Manajemen Waktu Menurut Islam

 Oleh: Wardani*

Yang dimaksud dengan “manejemen waktu” dalam pengertian sederhana adalah “mengatur waktu”. Manajemen pada prinsipnya adalah mengatur, mengorganisasikan, atau memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya untuk aktivitas dan tujuan yang bermanfaat.   Memang, jika kita mengacu kepada istilah “menajemen” dalam pengertian sesungguhnya, tentu ada yang disebut: perencanaan, pelaksanaan, kontrol, dan evaluasi. Dalam memanage waktu, memang seharusnya unsur-unsur itu diterapkan, namun kita bisa menyebutnya di sini secara lebih longgar sebagai “seni mengatur waktu” dalam pengertian bahwa meski ada unsur-unsur pokok yang harus dipenuhi seperti itu, akan tetapi mengatur waktu tidak boleh juga terlalu ketat. Oleh karena itu, kita menyebutnya sebagai seni mengatur waktu, dan kita mencoba di sini untuk menghadirkannya dari tinjauan ajaran Islam.

Pertama yang harus kita garis bawahi adalah bahwa Islam sangat menghargai waktu, karena waktu adalah sangat bernilai. Dalam al-Qur`an, Allah swt pernah bersumpah dengan waktu, misalnya, dalam Q.s. al-‘Ashr (103/13): 3 disebutkan:

Wal ‘ashr, inna al-insân la fî khusr,

illallazîna âmanû

wa ‘amilû al-shâlihât

wa tawâshau bi al-haqq

wa tawâshau bi al-shabr

Demi masa (waktu), sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian,

Kecuali orang-orang yang beriman,

Beramal saleh (mengerjakan kebajikan),

Saling berwasiat dengan kebenaran,

Dan saling berwasiat dengan kesabaran.

Dalam surah ini, Allah bersumpah dengan media “waktu” atau “masa”.  Di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa waktu begitu berharga, karena tidak mungkin Tuhan menggunakannya sebagai sarana/ media sumpah jika tidak bernilai, atau tidak penting. Waktu adalah sesuatu yang berharga, bernilai, dan penting. Seorang penafsir modern, Muhammad Asad, dalam karyanya, The Message of the Qur`an (h. 974), menerjemahkan kata al-‘ashr yang menjadi nama surah ini dengan “the flight of time” (berlalunya waktu), bukan dengan sekadar “waktu/ masa”. Tuhan mengingatkan kita akan waktu (al-‘ashr) yang telah berlalu, tidak akan pernah bisa dikembalikan lagi. Istilah al-‘ashr adalah waktu yang terukur yang terdiri dari bagian-bagian periode, bukan seperti al-dahr yang juga digunakan oleh al-Qur`an yang bermakna waktu yang tak terbatas tanpa permulaan dan akhir.

Kata al-‘ashr semula bermakna memeras, yaitu menekan sesuatu sehingga isinya keluar. Para ulama sepakat mengartikannya dalam konteks ayat ini dengan “waktu”. Namun, bukan sekadar “waktu” yang ingin ditekankan maknanya di sini, melainkan konsekuensi masa lalu yang berakibat ke masa berikutnya (masa sekarang hingga masa akan datang). Hal ini terlihat dari penggunaan dalam beberapa istilah terkait. Misalnya, kata al-‘ashr juga digunakan untuk menyebut berlalu perjalanan matahari melampaui pertengahan, hingga menjelang terbenamnya, yang biasa kita sebut dengan “sore”. Bisa kita katakan bahwa “sore” adalah akhir atau titik-jenuh perjalanan keseharian, yang nantinya akan ditutup dengan malam. Kata lain yang juga seakar dengan al-‘ashr adalah al-mu’shirât, yaitu awan yang mengandung butir-butir hujan, sehingga karena beratnya, akhirnya menurunkan hujan. Jadi, al-‘ashr meski merupakan waktu yang terukur, ada fase-fase yang bisa kita sadari dan kenali, namun berjalan, lalu berkonsekuensi ke masa berikut. Orang-orang banyak tidak sadar akan fase-fase itu, dan begitu berharga dan penting bagi dirinya, lalu ia terlena dibawa oleh waktu, kini potret dirinya sekarang terukir oleh masa lalu itu yang tak pernah kembali lagi. Untung kalau ia bisa menggunakan fase-fase masa lalu itu secara baik dan untuk kebaikan, sehingga ia kini memetik buah manisnya sekarang. Tapi, begitu banyak orang yang cuma melongok menyaksikan berlalunya fase-fase itu, berpangku-tangan, berfoya-foya, menghamburkan uang dan tenaga secara tidak bermanfaat, atau menyiakan masa muda dengan mabuk-mabukan, malas-malasan, tidak memanfaatkan waktunya dengan baik, kini….orang-orang tersebut tertunduk malu, menyesali diri, dan melamun dengan pikiran kosong, dengan tatapan kosong, lalu mencaci masa lalu sebagai “waktu sial”. Padahal, waktu tidak pernah sial. Waktu hanya adalah fase-fase yang kita lalu, tidak pernah menentukan untung-sialnya kita. Justeru kita lah yang menentukan.Waktu sifatnya netral, tidak pernah memihak. Hanya saja, kita menggunakannya secara keliru. Fenomena ini biasa kita temukan dalam kehidupan kita sekarang.

