KUMPULAN MATERI TARBIYAH UNTUK LIQO DAN MENTORING 2


Ahdafut Tarbiyah

 

Tujuan Tarbiyah

Bila kita menengok sirah nabawiyah kita akan mendapati sebuah episode bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tarbiyah (pembinaan) kepada para pengikutnya—para sahabat assabiqunal awwalun—di rumah Arqam bin Abi Arqam. Ibnu Abdil Bar berkata: “Di rumah Arqam bin Abi Arqam inilah Rasulullah berdakwah secara sembunyi-sembunyi menghindari gangguan orang-orang Quraisy, sampai Allah Ta’ala memberikan kekuatan kepada mereka untuk berdakwah secara terang-terangan, dan ini terjadi pada awal penyebaran Islam, sehingga banyak dari manusia yang beriman dengan dakwah yang beliau lakukan di rumah tersebut. Rumah Arqam bin Arqam berada di Makkah yang tepatnya di atas bukit Shafa.[1]

Bahkan tarbiyah qur’aniyah tersebut dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam secara berkelanjutan. Hal ini tergambar dari atsar berikut ini.

Riwayat dari Abdul Rahman As-Sulamiy dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Kami dulu belajar dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam 10 ayat, kami tidak mengetahui 10 ayat yang sesudahnya sehingga kami mempelajari pengamalan apa yang diturunkan dalam 10 ayat ini.” (Ath-Thohawi w. 321H/ 933M, Musykilul Atsar, juz 3 halaman 478).

Gerakan dakwah kontemporer hendaknya mengambil faidah dari apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat tersebut: tarbiyah berkelanjutan!

Tarbiyah dalam dakwah memiliki tujuan sebagai berikut:

Pertama, menanamkan gambaran Islam secara jelas (at-tashowwurul islami al-wadhih).

Yakni gambaran Islam yang menyeluruh (asy-syamil) dan benar (as-shahih). Terlebih lagi di saat buhul-buhul Islam mulai terlepas seperti kondisi saat ini. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kondisi memprihatinkan ini dengan sabdanya,

 “Benar-benar buhul-buhul Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali terlepas satu buhul, manusia berpegang kepada buhul lainnya yang masih tersisa. Buhul yang pertama kali terlepas adalah hukum, dan yang terakhir lepas adalah sholat.” (H.R. Ahmad)

Melalui tarbiyah, gerakan dakwah harus menjelaskan kepada para kadernya secara khusus dan kepada seluruh umat secara umum, bahwa tidak ada pemisahan antara menegakkan hukum syariat (politik) dengan menegakkan shalat (ibadah ritual).

Melalui tarbiyah, gerakan dakwah harus menjelaskan bahwa Islam itu mencakup seluruh aspek kehidupan. Ustadz Hasan Al-Banna menjelaskan hal ini dengan kalimat ringkas: “Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh) mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu pengetahuan dan hukum, material dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, serta pasukan dan pemikiran. Sebagaimana ia juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih”

Jadi, melalui tarbiyah gerakan dakwah bertujuan menanamkan pemahaman bahwa Islam adalah way of life, pedoman hidup, atau minhajul hayah.

Kedua, membangun interaksi (at-tafa’ul).

Yakni interaksi internal (ad-dakhiliy) dan interaksi eksternal (al-kharijiy). Tarbiyah diharapkan dapat membuahkan interaksi (pengaruh) internal. Dengan tarbiyah akan tertanam keyakinan (al-i’tiqad) yang menjadi dasar (al-asas) tindakan; dengan tarbiyah pemikiran (al-fikr) akan terwarnai dengan persepsi/gagasan (fikrah) yang lurus; dengan tarbiyah perasaan (asy-syu’ur) akan terarahkan selera (ad-dzauq) nya kepada selera Islam. Jadi, melalui interaksi tarbiyah akan terbentuklah kader-kader dakwah yang memiliki tekad yang kuat (al-azmu).

 “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (Q.S. Al-Ahqaf: 35)

Melalui tarbiyah diharapkan akan muncul rijal yang tabah dan sabar; tsabat (kokoh) dan hazm (teguh).[2] Tarbiyah diharapkan pula membuahkan interaksi (pengaruh) eksternal. Dengan tarbiyah, karakter (simat) yang ada pada diri akan terbentuk menjadi sikap (al-mauqif) yang terpuji; perilaku (as-suluk) nya akan terarah menjadi perbuatan (al-amal) yang mulia. Jadi, melalui interaksi tarbiyah akan terbentuklah kader-kader dakwah yang berkepribadian Islam (as-syakhshiyah al-islamiyah).

 “Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.” (Q.S. Al-Baqarah: 138)

Dengan interaksi tarbiyah, seorang kader dakwah akan tercelup dirinya dengan celupan ajaran Islam.

Ketiga, menggulirkan pergerakan (al-harakah).

Melalui sarana tarbiyah, gerakan dakwah dapat melakukan upaya peningkatan (at-tarqiyah) penguasaan teoritis (an-nadzariyah) dan pengendalian mental (al-ma’nawiyah) sehingga mampu meningkatkan kapasitas diri (raf’ul mustawa). Melalui sarana tarbiyah, gerakan dakwah akan mampu melakukan mobilitas (at-tausi’ah) dakwah. Melalui kader-kader yang tertarbiyah itulah gerakan dakwah akan mapu melakukan maneuver (al-munawaroh), pengkaderan (bina-ur rijal), dan penataan struktur (at-tandzimiyah).

Jadi, melalui sarana tarbiyah, gerakan dakwah akan leluasa melakukan pengendalian dakwah (saitharatud dakwah). Dengan tarbiyah, pergerakan dakwah akan berjalan lebih produktif (muntijah).

Apa jadinya jika gerakan dakwah tidak memiliki kader yang terbina atau tidak memiliki generasi penerus perjuangan? Ketahuilah, gerakan dakwah sangat berhajat terhadap eksisnya SDM yang berkualitas. Suatu hari Umar bin Khattab berkata kepada orang ramai yang ada di sekitarnya, “Ungkapkan angan-angan kalian!” Sebahagian dari mereka menyahut, “Aku berharap kalau saja rumah ini penuh dengan emas, niscaya aku akan menginfakkannya di jalan Allah.” Umar kemudian mengulangi perkataannya, “Ungkapkan angan-angan kalian!” Seseorang berkata, “Aku berangan-angan seandainya rumah ini dipenuhi dengan permata, intan dan mutiara, maka aku akan menginfakkannya di jalan Allah dan aku akan bersedekah dengan harta itu.” Setelah itu, Umar berkata lagi, “Ungkapkan angan-angan kalian!” Mereka menjawab, “Kami tidak tahu apa lagi yang dapat kami ungkapkan, wahai Amirul Mukminin.” Umar berkata, “Aku berangan-angan rumah ini dipenuhi dengan orang seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Salim hamba Abu Hudzaifah, dan Hudzaifah bin Yaman.”[3]

Keempat, membekali pengalaman (at-tajribah).

Dengan tarbiyah para kader dakwah diarahkan untuk melakukan berbagai pelaksanaan amal (at-tathbiqiyah). Dengan begitu mereka akan merasakan secara langsung berbagai macam problematika pelaksanaan amal (al-qadhaya at-tathbiqiyah). Berbagai macam praktek di lapangan tersebut kemudian akan akan melahirkan kekuatan pengalaman (quwwatul khibrah).

Gerakan dakwah tidak akan memiliki keterampilan dan kemampuan melakukan penguasaan masyarakat, jika kader-kadernya tidak diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat; gerakan dakwah tidak akan memiliki keterampilan dan kemampuan pengelolaan proyek-proyek amal—pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dll—jika kader-kadernya tidak diterjunkan dalam proyek-proyek amal tersebut.

Kelima, menumbuhkan tanggung jawab (al-mas’uliyah).

Dengan tarbiyah yang berkelanjutan, seseorang akan menyadari tuntutan syar’i (as-syar’iyyah) berdasarkan pemahamannya terhadap hukum-hukum Islam (fiqhul ahkam), bahwa ia harus berkontribusi terhadap perjuangan dakwah. Ia pun menyadari bahwa hal itu harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala.

Tarbiyah juga akan menanamkan kesadaran tanggung jawab struktural (at-tandzimiyah) berdasarkan pemahaman dakwah (fiqhud da’wah) yang dimilikinya, bahwa ia harus bekerja bersama organisasi dakwah (al-jama’ah) dalam setiap tuntutan tahapan dakwah (fi ihtiyajatil marhalah).

Keenam, mengembangkan kemampuan (al-kafa’ah).

Dengan tarbiyah, kemampuan SDM dalam struktur dakwah (fit tandzim) akan tumbuh berkembang. Baik berupa al-kafa’ah ad-da’wah (kemampuan berdakwah), al-kafa’ah al-ilmiyah (kemampuan ilmiyah), atau al-kafa’ah al-faniyyah (kemampuan keterampilan/skill).

Wallahu a’lam…

 

CATATAN KAKI:

[1] Dikutip dari: Arqam Bin Abi Arqam,Seorang Shahabat Yang Istimewa, http://www.al-sofwah.or.id

[2] Lihat pengertian ulul azmi dalam Zubdatut Tafsir, hal. 506 (Darun Nafais Yordania); Tafsir Jalalain, hal. 506 (Darut Taqwa Kairo), dan Al-Qur’an & Tafsirnya Jilid IX, hal. 299 (Lentera Abadi Jakarta)

[3] Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, hal. 542, oleh Mahmud al-Mashri.

 

Ukhuwah Islamiyah

 

Makna Ukhuwah Islamiyah.

• Menurut Imam Hasan Al-Banna: Ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidah.

Hakekat Ukhuwah Islamiyah
1. Nikmat Allah (QS. 3: 103)
2. Perumpamaan tali tasbih (QS. 43: 67)
3. Merupakan arahan Rabbani (QS. 8: 63)
4. Merupakan cermin kekuatan iman (QS. 49: 10)

Perbedaan Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Jahiliyah
• Ukhuwah Islamiyah bersifat abadi dan universal karena berdasarkan aqidah dan syariat Islam. Ukhuwah Jahiliyah bersifat temporer (terbatas pada waktu dan tempat), yaitu ikatan selain ikatan aqidah (misal: ikatan keturunan [orang tua-anak], perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan pribadi).

Hal-hal yang menguatkan Ukhuwah Islamiyah:
1. Memberitahukan kecintaan pada yang kita cintai
2. Memohon dido’akan bila berpisah
3. Menunjukkan kegembiraan & senyuman bila berjumpa
4. Berjabat tangan bila berjumpa (kecuali non muhrim)
5. Mengucapkan selamat berkenaan dengan saat-saat keberhasilan
6. Memberikan hadiah pada waktu-waktu tertentu
7. Sering bersilaturahmi (mengunjungi saudara)
8. Memperhatikan saudaranya & membantu keperluannya
9. Memenuhi hak ukhuwah saudaranya

Buah Ukhuwah Islamiyah
1. Merasakan lezatnya iman
2. Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi)
3. Mendapatkan tempat khusus di syurga (15:45-48)

Referensi
• Bercinta dan bersaudara karena Allah, Ust. Husni Adham Jarror, GIP
• Meraih Nikmatnya Iman, Abdullah Nasih ‘Ulwan
• Rahasia Sukses Ikhwan Membina Persaudaraan di Jalan Allah, Asadudin Press
• Panduan Aktivis Harokah, Al-Ummah

 

 

 

Al-Qur’an

Definisi Al-Qur’an

• Secara bahasa berarti “bacaan”.
• Secara istilah berarti “Kalam Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW dan membacanya merupakan ibadah”

Nama-nama Al-Qur’an
• Al-Qur’an/ Bacaan [17:9] .
• Al-Kitab/ Buku [21:10].
• Al-Furqon/ Pembeda [25:1]
• Adz-Dzikr/ Pengingat [15:9].
• An-Nur/ Cahaya [4:174]

Karakteristik Al-Qur’ an
• Diturunkan bukan untuk menyusahkan manusia [ 20:2].
• Bacaan yang teramat mulia dan terpelihara [56: 77-78] .
• Tidak seorang pun yang dapat menandingi keindahan dan keagungan Al-Qur’an [2:23, 17:88] .
• Tersusun secara terperinci dan rapi [11:1] .
• Mudah difahami dan diambil pelajaran [54: 17, 34, dst]

Fungsi Al-Qur’an
• Pengganti kedudukan kitab suci sebelumnya yang pernah diturunkan Allah SWT
• Tuntunan serta hukum untuk menempuh kehidupan
• Menjelaskan masalah-masalah yang pernah diperselisihkan oleh umat terdahulu
• Sebagai mukjizat Rasulullah SAW

AkhIak Terpuji Terhadap Al-Qur’an
• Membaca ta’awudz sebelum membaca Al-Qur’an [16:98] .
• Membaca Al-Qur’an secara tartil perlahan-lahan [73:4] .
• Lapang dada menerima Al-Qur’an [7:2]
• Mendengarkan baik-baik pembacaan Al-Qur’an [7:204] .
• Bergetar hatinya dan bertambah imannya [8:2-4]

Akhlak tercela terhadap Al-Qur’an .
• Keunggulan Al-Qur’an
• Menyombongkan diri dan berpaling [31:7] .
• Menertawakan peringatan ini [53:59-62] .
• Tidak memperahatikan Al-Qur’an [47:24]

Keunggulan Al-Qur’an .

• Al-Qur’an adalah mukjizat yang abadi [4:74].
Allah menghendaki agar Al-Qur’an berlaku umum (mencakup permasalahan) dan bersifat universal. Maka, disusun dan dikumpulkan Al-Qur’an itu dengan sistematika yang memperlihatkan universalitas dan kekekalannya dan dijauhkan dari susunan yang bersifat temporer, yang hanya memperlihatkan urgensi pada suatu masa saja, yaitu ketika turunnya.

• Keunggulan Al-Qur’an secara ilmiah
Pemikiran modern dalam berbagai bidang disiplin ilmu dewasa ini telah menetapkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab ilmiah yang menghimpun segala disiplin ilmu dan filsafat. Ilmu itu datang dari Allah SWT, sebagai tanda kemuliaanNya dan ketinggian ilmu-Nya.[96:1-5] .

• Jaminan kemurnian Al-Qur’an.
Allah sendiri yang menjamin kemurnian Al-Qur’an [6:115, 15:9] .

• Al-Qur’an bersifat umum dan universal.

Umum : Mencakup seluruh bidang/permasalahan manusia. [6:38]
Universal : Berlaku selamanya dan untuk seluruh kaum. [25:1]

Referensi
• Paket BP NF ‘Keunggulan Al-Qur’an’
• Ibnu Qoyim, Mahabatullah, (Bab I)
• Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran , hal 18

 

 

Al Qur’an Yang Mulia

 

Al Qur’an Yang Mulia

Tujuan :
1. Memahami keutamaan membaca Al Qur’an dan adab-adab terhadapnya.
2. Termotivasi untuk membaca dengan baik, mempelajari dan mengamalkannya

I. Pendahuluan
Al Qur’an adalah pedoman hidup setiap muslim. Di dalamnya berisi panduan aturan hidup dan kehidupan antara manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat dan dirinya sendiri. Bila seseorang mendekati sumber hidayah ini Insya Allah akan tersentuh dengan petunjukNya dan bila tidak mendekat-Nya akan jauh dari hidayah-Nya.
Bagi setiap muslim berinteraksi dengan Al Qur’an menjadi  suatu kebutuhan untuk menyemarakkan cahaya Islam dalam kehidupannya. Dalam berinteraksi dengan Al Qur’an dibutuhkan kebersihan hati dan diri dari cinta dunia. Dengan demikian akan terbentuk motivasi yang kuat untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan Al Qur’an.
Mu’min yang berinteraksi secara baik dengan Al Qur’an akan mendapat posisi yang baik di sisi Allah. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda “Perumpamaan mu’min yang membaca Al Qur’an ibarat buah utrujah (sejenis limau), baunya harum dan rasanya lezat. Orang mu’min yang tidak membaca Al Quran ibarat buah kurma, tidak berbau tapi manis rasanya. Orang munafik yang membaca Al Qur’an ibarat buah raihanah, baunya sedap dan rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an ibarat buah petola, tidak berbau dan rasanya pahit”. (HR. Bukhari, Muslim).
Dalam lintasan sejarah, terukir prestasi gemilang yang dicapai oleh jiwa-jiwa Qur’ani yang dimiliki para sahabat (generasi pertama). Sebagai contoh Abdullah bin Ummi Maktum dengan keterbatasan penglihatan karena buta namun ia mampu berjihad dan komitmen terhadap shalat jama’ah. Amr bin Al Jumuh walaupun kakinya pincang semangat jihadnya yang tinggi ditampilkan dalam perang Uhud.
Utsman bin Affan dengan semangat kedermawanan yang tinggi dan masih banyak lagi.
Itulah Al Qur’an tadabburnya mampu memberi kekuatan kepada orang yang lemah, mengingatkan pada orang yang lupa, memberi semangat pada orang yang malas dan memberi inspirasi kepada orang yang ingin maju hidupnya.
Untuk dapat menghasilkan tadabbur yang benar, seorang mu’min membutuhkan 5 syarat yaitu sebagai berikut:
1. Memiliki aqidah yang benar (shahihul Aqidah)
2. Bersih hati (salamatul qolb)
3. Memahami bahasa arab
4. Memahami Tafsir bil Ma’tsur
5. Memiliki komitmen yang kuat terhadap ajaran Islam
Ketika seorang mu’min sudah memilki kriteria di atas maka Insya Allah akan merasakan bagaimana Al Qur’an memerankan fungsi utamanya yaitu mendidik dan membina jiwa-jiwa manusia agar menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya.

