adalah tamu agung dan sangat
istimewa, yang akan selalu bersama di rumah kita selama satu bulan lamanya.
Maka tentu persiapannya bukanlah persiapan biasa-biasa saja, maka akan sangat
tidak wajar jika seorang yang akan kedatangan pejabat saja, ia begitu
sibuk mempersiapkan segala sesuatunya agar tidak merasa malu, sedangkan dengan
kedatangan ramadhan dia biasa-biasa saja.
Lalu apa yang perlu kita persiapkan untuk menyambut
ramadhan ini?
Ada beberapa hal yang harus kita persiapkan agar kita
mampu mengisi bulan yang penuh berkah ini dengan kegiatan yang dapat menambah
bobot umur kita ketika kita menghadap Allah SWT.
Pertama, Persiapan Individu
Ini adalah persiapan yang paling utama kita lakukan,
secara individu kita harus mempersiapkan kedatangan bulan ini secara optimal,
karena persiapan ini akan mempengaruhi baik tidaknya kita mengisi amaliah
ramadhan. Di antara persiapan individu yang harus kita lakukan adalah:
a. Persiapan
Rohani, ini adalah
persiapan yang paling utama karena kekuatan ruh inilah yang akan menjadi motor
penggerak segala bentuk ibadah kita, baik sebelum, ketika dan setelah ramadhan.
Rasulullah mempersiapkan diri beliau dari sisi ini sangat luar biasa, yaitu
dengan melaksanakan puasa sya’ban. Hal tersebut beliau lakukan dalam rangka
mempersiapkan dan menyongsong kedatangan bulan Ramadhan. Disamping itu kita
dianjurkan untuk banyak istighfar dan memohon serta memberi maaf agar
kedatangan bulan suci kita sambut dengan hati bersih dari segala bentuk dosa
dan perselisihan, rasa dengki dan penyakit-penyakit hati yang lainnya.
Bahkan para salafus shalih berdoa selama 6 bulan agar mereka disampaikan
hingga bulan ramadhan dan kemudian berdoa pasca Ramadhan selama 6 bulan agar
ibadah mereka diterima”.
b. Persiapan
Ilmu, agar ibadah
kita benar dan sesuai dengan tuntunan Rosulullah maka kita harus memahami
ilmunya, untuk itu kita harus membaca dan menelaah buku-buku yang berbicara
tentang puasa agar kita dapat mengetahui syarat dan rukun puasa serta hal-hal
yang dapat membatalkan serta menghilang nilai puasa, serta banyak permasalahan
puasa yang perlu mendapat penjelasan lebih dalam dari ulama dan pakar syariah, tentang
hal-hal yang sering terjadi menyangkut ibu hamil dan menyusui yang tidak dapat
berpuasa, orang tua yang sakit, serta tentang permasalahan ilmu kedokteran yang
ada hubungannya dengan ibadah puasa.
c. Persiapan Jasmani, tubuh adalah salah satu komponen
yang penting dan harus kita persiapkan dalam menyambut bulan ramadhan, karena
tanpa jasmani yang sehat kita tidak akan mampu melaksanakan ibadah puasa,
membaca Al-Quran, sholat tarawih dan qiyamullail. Menjaga kesehatan dan
kebugaran tubuh merupakan salah satu modal penting dalam melaksanakan segala
perintah Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah bersabda, ”Seorang mu’min yang
kuat lebih baik dan lebih dicintai dari mu’min lemah dan keduanya adalah baik”.
d. Persiapan
Akhlak dan Moral, Agar
puasa pada ramadhan tahun ini meningkat dari tahun sebelumnya, sehingga sampai
kepada puasa Khawaasul Khawash seperti pembagian Imam Ghazali,
yaitu puasanya di dunia karena karena Allah, ia menjaga kepala dan apa yang
dibawahnya, menjaga perut dan apa yang di sekelilingnya dan mengingat mati
serta apa yang terjadi setelah kematian, menjadikan orientasi hidupnya adalah
akherat. Sehingga terhindar dari apa yang disampaiakn oleh Rosulullah,“Berapa
banyak orang yang puasa namun mereka tidak mendapatkan dari puasa mereka kecuali
lapar dan haus” (HR.Thabrani, Ahmad dan Baihaqi).
Diantara hal yang harus dijaga dari
saat ini adalah:
1. Menjaga
penglihatan dan menghindarinya dari obyek yang tidak baik. Rasulullah saw
bersabda, ”Penglihatan adalah panah dari panah beracun iblis”.