Bangsa Arab ketika masa turunnya al-Qur`an juga sering mencaci waktu, bahwa masa lalunya adalah waktu sial. Dengan latar belakang sosial masyarakat Arab ketika itulah, lalu Allah swt melalui ayat ini membantah anggapan keliru mereka. Jika mereka gagal, itu bukan karena waktu, melainkan karena kesalahan merek sendiri. Lalu, dalam ayat ini, Allah swt membimbing bahwa agar manusia tidak “rugi”, ada 3 faktor yang bisa menjadikan manusia tidak akan “dilindas” oleh zaman, karena 3 faktor ini adalah faktor-faktor keberuntungan manusia, yaitu:

  1. Iman dan amal saleh, sebenarnya dua hal yang telah menjadi satu kesatuan yang saling terkait. Iman tanpa amal saleh menjadi kosong, karena iman ibaratkan wadah yang harus diisi, atau kata ulama, imannya hanya kadar rendah/ kurang, sedangkan amal saleh yang tanpa disertai iman, di mata al-Qur`an, tidak akan berarti secara teologis (ketuhanan) dan eskatologis (tidak dibalas di akherat nanti) seperti imannya orang kafir (habithat a’mâluhum)
  2. Saling mengingatkan dengan kebenaran. Al-haqq bisa berarti Yang Mahabenar (Tuhan, Allah swt). Jadi, manusia harus saling mengingatkan akan wujud Tuhan yang Maha Esa, Maha Kuasa, dsb. Kesadaran akan adanya Tuhan di setiap napas kehidupan adalah kesadaran spiritual manusia yang menjadikannya bertahan dari gerusan zaman. Arus materialisme, hedonisme, konsumerisme, dan pandangan-pandangan lain yang hanya menekankan kelezatan duniawi hanya akan menjadikan manusia “merugi”. Muhammad Asad menafsirkan kerugian manusia dalam surah ini dalam pengertian “manusia mudah sekali terpleset jatuh hingga membinasakan dirinya” (man is bound to lose himself). Kebinasaan diri bukanlah berarti sekadar hidup secara material (makan, minum, dan berreproduksi), melainkan jika ia juga kehilangan dimensi spiritual yang merupakan hakikat dirinya, yaitu kesadaran akan adanya Tuhan yang selalu “hadir” dalam setiap napas kehidupannya, ketika kerja, berpergian, berinteraksi dengan sesama, dan ketika menatap ciptaan-Nya. Kata al-haqq di sini juga berarti kebanaran. Itu artinya bahwa seseorang tidak akan rugi terlindas oleh zaman jika ia mau mendengar kebenaran dari orang lain, dari mana pun sumbernya. Bahkan, yang dinamakan dengan “kearifan” (hikmah) adalah kebenaran juga. Nabi konon pernah bersabda: “Ungkapan kearifan adalah barang yang hilang milik orang yang berimana. Di mana pun ia menemukannya kembali, ia lebih berhak untuk mengambilnya lagi”. Dikatakan juga dalam hadits bahwa “hikmah adalah mendapatkan kebenaran di luar kenabian” (al-ishâbah fî ghayr al-nubuwwah). Kebenaran, selain kebenaran teologis yang terkait dengan keyakinan, bisa saja lahir dari siapa pun.
