Empat syuhada berangkat pada suatu malam
Gerimis air mata tertahan di keesokan
Telinga kami lekapkan ke tanah kuburan dan simaklah itu sedu-sedan
Mereka anak muda pengembaran tiada sendiri
Mengukir reformasi karena jemu deformasi
Dengarkan saban hari langkah sahabat-sahabatmu beribu menderu-deru
Kartu mahasiswa telah disimpan dan tas kuliah turun dari bahu
Mestinya kalian jadi insinyur dan ekonom abad dua puluh
Tapi malaikat telah mencatat indeks prestasi kalian di Trisakti bahkan di seluruh negeri
Karena kalian berani mengukir alfabet pertama dari gelombang ini dengan darah arteri sendiri
Merah putih yang setengah tiang ini
Merunduk di bawah garang matahari
Tak mampu megibarkan diri karena angin lama bersembunyi
Tapi peluru logam telah kami patahkan dalam do’a bersama
Dan kalian bersih pahlawan bersih dari dendam
Karena jalan masih jauh dan kita perlukan peta dari Tuhan
(Taufik Ismail, 1998)
Ledakan energi peradaban
Begitulah Taufik Ismail lewat sajak berjudul “12 Mei 1998” mengabadikan kepahlawanan empat mahasiswa Trisakti yang gugur diterjang peluru kediktatoran rezim orde baru: Elang Mulyana, Hery Hartanto, Hendriawan Lesmana, Hafidin Royan. Mereka adalah sebagian dari pelaku baru sejarah Indonesia dan sekaligus fajar yang menandai lahirnya generasi baru: Generasi 1998.
Ibu pertiwi seperti menepati janjinya. Janji untuk melahirkan anak-anak yang setia pada cita-cita luhurnya; anak-anak yang membawa keberanian di tengah ketakutan; mengibarkan bendera perlawanan terhadap penindasan, memekikkan gaung pembelaan di tengah pengkhianatan; anak-anak yang memberikan darah dengan tulus sebagai mahar unutk kebebasan dan keadilan; anak-anak yang meninggalkan kenikmatan masa mudanya dengan penuh cinta untuk hidup dalam debu dan deru jalanan, bahkan menyerahkan hidupnya agar bangsa ini bisa hidup dengan cara yang lebih baik.
Maka sejarah panjang bangsa ini, setidak-tidaknya dalam hitungan abad ini, ditandai dengan kelahiran generasi demi generasi pada setiap persimpangan sejarah. Jika Generasi 98 berhasil menumbangkan orde baru maka Generasi 66 berhasil mengakhiri orde lama.
Dalam (puisi) “Sebuah Jaket Berlumur Darah” Taufik Ismail melukiskan suasana kepahlawanan itu.
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua sudah menatapmu
Telah berbagi luka yang agung dalam kepedihan bertahun-tahun
Begitu kita menyusuri sejarah bangsa ini lebih jauh, kita akan bertemu dengan Generasi 45 yang memelopori perjuangan kemerdekaan. Lebih jauh ke belakang, ada Generasi 28 yang memelopori persatuan nasional dalam simbol tanah air, kebangsaan, dan bahasa persatuan melalui Sumpah Pemuda. Lebih jauh lagi, kita akan bertemu lagi dengan Generasi 1900-an yang memelopori kebangkitan nasional. Semua angkatan itu lahir silih berganti sampai datang Angkatan 1998. Mereka lahir pada titik persimpangan sejarah dan memberi arah bagi perjalanan bangsa ini. Mereka selalu muncul sebagai pelopor, menghentikan kesunyian sejarah, dan mengobarkan api kehidupan.
Abad 20, dalam perspektif bangsa kita, sesungguhnya adalah sejarah anak-anak muda. Namun, itu bukan hanya milik Indonesia. Tanggal 23 Oktober 1956, revolusi Hungaria meletus di tangan para pemuda dan mahasiswa yang menentang pendudukan Uni Soviet dan pemerintahan boneka. Para pemuda dan mahasiswa bahkan memelopori perlawanan terhadap negara adikuasa itu di seantero kawasan Eropa Timur. Eropa Barat juga menyaksikan gelombang gerakan pemuda dan mahasiswa sepanjang tahun 60-an: gerakan di Perancis meledakkan krisis 23 Mei 1968; mahasiswa Spanyol bangkit menentang diktator Jendral Franco pada 1965; hal yang sama juga terjadi di Itali, Belgia, dan Negara Eropa lainnya.