II. Pengertian Al Qur’an
Sebagai pedoman hidup Al Qur’an adalah kalam Allah yang merupakan mu’jizat diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW disampaikan kepada manusia secara mutawatir (bertahap) dan membacanya merupakan ibadah.
Al Qur’an adalah firman Allah yang berisikan petunjuk dan syari’at bagi manusia agar mendapat jalan yang benar. Al Qur’an diturunkan ke hati Rasulullah SAW dan terpelihara keasliannya hingga akhir jaman.
 Dalam Al Qur’an Surat An Najm (53) : 4, Allah SWT telah memberi tahu kepada kita  bahwa Al Qur’an itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mu’jizat, Al Qur’an membuktikan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah bukan buatan manusia. Mu’jizat ini diakui oleh para cendekiawan masa lalu dan juga sekarang. Al Qur’an menjadi rujukan utama bagi berbagai disiplin ilmu. Selain itu berbagai kabar ghaib tentang masa lampau seperti kisah kaum ‘Ad hingga masa yang akan datang yaitu datangnya kiamat terangkum dalam Al Qur’an. Dari segi kebahasaan, rangkaian kata dan susunan kalimat yang ada dalam Al Qur’an menunjukkan bahwa manusia tidak akan mampu menandinginya apalagi membuatnya, bahkan manusia ditantang oleh Allah untuk membuat tandingan Al Qur’an ( Al Baqarah (2) : 23 ).
Berbeda dengan aktivitas membaca buku lainnya, membaca/tilawah Al Qur’an menjadi ibadah. setiap membaca Al Qur’an maka pahala terus mengalir karena tilawah Al Qur’an adalah ibadah. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Umamah Al Bahili, Rasulullah bersabda: “Bacalah Al Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada pembaca”. (HR. Muslim).

III. Nama-nama Al Qur’an
Al Qur’an memiliki nama-nama lain antara lain:
1. Al kitab (Kitab), QS. Al Baqarah (2) : 2
2. Al Huda (Petunjuk), QS. Al Baqarah (2) : 2, 185
3. Al Furqan (Pembeda), QS. Al Furqaan (25) : 1
4. Ar Rahmah (Rahmat), QS. Al Israa’ (17) : 82
5. Asy Syifa (Obat), QS. Yunus (10) : 67
6. Ruh, QS. Al Mu’min (40) : 15
7. Al Haq (Kebenaran), QS. Al Baqarah (2) : 147
8. Al Bayan (Penerang), QS. Ali Imron (3) : 138
9. Al Mauidzoh (Pengajaran), QS. Al Qamar (54) : 17 
10. Adz Dzikru (Peringatan ), QS. Al Hijr (15) : 9
11. Busyro (Berita Gembira), QS. An Nahl (16) : 89

IV. Kedudukan Al Qur’an
1. Kitabul Naba wal akhbar (Berita dan Kabar), QS. An Naba’ (78) : 1-2
2. Kitabul Hukmi wa syariat (Kitab Hukum Syariah),
QS. Al Maidah (5) : 49-50
3. Kitabul Jihad, QS. Al Ankabut (29) : 69
4. Kitabul Tarbiyah, QS. Ali Imran (3) : 79
5. Minhajul Hayah (Pedoman Hidup), QS. Al Qashash (28) : 50
6. Kitabul Ilmi, QS. Al Alaq (96) : 1-5

V. Tuntutan Iman kepada Al Qur’an
1. Al Unsubihi (akrab dengan Al Qur’an) melalui dua cara, yaitu mempelajarinya (ta’alumuhu), mengajarkannya (taklimuhi)
 Agar dapat akrab dengan Al Qur’an, hal yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Membacanya (tilawah)
Ada sepuluh amalan dalam tilawah, antara lain:
• Memahami keagungan dan ketinggian firman Allah
• Mengagungkan Allah
• Kehadiran hati (khusyu’)
• Tadabbur
• Tafahum (memahami secara mendalam)
• Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman Takhshish (menyadari bahwa diri merupakan sasaran yang dituju Al Qur’an)
• Taatsur (mengimbas ke dalam hati)
• Taraqqi (meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mengajarkan kalam dari Allah)
• Tabarriy (memandang kepada dirinya dengan pandangan ridha 
 dan tazkiyah)
b. Fahman (Memahami dan mentadabburi isinya), QS. Muhammad (47) : 24
c. Tatbiqon (mengamalkan)
d. Hafidzon (menghapal dan memeliharanya)
2. Tarbiyatu Nafsi Bihi (Mentarbiyah diri dengan Al Qur’an),
QS. Ali Imran (3) : 39
3. Taslim Wa Ahkamihi (Menerima dan tunduk kepada hukum),
QS. Al Ahzab (33) : 36
4. Da’watu ilallah (Menyeru orang kepada-Nya),
QS. An Nahl (16) : 125
5. Iqomatuhu Fil Ardhi (Menegakkan Al Qur’an di muka bumi),
QS. Asy Syuura (42):13

VI. Akhlaq Terpuji Terhadap Al Qur’an
1. Membaca Ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an,
QS. An Nahl (16) : 98
2. Membaca Al Qur’an secara tartil/perlahan-lahan,
QS. Al Muzzammil (73) : 4
3. Lapang dada menerima Al Qur’an, QS. Al A’raf (7) : 2
4. Mendengarkan baik-baik bacaan Al qur’an, QS. Al Anfal (8) : 2-4

VII. Akhlaq Tercela Terhadap Al Qur’an
Mentertawakan peringatan (tidak mengindahkan) Al Qur’an,
QS. Adh Dhuhaa (93) : 59-62

VIII. Bahaya Melupakan Al Qur’an
1. Kesesatan yang nyata, QS. An Nisa (4) : 60
2. Sempit dada, QS. Al An’am (6) : 125
3. Kehidupan yang serba sulit, QS. Thaahaa (20) : 124
4. Mata hati yang buta, QS. Al Hajj (22) : 46
5. Hati menjadi keras, QS. Al Hadiid (57) : 16
6. Zalim dan hina, QS. As Sajdah (32) : 22
7. Bersahabat dengan syaithan, QS. Az Zukhruf (43) : 36
8. Lupa pada diri sendiri, QS. Al Hasyr (59) : 19
9. Fasiq, QS. Ar Ra’d (13) : 19-20
10. Nifaq, QS. An Nur (24) : 49-50

IX. Syarat agar dapat mengambil manfaat dari Al Qur’an
1. Bersikap sopan (niat yang baik, hati dan jasad bersih)
2. Baik dalam talaqqi (membaca Al Qur’an secara tertib)
3. Berorientasi kepada tujuan yang asasi dari Al Qur’an
4. Mengikuti cara interaksi sahabat dengan Al Qur’an
Referensi :  1. Ma’rifatul Qur’an, DR. Irwan Prayitno
  2. Tadzkiyatun Nafs, Said Hawwa
  3. Keunggulan Al Qur’an, Paket BP Nurul Fikri
  4. Mahabatullah, Ibnu Qoyyim
  5. Studi Ilmu Qur’an, Manna Kalil al Qathan

 

Kesombongan

I. Pendahuluan

Kesombongan adalah sifat yang muncul seiring dengan keberadaan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT. Sifat ini sudah berusia ratusan bahkan ribuan tahun sebelum kita lahir. Namun penyakit ini hingga kini terus melanda manusia. Sombong adalah sifat yang dibenci oleh manusia dan juga Allah. Sombong termasuk dalam kategori penyakit yang tumbuh dalam jiwa manusia, jin dan syaithan. Kisah pertama munculnya sombong adalah berawal dari syaithan yang merasa lebih tinggi dari manusia. Ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk sujud kepada Adam as. sebagai tanda penghormatan, syaithan menolaknya karena ia merasa lebih baik dari Adam ‘alaihis salam.  

Kesombongan keseluruhannya adalah sifat yang tercela. Yang berhak menyandang kesombongan adalah Allah SWT, karena Dia-lah yang memiliki segalanya. Kesombongan berakibat kesengsaraan, tidak ada manfaat sama sekali bagi manusia yang mempunyai sifat ini. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Mu’minun (23) : 56, “Tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kesombongan yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya.”

II. Hakikat Kesombongan

Kesombongan pada dasarnya adalah perangai yang ada dalam jiwa yaitu kepuasan dan kecenderungan kepada penglihatan atas orang yang disombonginya. Kesombongan menuntut adanya pihak yang disombongi dan hal yang dipakai untuk sombong. Pada saat ia merasa memiliki kesempurnaan dibandingkan dengan orang lain hingga dalam hatinya timbul anggapan, kepuasan, kesenangan dan kecenderungan terhadap keyakinan tersebut maka ia telah takabur. Perangai kesombongan meliputi perasaan merasa benar, seolah manusia memandangnya dalam pandangan keyakinan dirinya bahwa ia besar, sempurna atau terbaik.

Bila keyakinan ini dilanjutakn dengan perbuatan secara zhahir dengan meremehkan orang lain maka ini disebut takabur. Ia sudah merasa besar, lebih baik dan merendahkan orang lain, menjauh dan tidak mau duduk bersama dengan yang bukan yang sebanding dengannya.

III. Keburukan yang ditimbulkan dari kesombongan

1. Kesombongan menjadi penghalang masuk syurga

Kesombongan menghalangi semua akhlaq yang seharusnya disandang oleh orang mu’min, sedang akhlaq-akhlaq itu merupakan pintu-pintu syurga dan kesombongan merupakan penutupnya. Ia tidak bisa mencintai kaum muslimin karena ia lebih mencintai dirinya sendiri dan ia merasa dirinya yang lebih baik sehingga bagaimana mungkin orang lain dapat masuk dalam hatinya. Ia juga tidak dapat terbebas dari melecehkan orang lain karena ia merasa lebih baik dari orang lain.
Hadits: “Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar dzarrah.” (HR. Bukhari)

2. Kesombongan berakibat buruk bagi dirinya di dunia dan juga di akhirat

Sifat sombong yang bersemayam dihatinya akan mengakibatkan sikap merasa dirinya lebih baik dari orang lain. Dialah yang memiliki banyak ilmu, paling alim, banyak harta, paling pintar, paling kaya dan sebagainya. Dengan sikap seperti itu maka manusia akan menjauhinya, mereka tidak akan senang bersama orang yang sombong, mereka juga tidak akan sudi menolong orang yang sombong. Di akhirat orang tersebut juga akan mendapat cela tidak hanya dari malaikat namun juga akan dimasukkan ke dalam neraka oleh Allah SWT dan mereka juga akan dipersalahkan oleh pengikutnya. (QS. Az Zumar (39) : 72, Maryam (16) : 69).

IV. Tingkatan kesombongan dan pihak yang disombonginya 
1. Sombong kepada Allah SWT

Ini adalah kesombongan yang paling keji. Penyebabnya adalah kebodohan dan pembangkangan. Kisah Fir’aun menjadi saksinya.

“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku, mereka akan masuk neraka Jahanam dengan hina dina.”

2. Sombong kepada para rasul

Kesombongan ini akibat dari keengganan jiwa untuk mematuhi manusia yang seperti mereka (rasul). (QS. Al Mu’minun (23) : 47, Yasin (36) : 15,     Al Furqan (25) : 21)

3. Kesombongan terhadap para hamba

Kesombongan ini muncul sebagai akibat merasa dirinya paling terhormat, lebih baik dan melecehkan orang lain sehingga tidak mau patuh kepada mereka, meremehkan mereka dan tidak mau sejajar dengan mereka. Sifat ini tidak layak dimiliki manusia, karena yang berhak memiliki sifat ini adalah Allah SWT.

Dalil Hadits qudsi: “Kebesaran adalah kain sarung-Ku dan kesombongan adalah selendang-Ku. Barang siapa yang melawan Aku pada keduanya niscaya Aku akan menghancurkannya.”

V. Penyebab Kesombongan
1. Ilmu Pengetahuan ; Ilmu pengetahuan dapat menjangkiti para ulama (para intelektual) karena dengan ilmunya ia merasa tinggi dan orang lain tidak mampu menyainginya.
2. Amal dan Ibadah ; Orang ahli ibadah dan zuhud tidak dapat juga terlepas dari nistanya kesombongan ini. Kesombongan itu menyelinap ke dalam diri mereka, baik menyangkut urusan agama maupun dunia.
Dalil Hadits: “Cukuplah seseorang dinilai telah melakukan kejahatan bila ia merendahkan saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
3. Nasab/Keturunan ; Orang yang memiliki nasab mulia akan menganggap orang lain hina.
Dalil Hadits: “Hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan terhadap nenek moyang mereka yang telah menjadi batu bara di neraka jahanam atau (jika tidak) mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah dari kumbang yang hidungnya mengeluarkan kotoran.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
4. Harta Kekayaan ; Hal ini terjadi pada hartawan dan raja-raja yang membanggakan harta kekayaannya. (QS. Qashash (28) :79)
5. Kecantikan dan Ketampanan
6. Kekuatan dan Keperkasaan
7. Pengikut, pendukung, murid, pembantu keluarga, kerabat dan anak ; Hal ini dapat terjadi bagi para pemimpin baik negarawan, raja, pemuka ataupun ulama yang bersaing memperbanyak anggotanya.

VI. Cara Mengobati Kesombongan

Cara mengobati kesombongan dengan mengikis habis sampai ke akar-akarnya dan mencabut pohonnya dari tempat tanamannya yang bersemayam di dalam hati, yaitu:

1. Pengobatan melalui ilmu (‘ilaj ilmi)
Yaitu melalui pengenalan diri pada Tuhannya. Apabila ia telah mengenal dirinya dengan benar maka ia akan mengetahui bahwa ia hanyalah salah satu dari makhluk-Nya dan seorang hamba yang memiliki keterbatasan dan kekurangan. Dengan demikian ia akan menyadari bahwa ia sama sekali tidak berhak menyandang kesombongan. Jika dibandingkan dengan Allah SWT, ia tidak mempunyai sesuatu apapun yang bisa disombongkan.

2. Pengobatan secara perbuatan (‘ilaj Amali)
Yaitu melalui sikap tawadhu. Ia bersikap tawadhu kepada Allah SWT dengan amal ibadahnya dan kepada makhluk-Nya dengan senantiasa menjaga akhlaq seperti orang-orang yang tawadhu seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Referensi :  

1. Tazkiyatun Nafs, Said Hawwa
2. Terapi mental aktivis Da’wah, Fathi Yakan

 

       Waktu dan Kehidupan

I. Karakteristik Waktu

Waktu adalah milik manusia yang paling berharga. Oleh karena itu pergunakan waktu sebaik mungkin, karena waktu apabila telah lewat tidak akan dapat diharapkan kembali lagi. Berbeda dengan suatu benda yang telah hilang, masih mungkin ditemukan kembali (QS. An Naazi’aat (79) : 46).

Manusia yang berakal, menghadapi waktunya bagaikan orang yang kikir menghadapi harta bendanya yang mahal. Ia tidak akan menyia-nyiakan sekejap pun terhadap sesuatu yang sedikit, apalagi yang banyak. Ia selalu menghitung setiap uang yang keluar harus mendapat imbalan yang wajar. Ia juga selalu berusaha menempatkan sesuatu pada tempat yang layak. Begitulah orang yang mempergunakan uang dan demikian pula seharusnya kita mempergunakan waktu.

Sebagai muslim yang baik, hendaknya kita sadar bahwa waktu itu sebagai sesuatu yang berharga, karena waktu adalah umurnya. Perjalanan hidup manusia melaju dengan cepat menuju kepada Allah SWT. Sedangkan setiap kemajuan yang keluar pada suatu pagi, tidak lain merupakan satu fase dari fase-fase perjalanan yang tidak terhenti sampai disini saja, melainkan untuk selamanya. Dan orang-orang yang berakal dapat mengetahui kebenaran itu. Oleh karena itu, hendaknya kita betul-betul mengetahui dengan jelas apa yang sudah kita kerjakan pada waktu yang lalu dan apa yang wajib kita kerjakan untuk masa yang akan datang. Hendaknya kita selalu mengadakan perhitungan untung rugi dari apa yang telah kita kerjakan, apabila ternyata kita mendapat kerugian dari amal-amal kita, maka hendaknya kita tutup dengan memperbanyak amal-amal kebajikan untuk masa datang dan apabila kita memperoleh keuntungan dari amal-amal kita, maka lebih ditingkatkan lagi agar kita memperoleh bekal lebih banyak lagi untuk kehidupan kita kelak, baik di dunia maupun di akhirat.

II. Mensyukuri Nikmat Umur

Di antara sekian banyak nikmat Allah yang kita pakai dan kita pergunakan setiap hari, maka yang sangat kita rasakan adalah nikmat umur yang kita pakai sekarang ini. Umur yang kita pakai sekarang ini adalah salah satu nikmat Allah yang mahal harganya dan paling tinggi nilainya. Kalau Allah SWT telah memanjangkan umur kita sekarang ini, maka sudah sepantasnya sebagai terima kasih kita, sebaiknya kita gunakan untuk mengabdi kepada Allah dalam arti yang sebenarnya-benarnya, mengabdi untuk berbuat baik kepada masyarakat sebanyak mungkin, disamping mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya serta bersedia menegakkan hukum-hukum Allah dengan patuh dan tunduk.
Umur yang kita pakai sekarang ini akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah nantinya, untuk apa umur kita habiskan. Pada waktu itu tidak dapat berdusta sedikitpun, sebab seluruh anggota badan kita menjadi saksi tentang apa dan untuk apa dipergunakan umur yang sekian puluh tahun dipakai.

Sabda Nabi Muhammad SAW : “Belum lagi hilang jejak telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat, sehingga kepadanya telah diajukan empat pertanyaan :
1. Dari hal umurnya, kemana dihabiskan
2. Dari hal tubuhnya, untuk apa dipakainya
3. Dari hal ilmunya, apa yang sudah diamalkannya dengan ilmunya
4. Dari hal harta, dari mana diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya” (HR. Turmudzi)

Bagi manusia yang beriman kepada Allah, pasti mempercayai bahwa suatu saat yang telah ditentukan umurnya akan bercerai dengan badannya bila ajalnya telah datang dan dia berpulang ke rahmatullah untuk mempertanggungjawabkan umurnya kepada Allah. Bila kepercayaan itu sudah tumbuh dan sudah menjadi keyakinan yang kuat, tentunya setiap orang akan berhati-hati terhadap sisa umurnya, sebelum datang ajalnya untuk mencapai husnul khotimah, yaitu penghabisan umur yang baik.