  3. Saling mengingatkan akan kesabaran. Apa sebenarnya kesabaran itu. Al-Râghib al-Ashfihânî dalam kamus al-Qur`an-nya, Mu’jam Alfâzh al-Qur`an (al-Mufardât fî Gharîb al-Qur`ân) h. 277, yang dimaksud dengan sabar adalah “menahan diri agar tetap sesuai dengan tuntutan pertimbangan akal dan syara’ (agama)” (habs al-nafs ‘alâ mâ yaqtadhîh al-‘aql wa al-syar’). Semula sabar secara kebahasaan berarti “bertahan dalam kesempitan”. Asal makna shabr dalam bahasa Arab memiliki 3 makna pokok, yaitu menahan, bagian yang tinggi dari sesuatu, dan sejenis batu (keras). Mengapa sabar diperlukan dalam kehidupan ini? Karena hidup ini tidak selalu berjalan mulus, melainkan selalu diwarnai oleh kesulitan, hambatan, atau cobaan hidup. Hidup tidak selalu dihiasi dengan kemudahan, melainkan diselingi juga dengan kesulitan. Mungkin kita bisa mengatakan bahwa kesulitan adalah bagian ritme atau irama kehidupan. Tidak pernah ada hidup tanpa masalah sama sekali, entah kecil atau besar. Dalam ungkapan al-Qur`an: “karena sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan, ada kemudahan” (fa inna ma’a al-‘usr yusran, inna ma’a al-‘usr yusran). Ada tips al-Qur`an untuk mengurangi kesedihan kita dalam menghadapi cobaan itu, yaitu dengan kerja. Oleh karena itu, dalam ayat selanjutnya disebutkan “jika kamu selesai (dari suatu aktivitas), maka tegaklah/ bersiaplah (untuk melakukan hal lain)” (fa idzâ faraghta fanshab), lalu sandarkan semuanya kepada Tuhan karena dalam ayat terakhir disebutkan “dan kepada Tuhanmu lah, berharaplah” (wa ilâ rabbika farghab). Dalam ayat ini, kerja adalah suatu keniscayaan, bukan semata untuk kepentingan material, yaitu menghasilkan uang, melainkan secara psikologis, dengan kesibukan kita dalam kerja, sebagian persoalan yang kita hadapi bisa teratasi. Di ayat terakhir, ketika Allah swt menyuruh kita untuk berharap hanya kepada-Nya, itu artinya bahwa tidak hanya kerja sebagai upaya “humanisasi” (pemanusiaan), dalam pengertian kerja sebagai upaya rasional untuk menghidupi kehidupan, melainkan kerja bukan sebagai tujuan. Diperlukan upaya menyandarkan segala upaya, yaitu setelah kita lebur dalam kerja, kepada Tuhan sebagai upaya yang disebut orang sebagai “transendensi”.

Kita kembali ke persoalan sabar. Jadi, sabar atas segala cobaan bisa diatasi dengan kerja. Itu juga sekaligus artinya bahwa sabar tidak identik dengan berdiam diri (fatalis). Ingat bahwa ayat “wa in tshbirû wa tattaqû, fa inna dzâlika min ‘azm al-umûr” yang turun setelah perang Uhud mengisyaratkan kepada kita bahwa kekalahan kaum Muslimin dalam perang itu adalah karena mereka tidak bersabar dalam pengertian bahwa seharusnya pasukan berpanah bertahan di atas bukit di posnya, bukan turun untuk merebut rampasan perang yang menyebabkan kaum Musyrikin berbalik dan menyerang kembali, sehingga keadaan menjadi terbalik, di mana kaum muslimin yang sudah mendekati kemenangan menjadi kalah. Sabar dalam konteks itu adalah konsisten dengan petunjuk Nabi dan bertahan adalah sebuah strategi perang, bukan berdiam diri.