Di dunia Islam, baik di kawasan Asia dan para mahasiswa di sepanjang paruh pertama abad ke-20 sampai tahun 70-an. Para pemudalah yang terlibat dalam revolusi Aljazair 1954, mengenyahkan Perancis dari tanah itu. Para pemuda yang berhasil mengusir Inggris dari Mesir. Sekarang, sejak 1987 hingga sekarang, anak-anak muda bahkan yang masih bocah, telah meletuskan Intfadhah malawan penjajahan Israel di Palestina.
Anak-anak muda melemparkan batu melawan serdadu Israel yang bersenjata lengkap sambil menyenandungkan syair Hasyim Al-Rava’i,
Itulah surga yang menuntut harga
Hanya dari urat nadi para syuhada
Anak-anak muda selamanya adalah energi peradaban yang mengalirkan sungai sejarah. Setiap kali energi itu meledak, sejarah segera mencatat peristiwa-peristiwa dan langit menjadi saksi. Sebuah lembaran kehidupan baru dari buku sejarah manusia telah dibuka. Sejarah,kata Malik bin Nabi, adalah catatan statistik tentang denyut hati, gerak tangan, langkah kaki, dan ketajaman akal.
Anak-anak yang gelisah
Sejarah anak-anak muda adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Sebelum kemerdekaan, anak-anak muda Indonesia bangkit menyatukan bangsa dan melawan penjajahan serta merebut kemerdekaan. Namun setelah merdeka, mereka bangkit melawan penguasa tiran dan diktator serta membela rakyat dari penindasan sosial, ekonomi, dan politik.
Menjadi bagian dari keunikan abad ini, saat Allah SWT. menakdirkan para penguasa tiran dan diktator lahir pada waktu yang bersamaan, ketika tiran Soekarno merajalela di Indonesia, di Yugoslavia ada Tito dan di Mesir ada Nasser. Ketika kediktatoran Soeharto membungkam rakyat Indonesia, di Libya ada Khaddafi, di Irak ada Saddam, di Syiria ada Assad, dan di Iran ada Pahlevi. Pada abad ini pula Hitler, Stalin, dan Mussolini. Jangan lupa, pada abad ini pula dunia terlibat dalam dua kali perang akbar, perang dunia I dan II, pada tahun 1914 dan 1942.
Perlawanan dan pembalasan adalah energi peradaban, dan energi itu lahir dari kegelisahan. Namun, dari manakah kegelisahan itu tercipta? Dari idealisme yang terpasung di alam kenyataan. Maka, setiap kali janji kemakmuran terpasung dalam krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat, suara keadilan terbungkam dalam tirani kekuasaan atau kebebasan ditindas kediktatoran, setiap kali itu pula ada kegelisahan yang meresahkan jiwa anak-anak muda dan mencabut semua kenyamanan hidup mereka. Maka mereka bergerak dan segera berdiri di garis depan menyambut panggilan sejarah.
Akan tetapi, anak muda macam manakah mereka? Jawabannya, “Mereka adalah anak-anak muda yang telah beriman kepada Tuhan mereka, lalu Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.” (Al-Kahfi : 13).
Demikianlah, kegelisahan menjadi isyarat dari anak-anak peristiwa yang akan lahir dari rahim sejarah. Kegelisahan memeberi energi, dan energi itu tumpah ruah dalam semangat perlawanan dan pembelaan. Maka, ada peristiwa ada sejarah.
Namun, ada satu fenomena yang jarang kita perhatikan dalam langkah sejarah, bahwa gerakan-gerakan pemuda sering kali dimatikan oleh orang-orang yang mencetuskannya pertama kali. Lihat Soekarno dan Soeharto.
Saatnya kaum muda bangkit kembali
Kini kita tengah berada dalam persimpangan sejarah. Generasi 98 telah menjalankan tugasnya. Mereka telah berhasil menumbangkan rezim orde baru dan mengantar sejumlah elit politik baru ke paggung sejarah Indonesia. Namun, tugas belum betul-betul tuntas. Tahun ini kita memperingati Sumpah Pemuda dengan kenyamanan yang terampas sebab ada kegelisahan baru; saat ada idealisme yang terpasung di alam kenyataan; sebab cita-cita reformasi seperti hilang lenyap dalam retorika politik.