Oleh karena itu, kita sama-sama ingat pada pesan Nabi Muhammad SAW mengenai penggunaan segala kesempatan dalam hidup ini sebagaimana dikemukakan sebagai berikut, “Pergunakanlah lima hal sebelum datangnya lima hal:
1. Pergunakanlah sehatmu sebelum datang sakitmu
2. Pergunakanlah lapangmu sebelum datang kesempitanmu
3. Pergunakanlah mudamu sebelum datang tuamu
4. Pergunakanlah kayamu sebelum datang kemiskinanmu
5. Pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu.”
(HR. Bukhari)  

III. Akibat Tidak Memanfaatkan Waktu

1. Kekosongan Akal

Akal merupakan mutiara terbesar yang dmiliki manusia. Manusia tanpa memfungsikan akal untuk mengenal Rabbnya, maka nilainya tidak ubahnya seperti binatang (QS. Al Anfaal (8) : 22). Karenanya kita harus menyadari pentingnya pengisian akal dengan sesuatu yang bermanfaat yaitu tadabbur (memperhatikan) Allah SWT dengan kewajiban yang harus dipenuhi, serta tafakur (memikirkan) makhluk-makhluk ciptaan-Nya (QS. An Nahl (16) : 12)   

2. Kekosongan Hati

Hati laksana bejana tempat bersemayamnya iman dan juga hawa nafsu (QS. Al Hujuraat (49) : 7). Hendaklah mewaspadai penyakit-penyakit hati yang akan menjerumuskan dirinya pada kehancuran, diantaranya adalah dengki, dendam dan benci kepada sesama manusia, takabur, sombong, hasad, iri hati dan sebagainya. Hendaklah memberi makan hati dengan banyak mengingat Allah SWT melalui mendengar dan membaca Al Qur’an serta memperbanyak do’a.

Letaknya hati ada di dalam jiwa, apabila tidak disibukkan dengan aktivitas positif, maka ia akan menyibukkan kita dengan aktivitas kebatilan. Menyibukkan jiwa dengan kebaikan adalah ialah menyucikan, mendidik dan menarik tali kekangnya dari yang batil (QS. Asy Syam (91) : 9-10). Jiwa yang kosong dari sikap serius dan sikap penuh kesucian, akan menyebabkan senantiasa menyelimutinya, mengalami kegersangan dan dekadensi moral. Demikianlah keberadaan jiwa yang kosong. Tidak bersua, tidak bekerja, tidak beriman dan tidak beragama. Obsesinya (cita-citanya) hanya berbuat dan bermain di dunia ini dengan perbuatan yang sia-sia, yang nantinya akan diikuti oleh kekecewaan dan penyesalan kelak di akhirat (QS. Az Zumar (39) : 56)

IV. Kewajiban Muslim Terhadap Waktu

1. Menjaga dan memanfaatkan waktu
2. Tidak menyia-nyiakan waktu
3. Mengisi kekosongan dengan perbuatan yang mendatangkan kebaikan
4. Berlomba-lomba dalam kebaikan (QS. Al Baqarah (2) : 148)
5. Belajar dari perjalanan hari demi hari (QS. An Nuur (24) ; 44)
6. Mengatur waktu
7. Bagi tiap waktu ada aktivitas tertentu
8. Memilih waktu-waktu yang istimewa

         
Referensi  :
1. Waktu Dalam Kehidupan Seorang Muslim, DR. Yusuf Qordhowi
2. Akhlaq Seorang Muslim, Drs. H. Moh. Rifa’i

 

Dzikrul Maut

I. Pendahuluan

Hal yang paling menyakitkan bagi kebanyakan orang adalah kematian. Bila diceritakan tentang kematian seolah-olah berakhirlah segalanya. Musnah sudah semua yang sudah dirintis dan diusahakannya. Berakhir sudah episode kehidupannya. Berhenti kisah hidupnya. Tak ada lagi yang dapat dilakukan, hanya tinggal mengenang dirinya.
Bagi seorang muslim kematian merupakan bagian dari episode kehidupan yang masih ada kelanjutannya. Tidak berhenti di pintu gerbang kematian saja. Kehidupan di dunia adalah ladang bagi kehidupan selanjutnya, di mana kehidupan tersebut adalah kekal abadi. Oleh karena itu bagi seorang muslim, kematian adalah pintu gerbang yang mengarahkan seseorang menuju keadaan dimana ia akan mendapat balasan atas segala perbuatannya. balasan itu berujung pada dua cabang, yaitu kebahagiaan yang abadi atau kesengsaraan yang tak berkesudahan.

Setiap muslim diajarkan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dengan demikian setiap muslim diperintahkan untuk mempersiapkan diri mencari bekal sebanyak-banyaknya agar mudah dihisab nanti. Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang cerdas adalah orang yang mengendalikan diri dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.” (HR. Tirmidzi)

Dzikrul maut pada dasarnya melatih jiwa untuk terus mengenal dan merasa diawasi oleh Allah SWT. Peristiwa kematian baginya bukan sesuatu yang menakutkan, bukan juga merupakan keberakhiran hidup seseorang tanpa mendapat balasan. Baginya peristiwa kematian merupakan pertemuan hamba dengan penciptanya. Agar ia dapat bertemu dengan penciptanya dalam kebahagiaan maka ia perlu menyiapkan sebaik-baiknya bekal. Dengan persiapan inilah diharapkan kelak bila saatnya tiba ia akan menghadap Rabbnya dengan keridhaan dari Rabbnya sehingga bahagia di sisi Allah selamanya.

II. Keutamaan Dzikrul Maut

1. Dzikrul maut menghindarkan diri dari kampung tipu daya dan menggiatkan persiapan untuk kampung akhirat.
Dalil Hadits : “Hadiah orang mu’min adalah kematian” (HR. Abu Dunya, Thabrani dan Al Hakim secara mursal dengan sanad hasan)
2. Dzikrul maut membongkar berbagai keburukan dunia sehingga menyadarkan manusia bahwa dunia hanyalah perhiasan yang semu tak akan kekal abadi. Dalil Hadits : “Tinggal di dunia ibarat musafir yang sedang istirahat sejenak di bawah pohon untuk kemudian pergi melanjutkan perjalanan.”
3. Dengan dzikrul maut segala kesusahan dan penderitaan dunia menjadi ringan baginya.
4. Dzikrul maut melembutkan hati dan menajamkan bashiroh. Dengan dzikrul maut setiap insan akan merasa perlu untuk memperbaiki dirinya dan terus mengupayakan amal sholeh sebanyak-banyaknya sehingga ia akan berhati-hati dan lebih menghargai orang lain karena baginya tidak ada yang abadi di dunia ini dan setiap orang berpotensi lebih baik dari dirinya, jadi ia tidak tertipu dengan kesenangan dan kebahagiaan semu.

III. Cara Menghidupkan Dzikrul Maut

Maut adalah janji Allah yang pasti sedangkan kehadirannya dapat kapan saja. Oleh karena itu kita sebaiknya selalu mengingatkan diri pada kemungkinan bahwa setiap saat maut dapat hadir menemui kita.

Untuk menghadapi maut yang akan datang kapan saja, sebaiknya setiap kita menyiapkan diri. Sebagai contoh, perbedaan orang yang bersegera menyiapkan diri dan orang yang menunda-nunda adalah ibarat menunggu tamu yang akan berkunjung sehari lagi dengan menunggu tamu yang sepekan lagi akan berkunjung. Persiapan kita tentu akan berbeda. Bila kita mengetahui tamu yang akan datang sehari lagi, kita akan merapikan kondisi rumah dengan segera, untuk menyambut tamu tersebut, sedangkan bila tamu akan datang sepekan lagi, kita tidak terburu-buru untuk merapikan rumah tersebut karena kita berpikir masih memiliki waktu yang luang untuk menyiapkannya.

Rasulullah SAW bersabda : “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: Masa mudamu sebelum masa tuamu; Masa sehatmu sebelum masa sakitmu; Masa kayamu sebelum masa kemiskinanmu; Masa luangmu sebelum masa sibukmu; Masa hidupmu sebelum masa kematianmu.” (HR. Abu Dunya dengan sanad hasan) dan dalam riwayat yang lain : “Dua nikmat yang disia-siakan oleh banyak orang ialah kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Referensi :
1. Intisari Ihya Ulumuddin, Al Ghazali
2. Mensucikan Jiwa, Said Hawwa

 

 

     Ma’rifatul Islam

Ad-dien menurut Al-Qur’an

• Dienullah, DienuI Islam [48:28, 61:9] Dienullah dibawa oleh semua Rosul dan nabi untuk keselamatan manusia. Disebut juga dengan dienul haq (dienus samaawi).
• Dienul ghoiru dienullah, bukan dari Allah. Jumlahnya lebih dari satu (QS. 48;28) hasil rekayasa pikiran manusia, biasa disebut agama budaya (dienul ardli)

Ciri-ciri dienullah/dienus-Samaawi

• Bukan tumbuh dari masyarakat, tapi diturunkan untuk masyarakat. Disampaikan oleh manusia pilihan Allah (utusan-Nya), utusan itu hanya menyampaikan bukan menciptakan.
• Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
• Konsep tentang Tuhannya adalah Tauhid.
• Pokok-pokok ajarannya tidak pernah berubah dengan perubahan masyarakat penganutnya.
• Kebenarannya universal dan sesuai dengan fitrah manusia

Ciri-ciri dienul ardli :

• Tumbuh dalam masyarakat.
• Tidak disampaikan oleh Rosul Allah.
• Umumnya tidak memilki kitab suci, walaupun ada sudah mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarah.
• Konsep Tuhannya dinamisme, animisme, politheisme, dll.
• Ajarannya dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat penganutnya .
• Kebenaran ajarannya tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi segenap manusia, masa dan keadaan.

Pengertian Islam secara Ethimologi/ Bahasa :

• Tunduk patuh, berserah diri (al-istislaam) [3:83].
• Damai (as-silm) .
• Bersih (as-saliim)
• Aturan Illahi yang diberikan kepada manusia yang berakal sehat untuk kebahagiaan hidup mereka di dunia dan akhirat.
• Ajaran lslam :

– Sesuai fitrah manusia QS. 30;10 Kepentingan seluruh manusia QS 34;28
– Rahmat seluruh alam QS 21;107
– Untuk meningkatkan kualitas hidup manusia QS. 2;179
– Sangat sempurna QS. 5:3

Referensi
Diktat agama IPB, K.H. Didin Hafidhuddin

 

   Ma’rifatul Rasul

Makna Risalah dan Rasul

• Risalah: Sesuatu yang diwahyukan A11ah SWT berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat.
• Rasul: Seorang laki-laki (21:7) yang diberi wahyu oleh Allah SWT yang berkewajiban untuk melaksanakannya dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada manusia.

Pentingnya iman kepada Rasul
• Iman kepada para rasul adalah salah satu Rukun Iman. Seseorang tidak dianggap muslim dan mukmin kecuali ia beriman bahwa Allah mengutus para rasul yang menginterprestasikan hakekat yang sebenarnya dari agama Islam, yaitu Tauhidullah .
• Juga tidak dianggap beriman atau muslim kecuali ia beriman kepada seluruh rasul, dan tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya. (Al-Asyqor:56)

Tugas para rasul
1. Menyampaikan (tablig) [5:67, 33:39]. Yang disampaikan berupa:
• Ma’rifatullah [6:102] (Mengenal hakikat Allah) .
• Tauhidullah [21:25] [Mengesakan Allah] .
• Basyir wa nadzir [6:48] (Memberi kabar gembira dan peringatan)
2. Mendidik dan Membimbing [62:2]

Sifat-sifat para rasul
1. Mereka adalah manusia (17:93-94,8:110]
2. Ma’shum [terjaga dari kesalahan] [3:161, 53:1-4]
3. Sebagai suri teladan [33:2l, 6:89-90]

Referensi
• Kelompok Studi Al-Ummah, Aqidah Seorang Muslim, hal. 60-71
• Al-Asyqor, Dr. Limar Sulaiman, Para Rasul dan Risalahnya, Pustaka Mantiq

 

Ma’rifatullah

Makna Ma’rifatullah

• Ma’rifatullah berasal dari kala ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal Allah bukan melalui zat Allah tetapi mengenal-Nya lewat tanda-tanda kebesaranNya (ayat-ayatNya).

Pentingnya Mengenal Allah

• Seseorang yang mengenal Allah pasti akan tahu tujuan hidupnya (QS 51:56) dan tidak tertipu oleh dunia .
• Ma’rifatullah merupakan ilmu yang tertinggi yang harus difahami manusia (QS 6:122). Hakikat ilmu adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya. Ma’rifatullah adalah ilmu yang tertinggi sebab jika difahami memberikan keyakinan mendalam. Memahami Ma’rifatullah juga akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya hidayah yang terang [6:122] .
• Berilmu dengan ma’rifatullah sangat penting karena:

a) Berhubungan dengan obyeknya, yaitu Allah Sang Pencipta.
b) Berhubungan dengan manfaat yang diperoleh, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, yang dengannya akan diperoleh keberuntungan dan kemenangan.

Jalan untuk mengenal Allah

1. Lewat akal:

• Ayat Kauniyah / ayat Allah di alam ini:
– fenomena terjadinya alam (52:35)
– fenomena kehendak yang tinggi(67:3)
– fenomena kehidupan (24:45)
– fenomena petunjuk dan ilham (20:50)
– fenomena pengabulan doa (6:63)

• Ayat Qur’aniyah/ayat Allah di dalam Al-Qur’an:
– keindahan Al-Qur’ an (2:23)
– pemberitahuan tentang umat yang lampau [9:70]
– pemberitahuan tentang kejadian yang akan datang (30:1-3, 8:7, 24:55)

2. Lewat memahami Asma’ul Husna:

– Allah sebagai Al-Khaliq (40:62)
– Allah sebagai pemberi rizqi (35:3, 11:6)
– Allah sebagai pemilik (2:284)
– dll. (59:22-24)

Hal-hal yang menghalangi ma’rifatullah
• Kesombongan (QS 7:146; 25:21).
• Dzalim (QS 4:153) .
• Bersandar pada panca indera (QS 2:55) .
• Dusta (QS 7:176) .
• Membatalkan janji dengan Allah (QS 2:2&-27) .
• Berbuat kerusakan/Fasad .
• Lalai (QS 21:1-3) .
• Banyak berbuat ma’siyat .
• Ragu-ragu (QS 6:109-110)

Semua sifat diatas merupakan bibit-bibit kekafiran kepada Allah yang harus dibersihkan dari hati. Sebab kekafiranlah yang menyebabkan Allah mengunci mati, menutup mata dan telinga manusia serta menyiksa mereka di neraka. (QS 2:6-7)

Referensi
Said Hawwa, Allah Jalla Jalaluhu
Aqidah Seorang Muslim 1, Al-Ummah

 

 

 

 

 

 

Ihsan

Pengertian

• Ihsan dianalogikan sebagai atap bangunan Islam (Rukun iman adalah pondasi, Rukun Islam adalah bangunannya).
• Ihsan (perbuatan baik dan berkualitas) berfungsi sebagai pelindung bagi bangunan keislaman seseorang. Jika seseorang berbuat ihsan, maka amal-amal Islam lainnya akan terpelihara dan tahan lama (sesuai dengan fungsinya sebagai atap bangunan Islam)

Landasan ihsan

1. Landasan Qauliy 
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan untuk berbuat ihsan terhadap segala sesuatu. Maka jika kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang ihsan, dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan (menenangkan & menen-tramkan) hewan sembelihan itu” (HR Muslim). Tuntutan untuk berbuat ihsan dalam Islam yaitu secara maksimal (terhadap segala sesuatu: manusia, hewan) dan optimal (terhadap yang hidup maupun yang akan mati)

2. Landasan Kauniy
Dengan melihat fenomena dalam kehidupan ini, secara sunatullah setiap orang suka akan perbuatan yang ihsan.

Alasan Berbuat Ihsan
Ada dua alasan mengapa kita berbual ihsan:

1. Adanya Monitoring Allah (Muraqabatullah)

Dalam HR Muslim dikisahkan jawaban Rasul ketika ditanya malaikat Jibril yang menyamar sebagai manusia, tentang definisi ihsan: “Mengabdilah kamu kepada Allah seakan-akan kamu melihat Dia. Jika kamu tidak melihatNya, sesungguhnya Dia meIihatmu”.

2. Adanya Kebaikan Allah (Ihsanullah)

Allah telah memberikan nikmatnya yang besar kepada semua makhlukNya (QS. 28:77 QS. 55, QS. 108: 1-3)
Dengan mengingat Muraqabatullah dan Ihsanullah, maka sudah selayaknya kita ber-Ihsanun Niyah (berniat yang baik). Karena niat yang baik akan mengarahkan kita kepada:

1. Ikhlasun Niyat (Niat yang Ikhlas)
2. Itqonul ‘Amal (Amal yang rapi)
3. Jaudatul Adaa’ (Penyelesalan yang baik)

Jika seseorang beramal dan memenuhi kriteria di atas, maka ia telah memiliki Ihsanul ‘Amal (Amal yang ihsan).

Ada 3 keuntungan jika sesorang meramal dengan amal yang ihsan:
1) Dicintai Allah [2:195]
2) Mendapat Pahala [33: 29]
3) Mendapat Pertolongan Allah [16:128]

Kesimpulan :
Jadi untuk beramal ihsan harus memenuhi kriteria:
1) Zhohirotul Ihsan (Menampakan Ihsan).  Artinya: Lakukan yang terbaik !
2) Qiimatul Ihsan (Nilai Ihsan).  Artinya: Ikhlaslah selalu!