Dengan demikian, waktu adalah sangat penting dan berharga. Oleh karena itu, Islam memerintahkan umatnya agar menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Dalam ayat yang dikutip di atas, “fa idzâ faraghta fanshab” terkandung makna bahwa setelah selesai dari suatu aktivitas, hendaklah “tegak” (fanshab). “Tegak” memiliki pengertian bersiap untuk melakukan aktivitas lain. Istirahat juga bisa dilihat sebagai persiapan untuk melanjut aktivitas yang telah dilakukan, atau melakukan aktivitas lain. Istirahat sebenarnya adalah persiapan menuju aktivitas lain. Bahkan, waktu senggang atau waktu rehat bisa dimanfaatkan untuk aktivitas ringan. Kita telah mengetahui bahwa beberapa penemuan penting di dunia ini oleh para ilmuwan justeru dihasilkan di waktu senggang, seperti hukum gravitasi Newton. Konon, shalat bagi Nabi adalah sebuah bentuk istirahat. Kata tarâwîh pada shalat tarâwîh yang biasa kita laksanakan pada malam bulan Ramadhan juga berkonotasi istirahat, karena dilakukan dengan penuh khusyû’ dan khidmat, sehingga mendatang efek relaksasi terhadap jiwa kita.

Waktu merupakan hal yang sangat berharga. Orang Arab mengenal pepatah berikut:

Al-waqtu kassaif, fa in lam taqtha’hu qatha’aka

(Waktu adalah seperti pedang, maka jika kamu tidak menebaskannya, ia yang akan menebasmu)

Pepatah ini lebih merupakan perumpamaan tentang betapa pentingnya waktu, karena waktu selalu berjalan tanpa kompromi, dan waktu yang telah berlalu tak pernah akan kembali. Jika kita tidak menggunakan waktu, dalam pengertian berbagai kesempatan, seperti peluang untuk sukses dan berprestasi, bisa jadi kesempatan itu tak akan kunjung lagi. Waktu seperti “deterministik” dalam pengertian menentukan nasib manusia tanpa kompromi. Tinggal manusia yang memanfaatkan waktu, atau jika tidak, waktu yang akan melindas manusia. Yang dimaksud dengan “terlindas waktu atau zaman” adalah kita dikendalikan oleh waktu. Dalam istilah Mahmud Thâhâ, seorang pemikir Sudan, waktu memiliki hukum yang disebut dengan “hukum waktu” (hukm al-waqt) atau determinisme zaman. Misalnya, ketika pemerintah menerapkan pendidikan 9 tahun dan kebijakan itu merata, serta hajat hidup manusia akan taraf pendidikan semakin meningkat, orang yang tidak mengikutinya akan tertinggal.

Dr. A’idh al-Qarnî dalam bukunya, Lâ Tahzan (h. 15), mengumpamakan waktu yang kosong tak ubahnya dengan siksaan halus ala penjara China. Di penjara itu, narapidana ditempatkan di bawah pipa air yang hanya dapat meneteskan air setetes setiap menit selama bertahun-tahun. Dalam masa penantian yang panjang itulah, biasanya seorang napi akan menjadi stress dan gila.

Waktu sebaiknya dimanage dengan baik. Pertama, perencanaan (planning). Segala pekerjaan kita harus terencana dengan terbaik, tersusun, terjadual, disertai dengan target dan cara mencapainya. Dalam al-Qur`an dinyatakan,

Ya ayyuhalladzîna âmanûttaqû Allâh, wal tanzhur nafsun mâ qaddamat li ghadd

(Q.S. al-Hasyr/59: 18)

(Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaknya setiap jiwa/ orang merenungi apa yang telah dilakukan untuk hari esok)

Ayat sekaligus mengandung dua hal sekaligus, yaitu perencanan dan evaluasi. Menggunakan masa lalu sebagai cermin untuk masa depan mengandung pengertian mengevaluasi apa yang telah dilakukan, sekaligus untuk perencanaan masa depan. “Hari esok” mengandung pengertian hari esok yang merupakan jangka panjang, yaitu akherat, atau jangka pendek, yaitu kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama hidup di dunia.