Masa transisi yang tengah kita alami ini boleh jadi merupakan awal bencana besar yang mungkin akan menimpa bangsa kita di masa depan. Pasalnya, humor-humor pemimpin kita, Abdurrahman Wahid, ternyata gagal membuat bangsa ini menjadi cepat tersenyum. Apalagi tertawa. Humor-humor itu untuk sebagiannya, bahkan terasa mengerikan. Seperti ketika arogansi berhadap-hadapan dengan kenyataan bahwa bangsa kita sedang menghampiri kebangkrutannya; seperti ketika semangat membrantas KKN berhadap-hadapan dengan semangat balas dendam atas kemiskinan masa lalu; seperti ketika demokrasi dan keterbukaan serta dialog berhadap-hadapan dengan semangat balas dendam atas marginalitas masa lalu.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid, menurut saya, tidak akan mungkin menegakkan hukum dengan baik. Alasannya, dia membawa dendam masa lalu, baik dendam atas kemiskinan atau dendam atas marginalitas politik pada masa lalu. Itu tidak mungkin, dan lebih parah lagi dia memang tidak mau. Kita tidak bisa berharap dari pemimpin yang “nervous” di depan kekuasaan dan uang.
Ada masalah dalam bangsa ini, pertama, dalam hal konsistensi, yakni masalah penyimpangan di ujung jalan atau di tengah jalan. Pemimpin yang diasumsikan lurus ternyata membuyarkan seluruh harapan masyarakat. Itu juga yang terjadi sekarang. Mereka yang merentas jalan, tetapi mereka juga yang merubuhkan panggungnya sendiri. Bagitu seterusnya. Maka sudah saatnya kita berfikir, bahwa kita yang merentas jalan, kita juga yang akan mengisi jalan itu seterusnya.
Kedua, rakyat ini tidak punya firasat, ketika mencalonkan seorang atau setidak-tidaknya menitip harapan pada seorang pemimpin; kita tidak mempunyai firasat tentang orang itu bahwa orang itu bisa jadi gagal mengantar bangsa untuk menyelesaikan sebagian dari persoalan selama ini.
Jika terlepas dari perhitungan-perhitungan politik, pada dasarnya semua akan tergantung pada firasat kita terhadap seseorang. Kalau rakyat tidak tidak mempunyai firasat tentang orang yang dicalonkan itu, berarti mereka tidak mengenal diri mereka sendiri. Ini berhubungan dengan hadits nabi, “Kalau Allah mencintai suatu kaum, maka dia akan mengangkat orang yang terbaik dari kaum itu sebagai pemimpin mereka; dan kalau Allah membenci suatu kaum, maka dia akan mengangkat orang yang terjahat menjadi pemimpin kaum itu.”
Kita, anak-anak muda yang telah menunaikan sebagian dari tugas sejarah, sekarang harus segera kembali mengonsolidasikan diri, mencabut harapan pada pemerintahan ini, dan segera mematangkan diri secara dini, kemudian berkata dengan yakin kepada bangsa ini
Tuntaskan reformasi
Percepat alih generasi
Pertahankan keutuhan bangsa
Mungkin memang harus begini kejadiannya; bahwa sejarah menghendaki kita melangkah lebih cepat untuk menyelamatkan bangsa ini. Kita harus kembali penuhi jalan. Tanpa mengurangi rasa hormat, barangkali merupakan dosa untuk mempercayai tugas sejarah ini kepada orang-orang tua kita sekarang. Maka, biarlah dengan sedikit memaksakan diri kita berkata kepada mereka; beri kami lebih banyak kesempatan untuk terlibat, dan izinkan kami menata kembali taman Indonesia, biar kami buat kalian tesenyum sebelum senja tiba.
Perubahan-perubahan besar dalam sejarah pada mulanya tampak seperti kabut yang menghalangi cahaya matahari turun ke bumi. Itu yang membuat banyak orang ragu-ragu untuk melakukannya. Akan tetapi, apabila masyarakat sudah mulai resah akibat lilitan berbagai macam problema, percayalah bahwa keresahan itu adalah awal dari ledakan energi peradaban.
Dulu Rasulullah bersabda, “Para pemuda bersekutu denganku dan orang-orang tua memusuhiku.” Hal tersebut seperti sepotong sajak Taufik Ismail (1998) kepada mereka.
Seluruh jalan aparat kenegaraaan di atas umur tiga puluh sudah bersedia berdiri ke pinggir secara menyeluruh
Bangsa kini dipimpin oleh anak-anak muda yang sebenar bersih
Kami muncul lewat tahun-tahun pengalaman yang sangat pedih
Sumber: buku berjudul Gerakan Ke Negara diterbitkan oleh Fitrah Rabbani
Komentar
Posting Komentar