Referensi
• Paket BP Nurul Fikri, Ihsan

 

     Rukun Islam

Makna dan Hakikat Rukun Islam

Islam dibangun di atas lima dasar, yaitu Rukun Islam. Ibarat sebuah rumah, Rukun Islam merupakan tiang-tiang atau penyangga bangunan keislaman seseorang. Di dalamnya tercakup hukum-hukum Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. “Sesungguhnya Islam itu dibangun atas lima perkara: bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa di buIan Ramadhan” (HR. Bukhari Muslim). Bagi siapa saja yang telah mengerjakan Rukun Islam yang lima, belum berarti bahwa ia telah total masuk ke dalam Islam. Ia baru membangun landasan bagi amal-amalnya yang lain. 

Rukun Islam merupakan landasan operasional dari Rukun Iman. Belum cukup dikatakan beriman hanya dengan megerjakan Rukun Islam tanpa ada upaya untuk menegakkannya. Rukun Islam merupakan training/pelatihan bagi orang mukmin menuju mardhotillah/keridhoan Allah.

• Syahadat adalah agreement (perjanjian) antara seorang muslim dengan Allah SWT [7.172]. Seseorang yang telah menyatakan Laa ilaaha ilallaah berarti telah siap untuk fight (bertarung) melawan segala bentuk ilah di luar Allah di da1am kehidupannya [29:2].

• Shalat adalah training: sebagai latihan agar setiap muslim di dalam kehidupannya adalah dalam rangka sujud (beribadah) kepada Allah [6:162]

• Zakat adalah training, yaitu sebagai latihan agar menginfakkan hartanya, karena setiap harta seorang muslim adalah milik Allah.[57:7, 59:7]. “Engkau ambil zakat itu dari orang-orang kaya mereka dan engkau kembalikan kepada orang-orang fakir mereka” (HR Mutafaqun ‘alahi).

• Shaum adalah training, yaitu sebagai latihan pengendalian kebiasaan pada jasmani, yaitu makan dan minum dan ruhani, yaitu hawa nafsu. [2:185]

• Haji adalah training, yaitu sebagai latihan dalam pengorbanan jiwa dan harta di jalan Allah, mengamalkan persatuan dan persamaan derajat dengan sesama manusia. [22:27-28]

Referensi
• Paket BP Nurul Fikri, Al-Islam,
• Sa’id Hawwa, Al-Islam

 

             Al Iman

Pendahuluan
Konsep-konsep tentang Iman, Islam dan Ihsan mungkin sudah pernah kita pelajari. Namun ternyata gambaran yang kita miliki selama ini belum cukup valid (shohih) dan integral (syamiil), karena kita melihat Iman, Islam dan Ihsan secara sektoral dan terpisah satu sama lain.

Padahal ketiga konsep tersebut adalah merupakan satu bangunan yang dapat disebut sebagai RUMAH KITA, yang secara global terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :

1. RUKUN IMAN, yang berfungsi sebagai lapisan fondasinya.
2. RUKUN ISLAM, yang berfungsi sebagai tiang penyangganya.
3. IHSAN, yang berfungsi sebagai atapnya.

Artinya: tegaknya Islam pada diri seseorang tergantung pada kualitas pondasinya dan daya tahan Islam pada diri seseorang tergantung pada kualitas atapnya. Jadi satu sama lain saling membantu, menguatkan dan memelihara.

Hakikat Iman
Pengertian Iman menurut ahlussunah : Iman terdiri dari tiga unsur, yaitu pembenaran dengan hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota badan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Jadi, Iman adalah keyakinan dan sekaligus juga amal [49:15].

Rukun Iman
Rukun Iman merupakan basis konsepsional atau landasan idiil yang mendasari pemikiran, ucapan dan tindakan seorang muslim. Artinya: seorang muslim yang beriman maka pemikiran, ucapan dan tindakannya tidak akan bertentangan dengan keimanannya kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Taqdir dan Kiamat. Orang yang beriman haruslah beriman kepada enam Rukun iman (2:285, 4:136) dan Hadits Ketika Nabi ditanya Malaikat Jibril tentang iman, maka jawab Nabi. ”Hendaklah engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitabNya, kepada Utusan-utusanNya, kepada Hari Kiamat dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar yang baik dan yang buruk” (HR Muslim), barangsiapa yang mengingkari salah satunya maka ia telah mengingkari seluruh Rukun Iman.

1. Iman kepada Allah SWT . Konsekuensinya : mencintai Allah SWT [2:165]. Tanda-tandanya: lihat QS 8:2. Akibatnya: ikh1ash dalam menjalankan perintah-perintahNya.
2. Iman kepada Malaikat [50:16-18]. Konsekuensinya: tidak mungkin Seorang mu’min berbuat ma’siat karena selalu ditongkrongi Malaikat.
3. Iman kepada Kitab-Kitab [2:2, 20:1-3] Konsekuensinya: menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
4. Iman kepada Nabi dan Rasul [33:40]. Konsekuensinya: mencintai dan mengikutinya [3:31-32].
5. Iman kepada Hari Akhir [3:185]. Konsekuensinya: mempersiapkan diri untuk menghadapiNya.
6. Iman kepada Takdir [22:7]. Konsekuensinya: berprinsip bahwa “Janganlah kita mempersoalkan apa-apa yang Allah ingin lakukan terhadap kita, tetapi kita harus melakukan apa-apa yang Allah ingin dari kita.”

Referensi
• Paket BP Nurul Fikri, Al-Iman
• DR. Muhammad Na’im, Yang Menguatkan Yang Membatalkan Iman,
• Abdul Majid Al-Zandany ,dkk, Al-Iman.

 

 Makna Alhamdulillahirobbil ‘alamin

Makna Alhamdulillah

Alhamdu = pujian terhadap suatu kebaikan yang didasari oleh ikhtiar.

Allah memiliki prestasi yang tak mungkin disamai oleh manusia. Allah SWT dipuji atas keindahan nama-namaNya dan kebaikan perbuatanNya. Dalam Qur’an pujian terhadap Allah seperti dalam QS. 14: 39, QS. 27: 15 dan 93.

Alasan Allah dipuji:
– Allah Maha Pembuat Prestasi [40:62]
– Allah Maha Indah dalam nama-namaNya [20: 8, QS 7:180]
– Allah maha baik dalam perbuatannya [32:7)
– Allah mencipta segala sesuatu berdasarkan pengetahuan iman kehendaknya [ 20: 111]

Makna Robbul’ alamin
• Rabb = Pemilik yang mengatur urusan hambaNya .
• Al-‘Alamin= apa yang diketahui, berarti alam manusia dan jin dan kelompok-kelompok mereka 17. 80 dan 3: 42] .
• Sekurang-kurangnya harus ada 4 kata sekaligus untuk dapat menterjemahkan Rabb secara tepat dan sempurna, yaitu:

1. Allah sebagai Pencipta [2: 164]
Manusia tidak mencipta, ia hanya merekayasa, membuat dan menyusun. Manusia membuat sesuatu karena diilhami oleh fenomena ciptaan Allah, contoh helikopter yang diilhami oleh capung, sistem radar yang diilhami oleh cara kelelawar terbang di gua gelap. Sekalipun ia merekayasa atau menyusun bentuk baru pasti bahan bakunya diambil dari ciptaan Allah juga. A11ah sebagai pencipta menantang manusia untuk menciptakan lalat, dalam QS.15:73.

2. Allah sebagai Pemilik [14:2] Siapa yang mencipta pasti memiliki. Aksioma ini tidak berlaku bagi manusia, tapi berlaku mutlak bagi Allah SWT, karena Allah SWT mencipta atas iradat dan kehendakNya sendiri. Allah Pencipta dan otomatis Allah sebagai Pemiliknya.

3. Allah sebagai Pemelihara [15:9]
Allah memiliki sesuatu yang ia ciptakan sendiri, oleh karena itu Ia tidak akan lalai untuk menjaga dan memeliharanya.

4. Allah sebagai Penguasa [15:16-27]
Allah adalah sebagai Pencipta, Pemilik dan sekaligus Pemelihara atas alam semesta ini, tentu saja Dia adalah Penguasa mutlak atas semua yang ada di dalamnya. Apabila ada satu saja urusan atau aturan yang dilakukan atau diberlakukan oleh manusia secara nyata-nyata bertentangan dengan aturanNya, berarti manusia telah subversif kepadanya. Nauzu billaahi min dzalik!

Referensi
• Paket BP NurulFikri, Setetes Basmalah dan Hamdalah dalam Lautan Al-Fatihah
• Allamah, Thabathaba’i Tafsir AI- Mizan, Mengupas Surat Al-Fatihah, CV Firdaus

 

 

 

 

 

Ikhlas

I. Pendahuluan

Ikhlas berkaitan dengan niat. Ikhlas identik dengan kegiatan membersihkan dan memisahkan dari sesuatu yang kotor menjadi bersih. Seorang muslim dalam beramal dimulai dari niatnya. Niat itu pulalah yang akan menghantarkan ia pada pahala yang melimpah atau tidak sama sekali.

Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya amal itu tergantung dengan niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang itu apa yang diniatkannya. Barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa berhijrah karena harta yang ingin diraihnya atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu untuk sesuatu yang menjadi tujuan hijrahnya.” (HR. Bukhari-Muslim)

II. Hakikat Ikhlas

Ikhlas berada dalam hati demikian pula dengan lawannya yaitu syirik, keduanya senantiasa berebut tempat di hati manusia. Oleh sebab itu tempat ikhlas ada di dalam hati dan hal itu berkaitan dengan tujuan dan niat seseorang.
Disebutkan bahwa hakikat niat itu mengacu kepada respon berbagai hal yang membangkitkannya. Bila faktor pembangkitnya hanya satu maka perbuatan itu disebut ikhlas dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan. Istilah ikhlas itu khusus berkenaan dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub kepada Allah dan pelakunya disebut mukhlis.

III. Cara Untuk Mengenali Ikhlas

Motivasi seseorang untuk beramal banyak sekali. Oleh karena itu kita perlu mengenali tujuan dari amal kita agar motivasinya tidak tercampur dengan yang lain, seperti riya’ atau kepentingan-kepentingan nafsu lainnya.

Salah satu contoh motivasi yang telah tercampur dengan motivasi yang lain misalnya orang yang berpuasa untuk memanfaatkan perlindungan yang dapat dicapai melalui puasa tersebut disamping niat taqarrub. Contohnya antara lain: orang yang pergi haji untuk memperoleh kesegaran suasana untuk bepergian.

Oleh karena itu, para penempuh jalan akhirat harus mencermati amal perbuatan mereka dan memperbaharui niat mereka. Tidak setiap tujuan dalam suatu amal dapat membatalkan amal. Karena itu, siapa yang berpuasa dengan tujuan bertaqarrub kepada Allah dan mencapai kesehatan maka tidak merusak keikhlasannya. Bahkan jika kesehatannya itu diniatkan untuk memperkuat diri dalam mengamalkan kebaikan maka pahalanya semakin bertambah. Jika ia memaksudkan untuk hak dirinya maka pahala keikhlasan kepada Allah lebih banyak.

Singkatnya, setiap kepentingan duniawi yang disenangi nafsu dan dicenderungi hati sedikit ataupun banyak, apabila merambah ke dalam amal maka dapat mengeruhkan kejernihannya. Manusia senantiasa terikat dalam kepentingan-kepentingan dirinya dan tenggelam dalam berbagai syahwatnya sehingga jarang sekali amal perbuatan atau ibadahnya dapat terlepas dari kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sejenis itu.

Akan tetapi hal yang menjadi perhatian adalah apabila tujuan asalnya berupa taqarrub lalu terkontaminasi oleh hal-hal di atas, kemudian kotoran-kotoran ini berada pada tingkat mu’awanah (mendukung).

Jadi, pengetahuan tentang hakikat ikhlas dan pengamalannya merupakan lautan yang dalam, semua orang tenggelam di dalamnya kecuali sedikit, yaitu orang-orang yang dikecualikan dalam firman-Nya: “Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka” (QS. Al Hijr : 40). Maka hendaklah seorang hamba sangat memperhatikan dan mengawasi hal-hal yang sangat mendetil ini. Jika tidak, maka akan tergolong kepada pengikut syaithan tanpa menyadarinya.

IV. Manfaat Ikhlas

1. Hidup akan tenang karena hati selalu berjaga-jaga untuk mengevaluasi dan meluruskan niat dalam beramal
2. Selalu dimudahkan dalam segala urusannya
3. Memiliki orientasi hidup yang mampu menjangkau jangka panjang yaitu akhirat
4. Pemberat/penambah pahala dalam beramal
5. Mendapat posisi sebaik-baiknya Hamba di sisi Allah dan juga manusia.

V. Penutup

Apabila keikhlasan telah bersemayam di dalam diri, maka setiap amal akan diberkahi oleh Allah SWT. Setiap orang akan berlomba-lomba untuk memberikan amalan terbaiknya karena ia menyadari buah dari ilmu dan keikhlasan adalah amal shaleh.

Referensi :

1. Tadzkiyatun Nafs, Said Hawwa
2. Membina Angkatan Mujahid, Said Hawwa

 

 

 

 

Mengembangkan Potensi Diri

 

Salah satu anugerah terbesar yang Allah SWT berikan kepada kita adalah diciptakan-Nya kita menjadi manusia (QS. At Tiin (95) : 4). Sebagai makhluk yang dimuliakan Allah, manusia diciptakan secara sempurna. Potensi-potensi yang dimilkikinya dapat membawa kemuliaan dan keutamaan serta dapat menjalankan amanah. Berbagai macam kelebihan ini menyebabkan manusia memperoleh satu kehormatan sebagai manusia.

Terkadang anugerah sebagai manusia inilah yang sering kali dilupakan. Kita sibuk memikirkan dan menghitung kelebihan orang lain. Kita merasa menjadi orang yang tidak beruntung. Sering kali kita menghitung kekurangan dan ketidakberuntungan kita dibandingkan dengan orang lain. Padahal setiap insan memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak ada satu manusia pun yang sama karakternya, walau pun mereka kembar identik. Oleh karena itu, masing-masing kita pada dasarnya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, tinggal bagaimana kita menggalinya dan mengasahnya.

Sebagai makhluk ciptaan yang mendapat posisi mulia, kita wajib mensyukuri nikmat itu dengan cara mengenali dan mengembangkan potensi diri untuk kemaslahatan dan kebaikan. Oleh karena Allah yang telah menciptakan kita berarti syukur manusia dilakukan dengan cara beribadah dan beramal sholeh.

I. Mengenal Potensi Diri

Pernahkah terlintas dalam benak kita untuk apa Allah SWT menciptakan kita dalam bentuk tubuh yang sebaik-baiknya? Apa maksud dan tujuannya? Bilakah kita perhatikan sekeliling kita dan diri kita. Bersyukurlah bila keadaan fisik kita terlahir secara lengkap dan berfungsi dengan baik. Fisik manusia yang telah Allah ciptakan ini bertujuan untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugas kekhalifahan yang telah diamanahkan oleh Allah SWT kepada manusia sejak awal penciptaannya (QS Al Baqarah (2) : 30)

Fisik kita adalah sarana penunjang utama dalam beraktivitas. Sebagai makhluk Allah, kita diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya. Pelaksanaan itu membutuhkan fisik yang kuat dan sehat. Salah satu cara untuk mensyukurinya adalah dengan merawat fisik kita agar tetap sehat dan prima. Upaya dari hal-hal yang dapat membuat fisik kita rusak fungsinya harus kita hindari.

Kita perlu sadari bahwa sukses atau gagalnya seseorang, beruntung atau meruginya seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh keterampilan atau keahlian fisiknya. Akan tetapi tingkah laku sehari-hari turut menentukan berhasil tidaknya seseorang.

Setiap individu memiliki kelebihan sendiri seperti bakat, keterampilan, kecenderungan sehingga dengan semua itu, ia menjadi manusia yang syukur nikmat dan berdaya guna. Penggalian minat, bakat, keterampilan dan kecenderungan perlu diasah sedini mungkin, yakinlah bahwa Allah telah menciptakan kita di dunia dengan spesialis dan bawaan yang hanya dimiliki oleh kita saja. Allah tidak membuat kopiannya lagi. Masing-masing kita adalah ciptaan yang berkategori “Master Piece”, tidak ada yang sama, jika kita tidak mengenali dan mengasah potensi diri kita, sama saja kita tidak bersyukur atas karunia-Nya.

Allah berfirman: “Katakanlah : tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (QS. Al Israa’ (17) : 84). Hamka menjelaskan, bahwa kata syaakilah yang terdapat pada ayat di atas diartikan ‘bawaan’ atau ‘bakat’. Beliau menjelaskan lebih lanjut, bahwa tiap-tiap manusia itu ada pembawaannya masing-masing yang telah ditentukan oleh Allah SWT sejak masih dalam rahim ibu. Pembawaan/bakat, Allah ciptakan bermacam-macam, sehingga yang satu tidak serupa dengan yang lain. Maka menurut ayat tersebut, manusia diperintahkan bekerja selama hidup di dunia ini, menurut bawaannya masing-masing.
Fenomena yang sekarang ini terjadi tidak setiap orang dapat melakukan sesuatu yang sangat baik, atau menjadi seseorang yang menjadi sangat mampu pada bidang tertentu. Sebab pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan yang istimewa pada diri sendiri untuk bisa mengasah dan mengembangkannya. Selain itu juga, tidak setiap orang bisa melakukan segalanya, karena masing-masing orang memiliki kemampuan khusus pada bidang tertentu, tetapi lemah pada bidang lain. Disinilah letak manusia untuk saling mengisi satu dengan yang lain. Oleh karena itulah jangan menyia-nyiakan setiap pemberian Allah berupa fisik dan kemampuan lainnya sekecil apapun. Mungkin saja dari sekian kemampuan kita, salah satunya menghantarkan kita pada kesuksesan dalam hidup ini.