2. Menjaga lisan dari perkataan yang
bathil dan tdk bermanfaat. Rasulullah saw bersabda, ”Apabila kalian
sedang berpuasa janganlah berkata dengan perkataan kotor (keji) dan janganlah
melakukan perbuatan tercela, apabila ada orang yang menghina katakan kepadanya
bahwa saya sedang puasa” (HR. Muttafaq ‘alaihi). Rasulullah
saw, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan
bohong maka Allah tidak menperdulikan ibadah puasanya” (HR. Ibnu
Majah).
3. Menjaga
pendengaran dari hal-hal yang bathil, seperti ghibah, serta
hal-hal yang diharamkan lainnya.
e. Persiapan
Materi, Dari Abi
Hurairah ra bahwasanya Rasulullah saw bersumpah tidak ada bulan yang
paling baik bagi orang beriman kecuali bulan Ramadhan, dan tidak ada bulan yang
paling buruk bagi orang munafik kecuali bulan Ramadhan, dikarenakan pada bulan
itu orang beriman telah menyiapkan diri untuk berkonsentrasi dalam beribadah
dan sebaliknya orang munafik sudah bersiap diri untuk menggoda dan melalaikan
orang beriman dari beribadah” (HR.Imam Ahmad).
Para ulama menjelaskan maksud hadits
ini ”dikarenakan orang beriman telah menyiapkan diri untk
berkonsentrasi dalam beribadah” adalah: Hal itu dikarenakan orang
beriman telah menyiapkan diri dari sisi materi untuk memberikan nafkah kepada
keluarganya karena mereka ingin konsentrasi beribadah, sebab memperbanyak Qiyam
lail menyebakan mereka harus banyak tidur di waktu siang dan memperbanyak
I’tikaf menyebabkan mereka tidak bisa untuk beraktifitas di luar masjid, hal
ini semua menyebabkan mereka tidak bisa untuk melakukan aktifitas mencari
nafkah, maka itu mereka mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum datang bulan
Ramadhan agar mereka dapat berkonsentrasi beribadah serta mendapatkan keutamaan
bulan yang mulia ini”.
Dari kitab Shahihain Ibnu
‘Abbas ra berkata ”Rasulullah adalah manusia yang paling dermawan, dan
beliau semakin dermawan pada bulan Ramadan ketika berjumpa dengan Jibril untuk
bertadarus Al-Quran, kedermawanan Rasulullah ketika itu bagaikan angin yang
berhembus”. Maka tanpa persiapan dari sisi materi kita tdk akan mampu
mencontoh dan mengikuti kedermawanan Rasulullah
saw.
Kedua, Persiapan Lingkungan Masyarakat
Lingkungan adalah faktor yang penting dalam menyiapkan
diri menyambut kedatangan bulan suci Ramadhan, sebab lingkungan mempunyai
peranan yang sangat penting dalam mendukung proses pelaksanaan ibadah di bulan
Ramadhan. Di antara hal yang perlu di lingkungan kita
adalah:
1. Rumah, ia adalah lingkungan yang paling
utama dalam kehidupan seorang, maka sebagai orang beriman harus mengkondisikan
tempat tinggal kita agar dapat menunjang kekhusuan amaliah
ibadah kita selama bulan Ramadan. Di antara hal yang harus kita perhatikan
dalam mengkondisikan rumah adalah TV, karena TV merupakan media utama
pengganggu kekhusuaan ibadah kita, dan akan menghabiskan waktu
kita sia-sia dari membaca Al-Quran dan ibadah lainnya.
2. Tetangga, hal ini dapat kita lakukan dengan
berkoordinasi dengan para tokoh masyarakat baik Ketua RT dan RW untuk bahu
membahu saling mengingatkan bersama-sama mempersiapkan diri menyambut ramadhan
serta saling menjaga kekhusuan selama beribadah di bulan ramadhan.
3. Masjid dan Mushalla, tempat ibadah juga harus kita siapkan dalam menyambut bulan suci Ramadan, baik dengan cara mengadakan pembersihan serta merapikan di bagian dalam dan di luar tempat sholat, karena dengan masjid dan musholah yang bersih dan rapi serta fasilitas yang memadai akan menambah kekhusuan ibadah tarawih dan I'tikaf bagi orang-orang yang beribadah di sana.
4. Kantor, tempat bekerja juga mempunyai
peranan yang sangat penting dalam dalam menyambut dan mengoptimalkan ramadhan,
karena sebagian besar hari-hari yang dilalui oleh masyarakat perkotaan adalah
di kantor. Perkantoran juga dapat mengisi kegiatan ramadhan dengan kajian
keilmuan yang bermanfaat bagi karyawannya, seperti ceramah agama setelah sholat
zhuhur yang mengupas permasalahan puasa atau permasalahan umum lainnya dengan
menghadirkan para ustadz. Atau juga melakukan tadarus Al-Quran di antara para
karyawan. Sehingga kantor tersebut juga mendapat keberkahan.