Dalam Islam, kita mungkin bisa menyebutkan niat sebagai perencanaan, bahkan mendekati pelaksanaan, karena yang disebut niat bukanlah apa yang  terlintas di pikiran (hâdits nafs) atau angan-angan kosong (amal jamaknya âmâl, bukan ‘amal yang jamaknya a’mâl: perbuatan), melainkan tekad kuat (‘azm). Mungkin setiap memiliki cita-cita, tapi belum tentu menuangkan cita-cita itu dalam bentuk rencana yang tersusun baik.

Yang tidak kurang pentingnya dibandingkan perencanaan adalah pelaksanaan, perorganisasian, pengawasan, hingga evaluasi. Dalam Islam, misalnya, suatu kewajiban harus dilaksanakan sesuai dengan standar waktu yang ditentukan. Misalnya:

Inna al-shalât kânat ‘alâ al-mu`minîn kitâban mawqûtan (Q.S. al-Baqarah/2: 103)

(Sesungguhnya salahat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya)

Oleh karena itu, kewajiban yang dilaksanakan di luar waktu tidak sah, seperti haji, atau minimal berkurang nilai, seperti sahalat yang dikerjakan di luar waktunya (di-qadhâ`).

Dalam memanage waktu, Islam mengajarkan adanya skala prioritas (fiqh al-awlawiyyah). Misalnya, harus mendahulukan kewajiban daripada yang sunnat. Dalam waktu yang sempit, misalnya, sebaiknya tidak mengerjakan pekerjaan sunat yang menyebabkan habisnya waktu untuk mengerjakan yang wajib. Kata kunci dalam memanage segalanya, tidak hanya soal ibadah, mungkin juga kuliah atau pekerjaan adalah “prioritas” (awlawiyyah). Jika studi/ kuliah merupakan prioritas pertama, maka waktu harus diberikan sebagian besarnya untuk studi/ kuliah pula, sehingga kegiatan-kegiatan lain yang sifat sekunder berada di bawahnya dalam skala prioritas. Mungkin banyak orang yang sudah berujar bahwa keberhasilan bukanlah semata persoalan kecerdasan, sekalipun itu sangat menentukan, melainkan juha persoalan memanage waktu.

Dalam memanage waktu, menarik sekali bahwa ternyata Nabi mengajar pembagian waktu selama 24 jam menjadi 1/3 (8 jam), yaitu 1/3 untuk kerja, 1/3 untuk beribadah, dan 1/3 untuk istirahat. Pertama, 8 jam kerja (katakanlah: masuk kerja jam 8, pulang jam 4 sore) adalah waktu yang ideal dan sebanding dengan kekuatan tenaga manusia dan proporsional dikaitkan dengan hak waktu untuk kegiatan lain. Kedua, istirahat dalam pengertian di atas (tidak melulu tidur) selama 8 jam juga pembagian waktu yang ideal (katakanlah: tidur jam 21.00 [9 malam], bangun jam 05.00 [subuh]). Ketiga, beribadah selama 8 jam adalah proporsi ideal yang selama ini kurang kita perhatikan. Memang, harus dicatat bahwa pembagian ini tidak ketat, dan begitu juga setiap kegiatan tidak monoton, seperti ketika kerja bisa diselingi dengan istirahat dan shalat. Di samping itu, dalam Islam, memang kerja juga dipandang sebagai ibadah selama didasarkan atas niat ibadah, bukan semata mengejar kebutuhan materi. Tapi, memang proporsi waktu untuk ibadah selama ini terasa kurang, padahal kalau kita memperhatikan dengan seksama pernyataan ayat berikut tampak bahwa proporsi antara aktivitas duniawi bukanlah fifty-fifty (50%:50%), melainkan untuk akherat lebih banyak dibandingkan untuk dunia: “dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagian) negeri akherat, dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi…” (Q.S. al-Qashash (28): 77).

Demikian sekelumit ajaran Islam tentang bagaimana kita mengatur waktu. Semoga bermanfaat.

 

*Profil Penulis

Dr. Wardani, M.Ag. adalah seorang dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Antasari. Sekarang, beliau menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Publikasi Ilmiah (PUSLIT) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Antasari.

Komentar