II. Membangun Harga Diri dan Mengembangkan Potensi

Seorang muslim harus menyadari posisinya di sisi Allah dan bagaimana kita memaksimalkan apa yang Allah berikan pada diri kita dalam rangka memaksimalkan ibadah kita kepada-Nya sebagai tanda syukur.

Ketahuilah, Allah SWT telah menciptakan manusia mempunyai kelebihan dan keutamaan dibandingkan makhluk lainnya. Oleh karena itu manusia mendapatkan posisi yang mulia dan mendapat keutamaan sehingga diperuntukan seluruh alam beserta isinya untuk dikelola, dengan demikian manusia memiliki amanah untuk menjaga itu semua. (QS. Al Israa’ (17) : 70, Luqman (31) : 20, Al Ahzab (33) : 72)

Seorang muslim harus bangga pada aqidah yang dimilikinya serta bersedia menjalankan ibadah dengan penampilannya, karena hal tersebut maka akan menghasilkan ketaqwaan. Umat Islam akan mendaptkan izzah apabila mempunyai iman, kejujuran, kepercayaan, keloyalan, ketaatan, komitmen, pergerakan.

Membangun harga diri perlu dijelaskan melalui pendekatan bahwa manusia secara kemanusiaannya memiliki beberapa kelebihan, kemudian kewajiban untuk beribadah dan beberapa karakter umat Islam seperti yang telah disebutkan di atas akan menghantarkan kepada kebanggaan Islam.

Kunci usaha membangun harga diri adalah melalui da’wah Islam. Da’wah Islam menyeru manusia untuk menjalankan kewajibannya sebagai muslim dan mengajak umat Islam untuk memiliki karakter yang mulia. Jadi harga diri yang dimaksudkan adalah citra dan izzah sebagai seorang muslim yang memiliki tugas Rahmatan lil’alamin dan sebagai hamba Allah SWT. Ia tidak akan pernah merasa besar karena bagaimanapun ia mengakui dan menyadari bahwa Allah-lah pemilik segala sesuatu termasuk dirinya.

Izzah yang dihasilkan dari membangun harga diri seorang muslim akan melahirkan sikap dan tingkah laku yang mandiri, tidak tergantung, tidak mau diperintah untuk berbuat kerusakan, serta mempunyai kreativitas, keyakinan diri dan agresif dalam mengembangkan diri.

Membangun harga diri dan mengembangkan potensi bagi seorang muslim harus diarahkan kepada peningkatan keimanan dan ketaqwaan. (QS. Ali Imran (3) : 139)

Selain itu harga diri dan mengembangkan potensi akan melahirkan kebersamaan dan persatuan karena adanya penyadaran bahwa setiap kita saling mengisi. Janganlah kita menjadi orang yang paling baik dan paling benar, bukankah setiap kita saling membutuhkan (QS. Ash Shaff (61) : 4)

Referensi :

1. Ma’rifatul Insan, DR. Irwan Prayitno
2. Menjadi Remaja Sukses, KH. M. Rusli Amin, MA
3. Takwinul Ummah, DR. Irwan Prayitno

 

 

 

 

 

 

Simbol Sukses

I. Pengertian Simbol Sukses

Simbol berarti abstraksi atau representasi dari suatu hal yang konkrit. Sukses dapat berarti berhasil mencapai sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan. Sukses bersifat relatif bergantung dari pengetahuan tentang hakikat sukses yang sebenarnya.

Oleh karena itu yang dimaksud dengan simbol sukses adalah representasi untuk mencapai sesuatu yang dikehendaki dan diinginkan.

II. Langkah Hidup

Langkah-langkah untuk mencapai sukses dalam kehidupan disebut langkah hidup.

1. Pikiran adalah langkah hidup

Pikiran manusia bukan saja sebagai alat, tetapi juga merupakan suatu kontrol/kendali. Karena pikiran juga merupakan suatu kendali berarti ikut menentukan apa-apa yang kita lakukan. Itulah sebabnya kita harus hati-hati dalam memberi masukan ke dalam otak kita. Kita harus selalu memeriksa isi pikiran kita dan mengisinya dengan pikiran kita.

2. Ucapan adalah langkah hidup

Ucapan adalah nilai dan isi yang terkandung di dalamnya. Ucapan yang memiliki nilai dan isi yang baik akan menyelamatkan kita, sebaliknya ucapan yang buruk akan membinasakan kita. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaklah berkata yang benar atau diam.” (HR. Bukhari Muslim)

3. Tindakan adalah langkah hidup

Seseorang membutuhkan tindakan untuk mencapai sukses. Jika tindakan (amal) yang dilakukan itu kebajikan, maka berlakulah barang siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya. Sebaliknya tindakannya berupa kemaksiatan, maka berlakulah barang siapa menggali lubang maka ia akan terperosok ke dalamnya. Kedua prinsip tersebut berlaku di dunia dan di akhirat, atau kedua-duanya. Bukankah manusia hanya berusaha sedangkan Allah yang menentukan? (QS. Ar Rad (13) : 11)

III. Simbol Sukses dan Simbol Gagal

Pikiran, ucapan dan tindakan adalah faktor internal manusia. Ketiganya merupakan langkah hidup. Setiap langkah hidup yang makin mendekatkan seseorang ke tujuan yang dikehendaki disebut sebagai simbol sukses. Sedangkan sebaliknya adalah simbol gagal.

Faktor eksternal yang juga menentukan langkah hidup diantaranya adalah lingkungan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya bergaul dengan teman yang baik dan orang yang jahat adalah seperti bergaul dengan minyak wangi dan pandai besi. Teman penjual minyak ewangi itu boleh jadi akan memberi minyak wangi kepadamu atau kamu dapat membelinya atau paling tidak kamu akan mendapat bau harum darinya. Sedangkan teman pandai besi boleh jadi akan membuat pakaianmu berlubang (terbakar) atau paling tidak kamu ikut hangus dengannya.” (HR. Bukhari-Muslim)

IV. Peranan Niat dalam Mencapai Sukses

Kita harus yakin bahwa sukses yang kita kejar di dunia ini semata-mata karena mengharap ridha-Nya. Bukan karena mengharapkan ridha manusia.

V. Sukses di atas Sukses

Menurut Al Qur’an yang dimaksud orang yang sukses adalah orang yang masuk ke dalam surga dimana Allah ridha kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. Dengan demikian tujuan hidupnya adalah mencapai ridha Allah. (QS. Ali Imran (3) : 185, Al Bayyinah (98) : 8)

VI. Tiga Tipe Manusia

1. Tipe manusia yang memiliki simbol gagal. Gagal di dunia dan di akhirat.
2. Tipe manusia yang memiliki simbol sukses, tapi tidak memiliki niat ikhlas. Sukses di dunia, gagal di akhirat.
3. Tipe manusia yang memiliki simbol sukses dan didasari oleh niat yang ikhlas. Sukses di dunia dan di akhirat.
Referensi : 

1. Simbol Sukses, Paket BP NF
2. Materi Tutoring Agama Islam, SMUN 1 Bogor

 

Belajar dan Etikanya

I. Pendahuluan

Manusia dilahirkan dalam keadaan tak berilmu, lemah dan tidak memiliki apa-apa. Allah kemudian menganugerahi akal sehingga manusia memiliki fitrah untuk mencintai pengetahuan. Pengetahuan inilah yang akan mengajarkan manusia untuk menyingkap apa-apa yang tidak diketahuinya dan menjadikan dirinya mampu mengenal diri dan segala sesuatu di sekelilingnya. (QS. An Nahl (16) : 78 – 81)

Melalui pendengaran, penglihatan, pengamatan hati dan pemikiran, manusia mampu mempelajari dan menyingkap kode etik dan hakikat semua ciptaan Allah SWT. Dengan kemampuannya, manusia menggali ilmu dunia dan menggapai ilmu diniyah, dengan satu catatan manusia tersebut mempunyai keinginan yang kuat dan tekad yang bulat untuk menuntut ilmu serta mampu menyingkap gemerlapnya dunia. Tujuan penyingkapan tersebut adalah tidak lain dan tidak bukan demi mengutamakan keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Bagi seorang muslim, tidak dibenarkan hidup dalam keadaan terlepas dari ilmu. Ilmu akan mengajak orang yang beriman memiliki kualitas dalam ibadah dan prioritas amal yang terarah. Seorang ulama pernah berkata, “Hendaklah bagi yang belum mampu menjadi seorang alim (pakar) agar selalu belajar. Bagi yang belum sempat belajar, hendaklah menjadi pendengar yang baik. Jika tidak sempat juga, maka jadilah orang yang mempunyai ilmu dan orang-orang yang berilmu.

II. Pentingnya Ilmu

Ilmu begitu penting bagi kehidupan manusia. Ilmu merupakan sarana untuk menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa menghendaki (kebahagiaan) dunia, maka hendaklah dengan ilmu, barang siapa menghendaki (kebahagiaan dunia dan akhirat) maka hendaklah dengan ilmu.” (HR. Muslim)

Allah SWT menegaskan bahwa dengan berilmu manusia akan mendapat karunia yang banyak. Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) : 269, “Allah memberi hikmah (ilmu) kepada siapa yang Dia kehendaki dan barang siapa yang dianugerahi hikmah (ilmu) tersebut maka ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.”

Majelis untuk menuntut ilmu pun diibaratkan sebagai taman surga di dunia. Ibnu Umar ra. berkata, Nabi SAW bersabda: “Jika kalian melewati taman surga maka perbanyaklah berdzikir .”Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa yang dimaksud dengan taman surga?” Rasulullah SAW menjawab, “Yaitu kelompok-kelompok dzikir, sesungguhnya Allah mempunyai utusan dari malaikat yang mencari kelompok-kelompok dzikir. Jika mereka datang ke kelompok-kelompok dzikir tersebut maka mereka mengelilinginya sambil mendo’akan anggota kelompok tersebut hingga berakhir majelis dzikir.” (HR. Bukhari)

III. Membetulkan Niat

Hal yang dibutuhkan dari seorang penuntut ilmu adalah membetulkan niat, berusaha untuk ikhlas dan membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan lain. Ia bertekad untuk mengamalkan ilmunya demi mencari keridhoan Allah SWT dan kebaikan akhirat kelak. Ia tidak menjadikan tujuan dan niatnya untuk membodohi orang-orang awam, memeras orang kaya, menjilat penguasa, mengejar kekayaan, mengharapkan pangkat dan tujuan-tujuan sebatas itu.

IV. Kesinambungan Belajar

Ilmu pengetahuan laksana hamparan laut yang tak bertepi. Laut yang sangat luas dan dalam. Setiap kali orang mendalaminya setiap kali itu pula terbuka pintu-pintu baru. Dalam suatu kisah diceritakan bagaimana orang-orang terdahulu haus akan ilmu dan berusaha mencarinya. Suatu hari Hasan pernah ditanya oleh seorang laki-laki yang telah berusia 80 tahunan, “Apakah ia masih baik untuk mencari ilmu?”, Hasan lalu menjawab, “jika ia masih baik untuk hidup, mengapa tidak?”

Istilah belajar tidak mengenal kata berhenti. Ketika kita berhenti maka kita telah membatasi diri kita untuk memperoleh karunia yang banyak dari Allah SWT. Ilmu tidak hanya didapat dari bangku sekolah saja. Akan tetapi dimanapun kita berada kita dapat mengambil pelajaran dari setiap kejadian dan peristiwa yang ada baik dari diri kita maupun sekitar kita. Dengan demikian kita akan menjadi orang yang mensyukuri nikmat Allah SWT.

V. Memahami Gaya Belajar

Sebagaimana penciptaan manusia yang memiliki perbedaan ciri antara satu dengan yang lainnya, belajar juga memiliki gaya yang berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini seringkali salah dipahami oleh kita atau orang lain. Ketika ada seseorang yang tidak mampu menghapal dengan cepat ketika ia harus duduk dengan manis disuasana yang hening, kadang dianggap memiliki tingkat daya tangkap yang rendah.

Di sisi lain kata belajar mengandung makna keterpaksaan, kegiatan yang melelahkan dan menjemukan. Kita harus berhadapan dengan buku selama beberapa jam. Namun ketika kita sedang melakukan aktivitas membaca yang lain seperti komik misalnya, perasaan dan sikap kita langsung berbeda. Kita akan menikmatinya bahkan ikut hanyut bersama alur cerita. Tanpa terasa kita tak akan berhenti sebelum selesai membacanya. Seringkali komik/majalah yang kita baca kita ceritakan pada orang lain, karena kita menganggap isi ceritanya menarik. Kita menceritakan isi cerita tersebut dengan mudahnya tanpa harus bersusah payah menghapalnya.

Itulah belajar, seringkali kita menganggapnya beban sehingga kita menjadi sulit mencerna isinya. Selain itu sering kali kita merasa terganggu oleh gaya belajar teman/adik kita. Seluruh isi rumah mendengar suaranya. Ia berjalan hilir mudik tak tentu arah. Kita terganggu olehnya.

Setiap kita perlu memperhatikan kebiasaan dan kecenderungan dalam belajar. Kita harus mampu mengubah suasana belajar yang menjemukan menjadi kegiatan yang menyenangkan sama ketika kita membaca komik dan sejenisnya. Oleh karena itu yang terpenting yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana menyadari bahwa belajar itu sama mengasyikannya dengan membaca komik. Kita perlu memahami bahwa setiap individu mempunyai gaya yang berbeda dalam belajar. Kita harus mengenalinya dan membuat suasana yang nyaman untuk kita belajar sambil beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Ada pepatah yang mengatakan “Banyak jalan menuju Roma”, seperti itulah gaya belajar, banyak cara untuk belajar. Hal terpenting yang perlu kita ketahui adalah memahami tercapainya tujuan belajar yaitu cepat menyerap, mengatur dan mengolah informasi yang kita peroleh. Menurut Porter secara umum gaya belajar ada tiga macam, yaitu:

1. Visual

Sesuai dengan namanya visual berarti kita memiliki kecenderungan belajar ala sekolahan, duduk dengan tenang, memperhatikan apabila guru menerangkan dan memnghapal di tempat yang hening, selain itu point di bawah ini akan menggambarkan gaya belajar visual:

a. Berbicara dengan cepat
b. Mengingat apa yang dilihatnya daripada apa yang didengarnya
c. Lebih suka mencoret-coret ketika berbicara di telepon
d. Sering menjawab dengan jawaban singkat
e. Sering lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
f. Pembaca cepat dan tekun
g. Seringkali bingung memilih kata untuk diucapkan padahal tahu apa yang harus diungkapkan

2. Auditorial

Biasanya orang yang memiliki gaya auditorial adalah orang yang lebih menggunakan alat pendengarannya. Ia pendengar dan pembicara yang baik. Hal di bawah ini akan menggambarkannya:

a. Biasanya suka berbicara sendiri
b. Lebih suka mengikuti seminar daripada membaca buku lebih suka mengobrol dibandingkan dengan membaca
c. Lebih suka mengobrol dibandingkan dengan membaca
d. Lebih suka bercerita daripada menulis
e. Mudah terganggu oleh keributan
f. Berbicara dengan irama yang berpola
g. Biasanya pembicara fasih
h. Lebih suka berdiskusi dan menjelaskan panjang lebar
i. Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama dan warna suara
j. Senang membaca dengan keras dan mendengarkannya

3. Kinestetik

Orang yang memiliki gaya kinestetik biasanya adalah tipe yang tidak bisa diam, agak lambat dalam berbicara bila dibandingkan dengan kedua gaya di atas. Hal di bawah ini akan melengkapi gambarannya:

a. Merasa dapat berpikir lebih baik ketika bergerak atau berjalan
b. Ketika berbicara banyak menggerakkan anggota tubuh
c. Sulit untuk duduk diam
d. Menanggapi perhatian fisik
e. Lebih suka mempraktekkan daripada membaca instruksi
f. Menghapal dengan berjalan dan melihat (Lebih lanjut baca Quantum Learning, Bobby de Porter)

Setelah mengetahui gaya belajar ini kita dapat menyesuaikan metode pengajaran apa yang telah diadakan, di sekolah sehingga kita dapat beradaptasi dan tidak akan tertinggal dalam pelajaran. Pada bangku sekolah dari SD-SLTA, kegiatan belajar dan mengajar lebih sering menggunakan gaya visual sehingga bagi siswa yang bergaya belajar visual mudah untuk belajar, sedangkan bagi siswa auditorial apalagi kinestetik, seringkali dianggap guru sebagai siswa yang lambat dalam menangkap pelajaran. Di luar sekolah bagi siswa yang memiliki gaya belajar selain visual harus mengejar ketertinggalan dengan memaksimalkan gayanya sehingga ia dapat mengikuti pelajaran dengan baik.

Begitu pula ketika ia telah lulus dari SLTA, kondisi belajar di kampus tentu berbeda dari sekolah. Oleh karena itu setiap siswa harus segera beradaptasi dalam menyesuaikan gaya belajar di kampus. Bagi siswa visual yang biasanya mendapat nilai baik di SLTA nya belum tentu dapat memiliki nilai sama baiknya ketika ia melanjutkan ke perguruan tinggi.
 Di kampus mereka mulai merasakan bahwa kemampuan menyerap pelajaran di kampus mulai berkurang. Mereka mulai tertatih-tatih dalam menyesuaikan belajar di kampus. Terkadang bagi teman-teman visual merasa daya ingat dan kemampuan belajarnya sudah menurun, padahal kondisi belajar di kampus mengharuskan para siswa mendengarkan dosennya menerangkan selama berjam-jam.

Bagi siswa visual yang lebih senang menulis tentu bila harus mendengrkan pelajaran akan kesulitan dalam belajar karena ada perbedaan dari gaya belajar di kampus dengan gaya belajar dirinya.