5. Pasar, agar pelaksaan ibadah selama ramadhan tidak terganggu dengan kesibukan di pasar, keperluan rumah tangga hendaklah mulai disiapkan seperlunya, karena biasanya kebutuhan dan harga meningkat menjelang ramadhan. Serta harus menjadi kesadaran bagi para pedagang, terutama bagi mereka yang menjual makanan untuk santap siang, untuk juga dapat menghormati kaum muslimin yang berpuasa dengan mengubah jadwal jualannya setelah sholat asar dan setelah tarawih, sehingga nuansa ramadhan juga terlihat bukan hanya di masjid namun juga di pasar. Perlu diyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah, jadi ketika ia menghormati orang yang berpuasa insya Allah keberkahannya akan semakin bertambah.
Marhaban, Ya Ramadhan!
Oleh: A Ilyas Ismail
Seperti diwartakan dalam banyak hadis sahih,
Rasulullah SAW selalu menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Dalam bahasa Arab, kegiatan penyambutan ini dinamai
tarhib. Dalam sejumlah sabdanya, Nabi SAW selalu menegaskan kebesaran dan
keagungan Ramadhan sebagai bulan penuh berkah (syahrun mubarak) serta bulan
yang di dalamnya ada “malam seribu bulan”. (HR Baihaqi dari Salman Al-Farisi).
Kegiatan penyambutan (tarhib) ini penting sebagai
manifestasi dari kerinduan kita kepada Ramadhan. Paling tidak ada empat pesan
yang bisa dipahami di balik penyambutan ini.
Pertama, filosofi tarhib ini mengindikasikan secara
nyata bahwa apa yang disambut, yaitu Ramadhan dan kebaikan yang ada di
dalamnya, adalah hal yang sangat istimewa. Karena pada kenyataannya, kita hanya
menyambut hal-hal yang besar dan istimewa.
Kedua, secara kejiwaan (psikologi), tarhib
memperlihatkan suasana hati yang riang dan gembira. Hal ini disebabkan paling
tidak oleh dua hal. Pertama, Ramadhan bisa diibaratkan sebagai “tamu agung”
yang mau menemui kita. Kedua, Ramadhan adalah “momentum”, yakni momentum
perubahan dan perbaikan diri, baik sebagai individu maupun umat. Sebagaimana
diketahui, momentum tak setiap saat datang.
Ketiga, tarhib bermakna memperbarui komitmen atau
memasang niat (motivasi) yang kuat. Komitmen ini perlu karena ia menjadi salah
satu faktor yang menentukan kualitas kerja dan kesuksesan. “Innama al-a`mal bi
al-niy yat.” (HR Muslim dari Umar ibn Al-Khathab).
Sebagian ulama memahami niat (motivasi kerja) sebagai syarat sahnya perbuatan. Sebagian lagi memahami sebagai syarat kesempurnaan. Ada lagi yang memahami sebagai pencipta (penggerak) perbuatan (al-mujid li al-`amal). Menurut pendapat yang ketiga ini, tidak dapat dibayangkan timbul atau lahir suatu tindakan tanpa niat karena ia pencetusnya. Di sinilah pentingnya niat (motivasi).
Kempat, tarhib adalah langkah awal menuju dan meraih
prestasi, yaitu takwa. La`allakum tattaqun (QS Al-Baqarah [2]: 183). Penting
dicatat, perintah puasa dalam ayat ini diawali dengan seruan indah, “Hai
orang-orang yang beriman.” Dalam tafsir ayat al-shaum, Syekh Sayyid Thanthawi,
mantan Syekh Al-Azhar, memandang ser an (nida’) ini memiliki makna penting bagi
tercapainya prestasi puncak bernama takwa.
Seruan ini, dalam pandangan Thanthawi, dimaksudkan
untuk menggerakkan dan menggelorakan semangat iman dalam hati kaum beriman (li
tahrik hararat al-iman fi qulub al-mu`minin). Juga dimaksudkan untuk
mengingatkan mereka bahwa watak dan karakter dari kaum beriman adalah
“mendengar dan patuh” ( al-sam`u wa al-tha`ah). (QS Al-Ahzab [33]: 36).
Watak lain dari kaum beriman adalah jujur dan
bersungguh-sungguh (al-shidq). Kesungguhan ini, bagi Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah
dalam Madarij Al-Salikin, meliputi tiga aspek sekaligus, yaitu
kesungguhan dalam niat seperti dikemukakan (al-shidq fi al-niyyah), kesungguhan
dalam kata-kata (al-shidq al-qaul), dan kesungguhan dalam tindakan (al-shidq fi
al-`amal). Semoga puasa kita pada tahun ini menjadi lebih baik. Wallahua`lam.
Komentar
Posting Komentar