Oleh karena itu kegagalan seseorang dalam belajar belum tentu karena ia tidak mampu, namun mungkin saja karena ia tidak menyadari ada perbedaan dalam belajar sehingga dirinya tidak beradaptasi melainkan menyalahkan dirinya yang merasa sudah berkurang daya ingatnya. Ketidakmengertian penyebab dari kelambatan daya tangkap inilah yang sebenarnya harus disadari. Ketidaksesuaian antara gaya pribadi dengan gaya di tempat belajar inilah yang harus dipahami yang kemudian dicari solusinya, sehingga ia akan mengetahui bahwa sesungguhnya ia tidak berkurang daya ingatnya tetapi hanya perlu beradaptasi dalam belajar di tempat yang baru.

Bagi pelajar visual ketika mereka memasuki dunia kampus maka mereka harus membawa catatan dan menulis hal-hal yang penting untuk membantu mereka mengurangi sifat lupanya bila mendapat penjelasan secara verbak dari dosen.
Bagi pelajar auditorial biasanya mereka merasa lebih mudah mengakap pelajaran karena sesuai dengan gaya dan kebiasaan mereka yang malas menulis, oleh karena itu sebaiknya mereka membawa alat rekam untuk merekam suara dosennya ketika menerangkan agar lebih mudah dalam belajar. Bagi pelajar kinestetik, sebaiknya ia membawa alat tulis untuk menggambar sesuatu kala ia jenuh dan duduk di barisan depan agar ia dapat melihat sentuhan fisik berupa gerakan dosen ketika ia memperhatikan pelajaran.

Dengan memahami gaya belajar kita masing-masing yang ternyata berbeda-beda, akan membantu kita menyadari bahwa ketika kita tidak dapat memahami kondisi belajar di suatu tempat, bukan berati kita tidak mampu namun mungkin ada ketidakcocokan antara gaya belajar kita dengan tempat tersebut. selain itu juga akan membantu kita untuk percaya pada kemampuan diri bahwa kita mampu menyerap pelajaran sehingga kegiatan belajar menjadi suatu yang menyenangkan dan kita tidak perlu lagi menyontek karena hanya akan menipu diri sendiri dan merugikan kita sendiri.
Referensi : 

1. Buah Ilmu, Ibnu Qoyyim al Jauziyah
2. Belajar dan Etikanya, DR. Yusuf Qordhowi
3. Quantum Learning, Bobby de Porter dan Mike Hemacki

 

 

 

 

 

 

 

 

 

HAK DAN KEWAJIBAN DALAM KELUARGA

I. Pendahuluan
Keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat. Potret kondisi masyarakat tercermin dari keadaan yang muncul dari keluarga. Semakin baik kondisi keluarga semakin baik juga masyarakatnya.

Awal mula manusia berinteraksi dan bersosialisasi adalah dari rumah. Dari rumahlah diajarkan segala aturan, hak dan juga kewajiban setiap individu. Segala proses pendidikan juga berawal dari sini. Tidaklah mengherankan bila keluarga memegang peranan penting dalam pondasi masyarakat.

Permasalahan sosial yang terjadi pada saat ini salah satu penyebabnya adalah akibat merenggang dan hancurnya sistem dalam keluarga baik sistem nilai maupun sistem aturan hak dan kewajiban.

Mengetahui hak dan kewajiban di dalam keluarga merupakan bagian dari realisasi keimanan dan adab kita sebagai seorang muslim. Perhatian yang besar ini merupakan aplikasi dari nilai-nilai Islam yang telah kita serap dan kita pahami bersama. Dengan mengetahui tugas dan tanggung jawab masing-masing di dalam rumah, pertikaian dan ketidakharmonisan akan hilang dengan sendirinya.

Hak kerabat dan sanak saudara merupakan hal yang ditegaskan secara tegas oleh Rasulullah SAW. Sabdanya: “Berbuat baiklah kepada ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu dan saudara laki-lakimu, kemudian orang yang paling dekat denganmu kemudian seterusnya.” (HR. Nasa’i, Ahmad dan Al Hakim)

Rasulullah SAW bersabda: “Allah berfirman Aku adalah Tuhan Yang maha Rahman dan ini adalah rahim (sanak keluarga), Aku ambilkan namanya dari nama-Ku; Barang siapa yang menyambungnya maka Aku pasti menyambungnya dan barang siapa memutuskannya maka Aku akan menghancurkannya”. (Hadits qudsi, HR. Bukhari Muslim)

Ditanyakan kepada Rasulullah SAW: “Siapakah orang yang paling utama?” Nabi SAW bersabda, “Orang yang paling bertaqwa kepada Allah, paling banyak menyambung kerabatnya, paling banyak memerintahkan yang ma’ruf dan paling banyak mencegah yang munkar” (HR. Ahmad dan Thabrani).

II. Hak Orang Tua (Kewajiban Anak terhadap Orang Tua)

1. Hak Orang Tua yang Masih Hidup

a. Mendapat perlakuan yang baik
Dalil hadits: “Berbuat baiklah kepada kedua orang tua lebih utama ketimbang shalat, shadaqah, puasa, haji, umrah dan jihad di jalan Allah.” (HR. Abu Ya’la dan Thabrani)
b. Mendapat perawatan yang baik dari anak-anaknya hingga maut menjemputnya, terlebih lagi bila ia telah lanjut usia. “Anak tidak dapat membalas kedua orang tuanya hingga ia mendapati sebagai budak lalu membelinya dan memerdekakannya.” (HR. Muslim)

2. Hak Orang Tua yang telah wafat
Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah masih adakah kewajiban untuk berbuat baik kepada orang tuanya yang telah wafat?” Rasulullah SAW bersabda: “Ya, mendo’akannya, memintakan ampun untuknya, menunaikan janjinya, menghormati temannya, menyambungkan kerabat yang tidak dapat disambung oleh orang tua.” (HR. Abu Daud, Ibnu Hibban dan Al Hakim)

III. Hak Anak (Kewajiban Orang Tua terhadap Anak)

1. Mendapat nama yang baik dan mengaqiqahkannya. Untuk perempuan satu ekor kambing dan untuk laki-laki dua ekor kambing.
Dalil hadits: “Setiap bayi tergadaikan oleh aqiqahnya, disembelihkan kambing untuknya pada hari ke tujuh dan dicukur rambutnya.” (HR. Muslim)

2. Bersikap lemah lembut dan sayang pada anak, tidak berbeda apakah itu anak perempuan ataupun anak laki-laki.
Dalil hadits: Aqra bin Habis melihat melihat Rasulullah SAW mencium cucunya Hasan, lalu Aqra berkata: “Sesungguhnya aku punya sepuluh anak, tetapi aku belum pernah mencium seorang pun diantara mereka” Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang tidak menyayangi tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari)

3. Mendapat pendidikan dan pengajaran yang baik.

4. Mendapat makanan dan pakaian yang layak.

5. Dipisahkan ruang tidur anak laki-laki dengan anak perempuan bila sudah beranjak besar (Aqil Baligh).
Bagi sesama anak yang lebih tua menyayangi yang lebih muda dan yang lebih muda menghormati yang lebih tua. Saling menolong diantara mereka. Menjaga aib saudaranya dan juga menasihatinya bila melakukan kekhilafan.

IV. Hak Kerabat dan Sanak Keluarga

1. Dikunjungi/silaturahim
Dalil hadits: “Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya maka hendaklah dia takut kepada Allah dan bersilaturahim kepada kerabat.”  (HR. Ahmad dan Al Hakim)
2. Selamat dari tangan dan lisannya. Maksudnya adalah tidak digunjingkan dan dianiaya.
3. Bersedekah/memberi hadiah
“Shadaqah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memutuskan kekerabatan.” (HR. Ahmad, Thabrani dan Baihaqi)

V. Penutup

Demikianlah, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling memperhatikan dan menjaga hubungan sosial, khususnya dalam keluarga. Setiap anak akan menghornati dan menyayangi orang tua yang telah mendidik dan merawatnya, demikian pula sebaliknya.

Masing-masing individu akan menghargai satu dengan yang lainnya sebagai wujud syukur kepada Allah SWT.
Referensi : 
1. Tazkiyatun Nafs, Said Hawwa
2. Pribadi Muslim Tangguh, Musthafa Muhammad Thahan

 

 

Hukum Dalam Islam

 

I. Memahami Hukum Syariah

Memahami Islam tidak akan lengkap bila kita tidak mengetahui hukum-hukumnya. Melalui hukumlah aturan yang berasal dari nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan. Dalam Islam ada dua macam: hukum taklifi dan hukum wadh’I.

Hukum taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan. Sebagai contoh: hukum yang menyangkut perintah seperti shalat, membayar zakat dll. Hukum wadh’I adalah hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang. Sebagai contoh: hukum waris.

II. Tujuan Hukum Syariah

Tujuan hukum syariah ada tiga macam, yaitu:
1. Pensucian jiwa, menjadikan muslim penyebar kebaikan bukan penyebab keburukan.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat baik dengan sesama muslim maupun non muslim.
3. Bermanfaat bagi seluruh alam semesta tidak hanya manusia.

 

 

III. Sumber Hukum

Sumber hukum dalam Islam ada lima, yaitu:

1. Al Qur’an
2. As Sunnah
3. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW.
4. Fatwa sahabat
5. Qiyas

IV. Pembagian Hukum Taklifi

Berdasarkan jumhur ulama (pendapat mayoritas ulama), hukum terbagi menjadi lima macam, yaitu:

1. Wajib yaitu suatu perintah yang apabila tidak dilaksanakan berdosa. Wajib terbagi menjadi dua macam:

a. Wajib yang memiliki waktu yang luas disebut wajib muwassa. Keluasaan waktu itu memungkinkan kita untuk melaksanakan ibadah yang lain.
b. Wajib memiliki waktu yang terbatas disebut wajib mudhayyaq. Ibadah itu hanya dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan dan tak dapat dilakukan diluar waktu tersebut. sebagai contoh puasa di bulan Ramadhan, ibadah haji di bulan Dzulhijah.

2. Sunnah yaitu perbuatan yang apabila dilaksanakan berpahala dan bila tidak dilaksanakan ia akan merugi walaupun tidak berdosa. Sunnah terbagi menjadi tiga macam:

a. Sunnah Muakkad, yaitu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu, contoh shalat dua rakaat setelah shubuh.
b. Sunnah Ghairu Muakkad, yaitu sunnah yang dilakukan tidak secara kontinyu, contoh: shalat empat rakaat sebelum zhuhur.
c. Sunnah di bawah keduanya, yaitu kebiasaan yang dilakukan Rasulullah SAW seperti bersiwak (sikat gigi).

3. Mubah yaitu kebebasan bagi muslim untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau meninggalkannya. Contoh makan, minum, dsb.

4. Makruh yaitu suatu larangan secara syara terhadap suatu perbuatan namun tidak bersifat pasti karena tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut, meninggalkan perbuatan tersebut terpuji dan mengerjakannya tercela.

5. Haram yaitu larangan untuk melakukan suatu pekerjaan baik yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i dan zhonni.

Dengan demikian secara sederhana dapat dikatakan bila ditinggalkan perbuatan itu pelakunya akan mendapat pahala dan bila dilaksanakan berdosa. Haram ada dua macam, yaitu:

a. Haram li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh makan bangkai, minum khamr, berzina, dll.
b. Haram li-ghairi/aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syariat dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri, tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzatihi. Sebagai contoh jual beli memakai riba, melihat aurat wanita, dll.
Referensi : 
1. Ushul Fiqih, Prof. Muhammad Abu Zahrah

 

 

Keutamaan Ilmu

I. Pendahuluan

Sesungguhnya ilmu adalah kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan adalah kematian dan kegelapan. Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman: “Apakah dapat disamakan orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az Zumar (39) : 9). Allah SWT menolak menyamakan orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu, sebagaimana Allah menolak menyamakan keburukan dengan kebaikan, orang buta dengan orang melihat, cahaya dengan kegelapan, naungan dengan hawa panas, penghuni neraka dengan penghuni surga, orang-orang beriman dengan orang-orang kafir dan orang-orang bertaqwa dengan orang-orang berdosa. Hal ini menunjukkan, bahwa kedudukan orang berilmu terhadap orang bodoh adalah seperti kedudukan cahaya terhadap kegelapan.

Semua kejahatan dan keburukan penyebabnya adalah tidak adanya kehidupan dan cahaya, dan semua kebaikan penyebabnya adalah cahaya dan kehidupan. Cahaya itu membongkar hakikat segala sesuatu dan menjelaskan peringatan-peringatannya, sedangkan kehidupan ia adalah pembimbing kepada sifat-sifat kesempurnaan, dan mengharuskan terbentuknya perkataan dan tindakan yang tepat (QS. Al An’am (6) : 122). Sehingga kebutuhan manusia kepada ilmu adalah kebutuhan primer melebihi kebutuhan badan kepada makanan, karena badan membutuhkan makanan dalam sehari hanya sekali atau dua kali, sedangkan kebutuhan manusia kepada ilmu sangat banyak sebanyak jumlah nafas, karena setiap nafasnya dibutuhkan iman atau hikmah. Jika nafasnya nihil dari iman dan hikmah, sungguh ia binasa, semakin dekat kematiannya dan tidak mendapatkan jalan untuk membebaskan diri kecuali dengan ilmu. Jadi kebutuhan manusia kepada ilmu lebih besar daripada kebutuhan badan kepada makanan dan minuman.

II. Keutamaan Ilmu

Ayat yang pertama kali diturunkan Allah Ta’ala dalam Al Qur’an adalah surat Al Alaq : 1-5. Di dalamnya Allah Ta’ala menyebutkan apa saja yang telah Dia anugerahkan kepada manusia seperti nikmat pengajaran apa yang tidak mereka ketahui, Allah Ta’ala menyebutkan di dalamnya karunia-Nya yaitu pengajaran-Nya, dan mengutamakan manusia dengan pengajaran yang Dia berikan kepada mereka. Ini menjadi bukti kemuliaan ilmu dan pengajaran.

Setiap orang pasti mengetahui keutamaan ilmu. Sesungguhnya manusia itu berbeda dari semua binatang yang ada dengan ilmu, akal dan pemahaman yang diberikan secara khusus kepadanya. Jika ia tidak mempunyai ilmu, akal dan pemahaman, maka yang tersisa padanya adalah kesamaan antara dirinya dengan seluruh binatang, yaitu sifat kebinatangan. Terhadap orang seperti itu, manusia tidak malu kepadanya dan tidak berhenti dari kejahatannya kendati orang tersebut ada di tengah-tengah mereka dan melihat mereka.

Allah SWT menampakkan keutamaan Adam as. daripada malaikat adalah karena ilmu, sehingga Allah menyuruh para malaikat agar sujud kepada Adam as.

Keutamaan  ilmu yang paling nyata adalah bahwa ilmu merupakan sarana untuk bertaqwa kepada Allah, dimana dengan taqwa manusia akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah yaitu surga kebahagiaan abadi. Abu Musa ra. berkata: Bersabda Nabi SAW: “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada saya bagaikan hujan yang turun ke tanah, maka sebagian ada yang subur (baik) dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan serta rumpun yang banyak sekali. Dan ada pula tanah yang keras menahan air, hingga berguna untuk minuman dan penyiram kebun tanaman; dan ada beberapa tanah hanya keras-kering tidak dapat menahan air dan tidak pula menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah contoh orang pandai di dalam agama Allah dan mempergunakan apa yang diberikan Allah kepadaku lalu mengajar, dan perumpamaan orang yang tidak dapat menerima petunjuk Allah yang telah ditugaskan kepadaku.” (HR. Bukhari  Muslim)

III. Klasifikasi Ilmu

1. Ilmu yang diwajibkan untuk setiap Individu (Fardhu ‘Ain)

a. Ilmu pengetahuan tentang prinsip keimana: Allah, Malaikat, Kitab-kitab-Nya, Rasul-Nya, Hari Akhir, Qodo dan Qodhar.
b. Ilmu pengetahuan tentang syariat-syariat Islam: Wudhu, Sholat, Zakat, Puasa, Haji.
c. Ilmu pengetahuan tentang hal yang diharamkan/dihalalkan: Babi, Riba, Judi, Bangkai, Darah.
d. Ilmu tentang kemasyarakatan: perdagangan, Pemerintahan, Administrasi Niaga.

2. Ilmu yang diwajibkan untuk Kelompok (Fardhu Kifayah)
Jika ada satu atau beberapa orang dari kelompok jama’ah telah memiliki ilmu dan melaksanakannya, maka yang lainnya tidak lagi dituntut untuk melaksanakannya. Namun jika tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu tersebut dan tidak melaksanakannya, maka semua orang berdosa, terutama pemimpin mereka (ulil amri), contoh: ilmu kedokteran, ilmu kebidanan, ilmu jenazah, ilmu falak, ilmu komputer dan perkembangannya, dll.

3. Ilmu yang Tercela
Dikatakan tercela karena ilmu itu membawa kemudharatan bagi orang itu sendiri atau orang lain, contoh: ilmu tenung, sihir, santet, pelet, paranormal, peramal, dll.

IV. Penutup

Ilmu dan amal perbuatan yang utama di sisi Allah adalah yang terkait langsung dengan kebutuhan umat. Hal tersebut merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT serta bermanfaat bagi kemaslahatan ummat.
Referensi :
1. Buah Ilmu, Ibnu Qayyim Al Jauziyah
2. Belajar dan Etikanya, DR. Yusuf Qordhowi

 

Kisah Para Pembuat Parit

Ashhabul Ukhdud

I. Uraian Kisah :

“Binasalah dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa Lagi Maha Terpuji”. (QS. Al Buruj : 4-8) 

Dahulu kala di Najran, Yaman, ada seorang remaja bernama Jahdun. Seperti umumnya raja-raja kala itu, Jahdun juga mengaku dirinya adalah Tuhan. Jahdun mempunyai tukang sihir yang sekaligus salah satu penasihatnya. Selain tukang sihir tersebut, ada seorang ustadz yang juga bertugas sebagai penasihat raja.

Suatu ketika, tukang sihir menghadap sang raja, “Paduka yang mulia aku ini sudah sekian tua. Agaknya ajalku hampir tiba. Maka carilah seorang pemuda yang cerdas agar aku bisa mewariskan ilmuku,” ucapnya. Jahdun pun mengabulkan permintaan tukang sihir tersebut.

Singkat cerita, dipilihlah seorang pemuda cerdas bernama Waddhah. Atas perintah raja, pemuda tersebut berguru kepada tukang sihir. Namun dalam perjalanannya, pemuda itu tertarik pula pada sang ustadz yang tinggal tak jauh dari lingkungan istana tersebut. Waddhah sering mampir ke rumah ustadz itu untuk mendengarkan ajaran dan petuahnya, sebelumnya ia pergi ke tukang sihir. Karena terpikat dengan ajaran sang ustadz. Waddhah selalu terlambat tiba di rumah tukang sihir. Akibatnya tukang sihir itu menghukumnya. 

“Mengapa kamu selalu terlambat?” hardik tukang sihir itu sambil memukulinya. Namun Waddhah tak menjawab. Usai belajar di rumah tukang sihir, Waddhah singgah lagi ke rumah ustadz. Akibatnya ia pun sering terlambat di rumah. Kali ini keluarganya yang marah dan memukulinya. Kondisi itu terjadi berulang-ulang.

Akhirnya, Waddhah mengadukan kejadian tersebut kepada sang ustadz, mendengar keluhan muridnya, ustadz itu memberi nasihat bijak.

 “Jika tukang sihir itu hendak memukulmu, katakan bahwa keluargamu telah menahanmu sehingga kau terlambat. Dan jika keluargamu hendak memukulmu karena terlambat, katakanlah bahwa tukang sihir itu telah menahanmu”.

Demikianlah, semua berjalan lancar tanpa ada yang tahu kalau Waddhah telah terpaut hatinya pada ajaran sang ustadz. 

Suatu hari seekor binatang melata berukuran sangat besar tiba-tiba menghalangi jalan umum. Akibatnya, tak seorangpun berani mendekati jalan itu. Ketika melihat binatang itu, Waddhah bergumam dalam hati, “Hari ini akan aku ketahui, apakah ajaran sang ustadz lebih dicintai Allah ataukah ajaran si tukang sihir”. 

Waddhah mendekati binatang tersebut. lalu diambilnya sebuah batu sambil berdo’a: “Ya Allah, jika ajaran sang ustadz lebih Engkau cintai dan Engkau ridhoi daripada ajaran si tukang sihir, maka bunuhlah ini supaya orang-orang bisa lewat”. Waddhah segera melemparkan batu ke arah binatang besar itu. Binatang itu pun mati seketika. Kejadian tersebut diceritakan Waddhah kepada sang ustadz. Mendengar cerita itu sang ustadz sangat kagum. 

“Nak, engkau lebih mulia dari aku”, ujar sang ustadz masih dengan nada tertegun. “Suatu saat engkau pasti mendapat ujian dan malapetaka. Maka ketika ujian itu menimpamu, jangan sekali-kali engkau menceritakan keadaanku”.

Sejak itu, banyak karunia yang diberikan Allah kepada Waddhah. Atas izin Allah, ia mampu menyembuhkan penyakit ringan maupun berat yang menimpa masyarakat. 

Kebetulan, ada teman dekat raja Jahdun yang mengalami kebutaan sejak lahir. Diantar para pengawal, si buta tersebut datang menemui Waddhah dengan membawa berbagai macam hadiah. 

“Wahai anak muda, tolong sembuhkan aku”, Waddhah menjawab, “Aku sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Hanya Allah-lah yang mampu menyembuhkan. Jika engkau beriman kepada-Nya dan berdo’a, Insya Allah akan sembuh”.
 Karena bertekad sembuh, orang itu pun menurut. Maka ia beriman kepada Allah dan memanjatkan do’a. sungguh ajaib, kedua mata laki-laki itu sembuh seketika. Semakin kuatlah imannya kepada Allah. 

Suatu ketika, laki-laki itu datang ke istana. Dengan perasaan heran, raja Jahdun bertanya, “Kawanku, siapa yang telah mengembalikan penglihatanmu?” Ia menjawab singkat, “Tuhanku”, Jahdun menyahut, “Maksudmu aku?”. Bukan, tetapi Tuhanku dan Tuhanmu. Yakni Allah Azza wa Jalla”. Raja semakin penasaran. “Apakah engkau punya Tuhan selain aku?” Dengan mantap ia menjawab, “Benar Allah-lah Tuhanku dan Tuhanmu jua, “Akibat pengakuan keimanannya, laki-laki itu disiksa secara sadis. Hingga akhirnya Waddhah dipanggil menghadap sang raja.  

“Hai Waddhah, aku dengar sihirmu bisa menyembuhkan berbagai penyakit,” tanya Raja Jahdun dengan nada keras.
 Dengan tenang Waddhah menjawab, “Jahdun, aku tak punya ilmu sihir. Tukang sihir itu tidak mengajarkan apa-apa kepadaku. Ia selalu memukuli aku. adapun penyakit mata kawanmu itu. Bukan aku yang menyembuhkan. Tetapi Allah”. Raja bertanya, “Aku?”. “Bukan”, jawab Waddhah. “Kamu punya Tuhan selain aku?”.”Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah adalah Allah semata”. 

Jahdun marah besar. Pemuda itu pun disiksa, sampai akhirnya ia berterus terang bahwa ia belajar dari sang ustadz. Tanpa pikir panjang lagi, Raja Jahdun menyuruh prajuritnya untuk menculik sang ustadz.

“Keluarlah dari agamamu, wahai Ustadz. Atau aku siksa kamu”, bentak Jahdun setelah sang ustadz itu tiba di hadapannya. 

Namun sang ustadz dengan tegas menolak permintaan itu. Akhirnya Jahdun menyuruh algojo mengeksekusi sang ustadz. Dengan gergaji di tangannya, algojo itu memisahkan kepala sang ustadz dari badannya. 

Jahdun kemudian meminta kawannya yang buta itu untuk mengingkari adanya Allah SWT. Tapi ia menolak. Maka laki-laki itupun menyusul sang ustadz, syahid di tangan algojo. 

Tiba giliran Waddhah. Ia juga diminta keluar dari keyakinannya. Namun pemuda itu tidak langsung dibunuh, Jahdun meminta para algojo untuk membawanya ke sebuah gunung.”Jika sampai di puncak nanti, lalu ia mau keluar dari agamanya, bawalah ia kembali. Jika tidak, lemparkan ke jurang.”

Sampai di puncak, Waddhah berdo’a, “Ya Allah, kupasrahkan jiwaku kepada-MU. Peliharalah akau dengan apa yang Engkau kehendaki”. Tak berapa lama, gunung itu berguncang dahsyat. Orang-orang itu terperosok, kecuali Waddhah. Ia pun menghadap raja.

“Apa yang telah terjadi dengan mereka?” tanya Jahdun terkejut. Allah SWT yang telah meyelamatkan aku”. jawab Waddhah. Alangkah murkanya Jahdun. Ia segera menugaskan para prajuritnya agar membuang Waddhah ke laut.
 “Jika sudah berada di tengah laut, lalu pemuda ini mau keluar dari keyakinannya. Bawalah ia kembali. Jika tidak, lemparkan ia!” begitu pesan Jahdun.

Namun, dengan izin Allah, Waddhah selamat. Sedangkan para algojo itu tewas tenggelam. Pemuda itu pun kembali menemui raja Jahdun. Jahdun makin geram dibuatnya.

 “Demi Allah SWT, engkau tak akan bisa membunuhku dengan cara apapun, kecuali engkau menuruti perintahku,” kata Waddhah. “Bagaimana caranya”, tanya Jahdun. “Kumpulkan semua penduduk negeri ini di sebuah tempat yang tinggi. Lalu ikatlah aku di sebuah pohon. Ambil anak panah dan ucapkan dengan keras, “Dengan nama Allah, Tuhannya pemuda ini”. Jika kau lakukan, niscaya kau bisa menghabisi nyawaku”.

Jahdun menurut, setelah rakyat negeri itu berkumpul dan pemuda tersebut terikat erat di sebuah pohon, jahdun mengambil anak panah dan membidiknya. Anak panah melesat ke arah Waddhah, tapi ternyata tidak mampu menembus kulitnya. Jahdun marah, “Hai Waddhah, kau telah membohongi aku”.

 “Tidak, aku tidak bohong,”sanggah Waddhah. “Bukankah engkau belum menyebut nama Allah?”

 Raja congkak itu mengambil lagi anak panah. Menjelang melepaskan anak panah itu, ia menyebut nama Allah, tapi hanya di dalam hati. Anak panah melesat, tetapi lagi-lagi tidak mempan. Bukan main marahnya sang raja. 

“Bukankah telah kuperintahkan kamu untuk menyebut nama Allah dengan keras?” seru Waddhah.

 Jahdun tertegun. Namun sesaat kemudian, cepat-cepat diambilnya anak panah ke tiga. ia berteriak dengan keras, “Dengan nama Allah, Tuhannya pemuda ini!”. Anak panah itu kemudian melesat menembus jantung Waddhah, dan menakhiri hidupnya. 

Gemparlah seluruh penduduk menyaksikan adegan tersebut. mereka pun berteriak, “Kami beriman kepada Allah, Tuhan pemuda itu”. Pengawal raja berbisik, “Paduka, tidakkah paduka lihat? Mereka beriman kepada Allah dan tidak mengakui ketuhanan paduka.

 Akhirnya Jahdun memerintahkan pengawalnya untuk membuat parit (ukhdud). Di dalamnya dinyalakan api yang bergolak. “Siapa yang mau keluar dari agamanya, selamatlah ia. Jika tidak, kalian akan kulemparkan ke dalam api ini!” teriak Jahdun. 

Namun seluruh rakyat Najran itu tetap teguh dengan iman mereka. Akhirnya satu persatu mereka dilemparkan ke dalam api tersebut. di antara mereka ada seorang wanita yang sedang menggendong anaknya yang masih menyusui. Sejenak ia bimbang untuk melompat ke dalam kobaran api. Tiba-tiba anak yang digendongnya berkata pelan, “Ummi, tabah dan bersabarlah. Karena engkau berada di jalan yang benar,“ Maka, dengan membopong anaknya, perempuan itu menceburkan diri. 

Peristiwa di atas kemudian dikenal dengan kejahatan ashabul ukhdud (para pembuat parit). Kebiadaban itu mungkin saja terulang kembali di tempat dan waktu yang berbeda, dalam pola dan bentuk yang berbeda pula. Karenanya, kisah yang diabadikan dalam Al Qur’an ini harus selalu diambil hikmahnya.

II. Hikmah

Kisah Ashabul Ukhdud menceritakan bagaimana perjuangan seorang pemuda untuk mendapatkan kebenaran dan mempertahankannya. Bagaimanapun seorang pemuda merupakan aset regenerasi, pemuda merupakan masa terbaik manusia. Ia memiliki tenaga yang tidak dimiliki anak-anak maupun orang tua. Semangatnya masih tinggi, idealismenya masih menyala. Kemampuan berpikirnya masih bersih dan kuat. Potensi-potensi ini hanya dimiliki kaum muda. Oleh karena itu sudah selayaknya para pemuda menyadari hal itu. Jika pemudanya rusak perilakunya, maka rusaklah masa depan. Namun jika pemudanya berada dalam jalan kebenaran maka masa depan akan cemerlang.

 Pada kisah ini, awalnya Waddhah adalah calon pengganti penyihir jahat. Namun pada perjalanan kehidupannya Waddhah bertemu dengan seorang alim agama sehingga ia menemukan cahaya kebenaran. Kisah ini memberi tahu bahwa hidayah Allah SWT itu selalu ada, tinggal manusianya mau mencarinya atau tidak. 

Pada kisah ini juga kita diperlihatkan bahwa tak ada yang mampu mengalahkan kekuasaan Allah SWT. Apalagi orang yang mengingkari-Nya. Allah SWT selalu memperlihatkan kekuasaannya bahwa mereka yang melampaui batas akan mendapat balasan. 

Orang yang mengingkari Tuhan dari masa ke masa akan tetap ada. Mungkin saja kebiadaban yang dilakukan orang-orang tersebut akan terulang. Oleh karena itu para penegak da’wah perlu selalu mengasah kesabaran dan kekonsistenan dalam berda’wah serta mengutkan hubungan dirinya dengan Allah SWT. Hanya dialah yang mampu menolong hamba-Nya.
 Ujian dalam menegakkan kebenaran mulai dari yang ringan hingga mengorbankan jiwanya. Sebagaiman Waddhah, da’wahnya menyeru ke masyarakat berhasil ketika ia mengorbankan jiwanya, bahkan kematiannya.

Kisah ini berlanjut hingga masa kini, kisah Sayyid Quthub misalnya, ia meninggal di tiang gantung karena dianggap melawan negara, namun kematian beliau itulah yang menyadarkan algojo yang menggantung beliau. Di detik-detik terakhir sebelum akan digantung, sang algojo berkata kepada Sayyid Quthub, “Wahai Sayyid, ucapkanlah Laa ilaha illallah!”, Sayyid Quthub pun menjawab, “Engkau mencari makan dari kalimat itu sedangkan aku berada di sini karena mempertahankan kalimat ini.” Sang algojopun terdiam. Kata-kata itu membekas di hatinya.

Pada akhirnya ia bergabung pada nilai-nilai kebenaran itu. Bagi para penyeru da’wah setiap peristiwa dapat menjadi lahan untuk berda’wah dan itu sudah dibuktikan oleh Waddhah, Sayyid Quthub dan pemuda-pemuda lain yang seperti mereka.
Referensi :
1. Al Qur’an Terjemahan, DEPAG RI
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Majalah Sabili Edisi. No. 4 Th. VII 11 Agustus 1999/29 Rabi’ul Tsani 1420.

 

Menyebarkan Salam

I. Pendahuluan

Allah SWT berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An Nuur (24) : 27). Dalam surat yang lain Allah SWT juga berfirman : “Jika kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (QS. An Nisaa’ (4) : 86)

Mengucapkan salam itu sunnah dan menjawabnya wajib. Dalam menjawab salam boleh melebihkan dan tidak boleh menguranginya. Barang siapa yang biasa menyebarkan salam, maka akan timbul kasih sayang dan dimudahkan ke dalam syurga, seperti disabdakan oleh Rasulullah SAW : “Kamu tidak akan masuk ke dalam surga hingga beriman dan kamu tidak beriman hingga saling mencintai diantara kamu. Sukakah saya tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan akan timbul saling cinta diantara kamu, sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)

Abu Yusuf (Abdullah) bin Salam ra. mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda : “wahai sekalian manusia sebarkanlah salam, berilah makanan, hubungi famili (silaturrahim), dan shalatlah di waktu malam ketika orang-orang sedang tidur, niscaya kamu akan masuk dengan sejahtera ke dalam surga.” (HR. At Tirmidzi)

Selain itu, Allah SWT akan mengganjarnya dengan pahala yang besar. Imran bin Husain ra. mengatakan seorang datang kepada Nabi SAW dan mengucapkan “Assalamu’alaikum”, maka dijawab oleh Nabi SAW. Kemudian ia duduk. Nabi berkata, “Sepuluh”. Kemudian datang pula seorang yang lain memberi salam “Assalamu’alaikum Warahmatullahi”. Setelah dijawab oleh Nabi SAW, ia duduk. Nabi pun berkata “Dua puluh”. Kemudian orang ketiga datang dan mengucapkan “Assalaamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuhu”, maka dijawab oleh Nabi SAW dan Nabi berkata “Tiga puluh”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi)

II. Keutamaan Salam

Rasulullah SAW mengatakan bahwa dengan menyebarkan salam akan tumbuh rasa cinta diantara kaum muslimin. Namun mengapa rasa cinta itu tidak tumbuh juga walaupun kita sudah menyebarkan salam? Masalahnya mungkin karena kita tidak memahami sepenuhnya apa yang kita ucapkan dan kita tidak mengucapkannya dari lubuk hati kita.
Salam adalah doa. Salam bukalah ucapan basa-basi atau sekedar sopan santun seperti ucapan “Selamat Pagi”. Bila kita mengucapkan salam, sadarilah bahwa kita sedang mendo’akan saudara kita, mengharap kebaikan dan kesejahteraannya. Ekspresikanlah salam kepada saudara kita dengan perasaan cinta, kalau perlu tambahkan dengan do’a-do’a lainnya sehingga perasaan cinta pada saudara kita itu semakin mendalam.

III. Aturan Salam

1. Dalam menyebarkan salam ada aturan-aturan yang harus dipahami oleh seorang muslim, diantaranya :
a. Ketika memasuki rumah (QS. An Nuur (24) : 61)
b. Ketika bertemu dan hendak berpisah
c. Orang yang berkendaraan lebih dahulu salam kepada yang berjalan kaki
d. Yang berjalan lebih dahulu salam kepada yang duduk
e. Yang sedikit kepada yang banyak
f. Yang lebih dahulu salam yang lebih baik
g. Setelah bertemu lalu terpisah (oleh pohon, dinding atau batu diperjalanan kemudian bertemu kembali)
h. Dianjurkan memberi salam pada anak-anak dan kaum wanita
i. Tidak memberi salam kepada orang kafir (dilarang mendahului orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam mengucapkan salam. Jika mereka mengucapkan salam kepada kita, maka jawabnya adalah “Wa’alaikum”. Namun boleh mengucapkan salam pada suatu majelis yang di dalamnya terhimpun orang-orang Islam, musyrikin penyembah berhala dan Yahudi)
j. Ketika hendak memasuki dan meninggalkan majelis
k. Berjabat tangan (dengan muhrim/sejenis)

2. Hukum memberi salam kepada wanita

Imam Nawawi ra. berkata : “Sahabat-sahabat kami (para pengikut mazhab Syafi’i) mengatakan bahwa perempuan memberi salam kepada perempuan seperti halnya lelaki kepada lelaki. Adapun perempuan kepada lelaki (atau sebaliknya), maka menurut Imam Abu Sa’ad Al Mutawalli:

a. Jika perempuan itu istrinya atau budak perempuannya atau salah seorang mahramnya, maka hukumnya seperti memberi salam kepada lelaki sehingga dianjurkan salah satu dari keduanya untuk memulai memberi salam kepada yang lain dan salam itu wajib dijawab oleh yang diberi salam.

b. Jika perempuan itu perempuan asing (bukan mahramnya), maka jika dia cantik dikhawatirkan dapat terjadi fitnah, karena itu tidak boleh lelaki memberi salam kepadanya. Kalau dia tetap memberi salam juga maka salamnya tidak berhak dijawab. Jika dia tetap menjawab salam perempuan itu maka itu suatu kejelekan baginya. Jika dia seorang perempuan tua yang tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah maka dia boleh memberi salam kepada lelaki dan salam itu wajib dijawab.

c. Jika perempuan itu banyak jumlahnya, maka seorang lelaki boleh memberi salam kepada mereka. Demikian juga sejumlah lelaki boleh memberi salam kepada seorang perempuan, jika masing-masing dari mereka tidak khawatir akan terjadi suatu fitnah. 

IV. Penutup
Demikianlah keutamaan menyebarkan salam, diharapkan persaudaraan dalam Islam akan tumbuh, karena salam merupakan do’a yang disampaikan dari seorang saudara kepada saudaranya yang lain.
Referensi :  

1. Bahkan Para Nabi pun Iri, Alwi Al Atas, S.S  
2. Fiqih Wanita, Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah
3. Mensucikan Jiwa, Said Hawwa

 

 

        Wanita Dalam Pandangan Islam

I. Pendahuluan

Wanita adalah sosok yang kerap kali menjadi perbincangan yang tiada habisnya. Sesuatu yang menyangkut wanita akan terus mendapat perhatian untuk dibicarakan. Bagi sebagian orang, wanita adalah masyarakat kelas dua. Ia tidak berhak untuk berpendapat bahkan mengurus dirinya sendiri. Semuanya diatur oleh laki-laki. Di satu sisi ada yang begitu memuja wanita. Hidup seakan mati tanpanya, segala yang dilakukannya adalah untuk wanita.

Disisi lain banyak para filosofis menganggap wanita sebagai biang keladi terjadinya berbagai bentuk bencana dan tindak kriminalitas di dunia. Negara hancur karena wanita. Seorang pangeran bahkan ada yang rela menanggalkan mahkotanya kerajaannya karena wanita. Pertikaian muncul akibat perebutan wanita. Bahkan muncul permasalahan dari kaum agama bahwa wanitalah yang menyebabkan Nabi Adam as. turun ke bumi. Wanita dianggap penyebab terjadinya dosa.

II. Pandangan Manusia Terhadap Wanita

Secara umum ada dua kelompok manusia dalam memandang wanita, yaitu:

a. Kelompok yang berbaik sangka kepada wanita, Seorang pujangga pernah berkata:

 Kaum wanita itu bagaikan minyak kesturi…
 Yang diciptakan untuk kita…
 Setiap kita tentu merasa senang mencium aromanya…
 Seorang ibu ibarat sekolah…
 Apabila kamu siapkan dengan baik…
 
Berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya…
 …Dibalik keberhasilan setiap Pemimpin ada wanita…

b. Kelompok yang menjadi musuh wanita, Pujangga lain berkata:

Kaum wanita itu bagaikan syaithan…
Yang diciptakan untuk kita…
Kita berlindung kepada Allah…
Bila ada kerusakan di bumi ini lihat wanitanya…

Satu hal yang perlu direnungi bersama adalah baik kelompok yang memuja maupun yang membencinya terkadang melakukan tindakan eksploitasi terhadap keberadaan wanita. Seringkali wanita tidak menyadari bahwa apakah dirinya dieksploitasi (dimanfaatkan) atau dimuliakan. Oleh karena itulah setiap muslim perlu mengetahui bagaimana Islam memperlakukan wanita. Berdasarkan lembaran sejarah, kita mengetahui bagaimana wanita dapat memiliki dirinya sendiri dan menyadari keberadaannya tidak hanya sebagai saudara dari laki-laki namun yang terpenting adalah hamba Allah SWT yang sama-sama menyembah Allah SWT. 

Islamlah yang membebaskan wanita dari anggapan buruk terhina memiliki anak perempuan. Kisah Umar bin Khatab menjelaskan bagaimana budaya Arab jahiliyah terhadap wanita, sehingga ia rela menguburkan anak perempuannya agar tidak mendapat malu. Pada saat itu wanita menjadi harta warisan bila ayahnya wafat. Islam pulalah yang mengajarkan kedua orang tua untuk merawat dan mendidik anak perempuannya bila keduanya ingin masuk syurga.

III. Pandangan Islam Terhadap Wanita

Dalam Islam, wanita bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki. Sebaliknya wanita adalah bagian dari laki-laki demikian pula laki-laki adalah bagian dari wanita, keduanya bersifat saling melengkapi. (QS. Ali Imran (3) : 195)

Dalam Islam tidak pernah dibayangkan adanya pengurangan hak wanita atau penzhaliman wanita demi kepentingan laki-laki karena Islam adalah syariat yang diturunkan untuk laki-laki dan perempuan. Akan tetapi ada beberapa pemikiran keliru tentang wanita yang menyelusup ke dalam benak sekelompok umat Islam sehingga mereka senantiasa memiliki persepsi negatif terhadap watak dan peran wanita. Salah satu contohnya adalah perlarangan wanita keluar rumah untuk menuntut ilmu dan mendalami agama dengan alasan ada orang tua dan suami yang yang berhak dan berkewajiban mendidik serta memberikan pelajaran. Akibatnya mereka menghambat wanita dari pancaran ilmu pengetahuan dan memaksanya hidup dalam kegelapan dan kebodohan.

1. Laki-laki dan wanita dari asal yang sama, QS. An Nisaa’ (4) : 1
2. Tanggung jawab kemanusiaan seorang wanita, QS. Ali Imran (3) : 195
3. Pembebasan wanita dari kezhaliman jahiliyah, QS. An Nahl (16) : 58-59
4. Pembebasan wanita dari pengharaman hal yang baik pada masa jahiliyah. Seringkali wanita diharamkan untuk memakan sesuatu atau memiliki sesuatu. Ketika Islam datang maka pengharaman itu digugurkan, sehingga wanita memperoleh hak yang sama mengenai hal ini, QS. Al An’aam (6) : 139
5. Pembebasan dari harta warisan dan dalam perkawinan, QS. An Nisaa’ (4) : 19
6. Pembebasan dari buruknya hubungan keluarga akibat perkawinan. Pada masa jahiliyah, wanita yang telah menikah dengan bapaknya dapat diturunkan kepada anak yang dilahirkannya sehingga akan menimbulkan kerancuan dan kehancuran dalam keluarga namun setelah Islam datang semua itu diharamkan, QS. An Nisaa’ (4) : 22-23
7. Penegasan tentang karakteristik wanita muslimah :

a. Wanita dan pria memiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, QS. Al Lail (92) : 1-4

b. Menutup aurat
Bila kita mau merenungi dan mengambil hikmah dari perintah Allah kepada muslimah untuk menutup aurat pada dasarnya adalah menjaga dan melindungi wanita itu dari kemungkinan negatif dari pandangan manusia yang melihatnya serta menjaganya agar dapat aman beraktivitas, QS. An Nur (24) : 31

c. Mendapat balasan yang sama dengan laki-laki di akhirat, QS. Al Hadid (57) : 12
Referensi :
1. Kebebasan Wanita Jilid 1, DR. Yusuf Qordhowi dan Muhammad Al Ghazali
2. Jati Diri Wanita Muslimah, Musthofa Muhammad Thahhan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ta’rif Ghazwul Fikri (Pengertian Ghazwul Fikri)

 

Perang salib dalam arti peperangan fisik mungkin sudah berakhir. Namun, satu hal yang harus disadari oleh kaum muslimin, peperangan yang bersifat non fisik sejatinya masih terus berlangsung hingga saat ini. Peperangan inilah yang kemudian disebut dengan istilah al-ghazwul fikri.

Secara Bahasa, ghazwul fikri terdiri dari dua suku kata yaitu ghazwah dan fikr. Ghazwah berarti serangan, serbuan atau invansi. Sedangkan fikr berarti pemikiran. Jadi, secara bahasa ghazwul fikri diartikan sebagai invansi pemikiran.[1]

Sebagian orang menyebut ghazwul fikr dengan istilah perang ideologi, perang budaya, perang urat syaraf, dan perang peradaban. Intinya, ia adalah peperangan dengan format yang berbeda, yaitu penyerangan yang senjatanya berupa pemikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda, dialog dan perdebatan.

Konon, orang yang pertama kali menyadari pentingnya metode baru dalam menaklukkan Islam adalah Raja Louis IX. Setelah ditawan oleh pasukan muslim di Al-Manshuriyah Mesir pada perang salib ke VII[2], di dalam memoarnya ia menulis: “Setelah melalui perjalanan panjang, segalanya menjadi jelas bagi kita. Kehancuran kaum muslimin dengan jalan konvensional (perang fisik) adalah mustahil. Karena mereka memiliki metode yang jelas dan tegas diatas konsep jihad fii sabilillah. Dengan metode ini, mereka tidak pernah mengalami kekalahan militer.” Ia melanjutkan: “Barat harus menempuh jalan lain (bukan militer). Yaitu jalan ideologi dengan mencabut akar ajaran itu dan mengosongkannya dari kekuatan, kenekatan dan keberanian. Caranya tidak lain adalah dengan menghancurkan konsep-konsep dasar Islam dengan berbagai penafsiran dan keragu-raguan.”[3]

Dalam artikel berjudul: “Serial Perang Salib Modern #3: Perang Salib, Benarkah?” disebutkan bahwa Raja Louis IX berkata: ”Tidak mungkin meraih kemenangan atas umat Islam melalui peperangan. Kita hanya akan bisa mengalahkan mereka, dengan cara sebagai berikut: (a) menimbulkan perpecahan di kalangan pemimpin umat Islam. Jika sudah terjadi, perluaslah ruangnya sehingga perselisihan ini menjadi faktor yang melemahkan umat Islam. (b) Tidak memberi peluang berkuasanya seorang penguasa yang shalih di negeri-negeri Islam dan Arab. (c) merusak pemerintahan di negara-negara Islam dengan suap, kerusakan dan wanita sehingga fondasi bangunan terpisah dengan puncak bangunan. (d) mencegah munculnya tentara yang meyakini hak atas tanah airnya, rela berkorban demi membela prinsip tanah airnya. (e) mencegah terbentuknya persatuan bangsa Arab di kawasan Arab. (f) Membuat sebuah negara Barat di tengah kawasan Arab, mulai dari Ghaza di sebelah selatan, sampai Antokia di sebelah utara, kemudian ke arah timur, terus memanjang sampai ke Barat.[4]

 

 

 

 

Sebelum menyimpulkan pengertian ghazwul fikri, perlu kita ketahui empat kata kunci dan target dari ghazwul fikri ini.

  1. Ifsadul akhlak (merusak akhlak), yaitu memporak-porandakan etika dan moral kaum muslimin sehingga tidak lagi berakhlak sesuai etika dan moral ajaran Islam. Kaum muslimin diserbu dengan budaya permissivisme (paham serba boleh), hedonisme (paham memburu kelezatan materi), gemar bersenang-senang, melepaskan insting tanpa kendali, berlebih-lebihan dalam memuaskan kesenangan perut, mencabut nilai-nilai kesopanan, kesantunan, dan rasa malu dari kalangan pria maupun wanita.
  2. Tahthimul fikrah (menghancurkan pemikiran), yaitu mengacaukan pemahaman kaum muslimin dengan memunculkan berbagai macam isme-isme yang asing dan bertentangan dengan ajaran Islam, seperti: atheisme, materialisme, komunisme, liberalisme, dan lain-lain.
  3. Idzabatus syakhshiyyah (melarutkan kepribadiaan), yaitu menggoyahkan sikap hidup kaum muslimin sehingga enggan beramar ma’ruf nahi munkar dan bahkan bersikap mujamalah (basa-basi), toleran atau ikut-ikutan kepada orang-orang yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Misalnya dengan dalih HAM, tidak sedikit kaum muslimin ikut-ikutan mentolerir, bahkan melegalkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Contoh: lesbian, gay, biseksual, dan transgander (LGBT).
  4. Ar-Riddah (murtad), yaitu melepaskan kewajiban agama, mengingkarinya, bahkan keluar dari agama.

Target dari ghazwul fikri ini adalah berubahnya pribadi-pribadi muslim sehingga menjadi orang-orang yang memberikan al-wala-u lil kafirin (loyalitas, kesetiaan, dan kecintaan kepada orang-orang yang ingkar kepada Allah Ta’ala).

Menurut Ali Abdul Halim Mahmud[5], ghazwul fikri merupakan suatu upaya untuk menjadikan:

  1. Bangsa yang lemah atau sedang berkembang, tunduk kepada negara penyerbu.
  2. Semua negara, negara Islam khususnya, agar selalu menjadi pengekor setia negara-negara maju, sehingga terjadi ketergantungan di segala bidang.
  3. Semua bangsa, bangsa Islam khususnya, mengadopsi ideologi dan pemikiran kafir secara membabi buta dan serampangan, berpaling dari manhaj Islam, Al Quran dan Sunnah.
  4. Bangsa-bangsa mengambil sistem pendidikan dan pengajaran negara-negara penyerbu.
  5. Umat Islam terputus hubungannya dengan sejarah masa lalu, sirah nabinya dan salafus saleh.
  6. Bangsa-bangsa atau negara-negara yang diserbu menggunakan bahasa penyerbu.
  7. Ghazwul fikri adalah upaya melembagakan moral, tradisi, dan adat-istiadat bangsa penyerbu di negara yang diserbunya.

Sejak awal, Islam telah memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap orang-orang kafir dan munafik yang selalu berupaya menyesatkan mereka,

 “Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga mereka berhijrah pada jalan Allah.” (QS. An-Nisa, 4: 89)

*****

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan pengertian ghazwul fikri adalah serangan pemikiran, ide, budaya, dan propaganda yang dilancarkan suatu bangsa/peradaban kepada bangsa/peradaban lain sehingga mengalami kelemahan mental dan dapat dikuasai untuk kepentingan mereka.

Wallahu A’lam.

Besambung ke materi selanjutnya, silahkan klik:

  1. Marahilul Ghazwul Fikri (Bag. 1)
  2. Marahilul Ghazwul Fikri (Bag. 2)
  3. Wasailul Ghazwul Fikri

CATATAN KAKI:

[1] Dikutip dari tulisan Bahron Ansori: http://www.mirajnews.com/id/ghazwul-fikri-dan-kelompok-penebar-permusuhan/74746

[2] Dalam perang di Al-Manshurah, sekitar 30.000 tentara Perancis gugur, tidak sedikit pula yang ditawan. Sementara Raja Louis berhasil ditangkap dan dipenjara di rumah Ibnu Luqman. Setelah membayar uang tebusan 10 juta Frank, Louis beserta sisa-sisa keluarga dan pasukannya dibebaskan (Lihat: Buku Pintar Sejarah Islam, Qasim A. Ibrahim & Muhammad A. Saleh, Penerbit: Serambi)

[3] Ibid. Penyusun sampai saat ini belum menemukan buku rujukan asli yang menyebutkan tentang hal ini.

[4] Lihat: https://www.arrahmah.com/read/2012/06/12/20462-serial-perang-salib-modern-3-perang-salib-benarkah.html

[5] Dr.Ali Abdul Halim Mahmud, Al – Ghazwul -Fikri wat –TiyaratulMuadiyah Lil- Islam

 

 

 

 

Marahilul Ghazwul Fikri (Bag. 1)

Fase Al-Inhilal

Ghazwul fikri yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam dilakukan secara bertahap melalui tiga fase: al-inhilal (masa-masa degradasi kekuatan kaum muslimin), al-ihtilal, yaitu fase pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam, dan fase ma ba’dal ihtilal, yaitu masa setelah pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam.

Dalam tuliasan bagian pertama ini marilah kita ulas ghazwul fikri pada fase al-inhilal.

Pada fase ini, mereka melakukan aktivitas al-istisyraq (orientalisme), at-tanshir (kristenisasi), dan taqthi’u aushali daulatil khilafah (memutuskan hubungan umat Islam dengan daulah khilafah).

Al-istisyraq (orientalisme)

Yang dimaksud dengan orientalisme adalah sebuah studi yang dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap negara dan bangsa Timur (khususnya Islam-pent.) mengenai budaya, bahasa, sejarah, agama, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan bangsa tersebut.[1]

Barat membangun institut dan kelompok studi untuk kaum orientalis yang memberikan perhatian khusus dalam bidang penerbitan manuskrip-manuskrip Islam. Selain itu, mereka juga menerbitkan karya tulis berupa buku-buku yang berhubungan dengan dunia Islam dan keislaman. Mereka memasukkan kritik-kritik terhadap Islam yang bersifat subyektif, jauh dari obyektifitas.

Pada saat dunia Islam melemah pada akhir abad 19 dan awal abad 20, para orientalis menggunakan kesempatan tersebut untuk mentransfer manuskrip-manuskrip Islam dan naskah-naskah dari dunia Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya ke negara-negara Eropa, dengan cara membeli dari tangan orang Islam yang bodoh ataupun mencurinya dari perpustakaan-perpustakaan umum. Sampai abad 19 saja, mereka telah mentransfer sekitar 250.000 jilid manuskrip.[2]

Pada tahun 1873 M, untuk pertama kalinya kaum orientalisme mengadakan Konferensi Internasional I di Paris.

Kaum Orientalisme sekurang-kurangnya memiliki empat motivasi:[3]

  1. Motivasi imperialisme, yaitu menjadikan orientalisme sebagai langkah awal dari sebuah rencana invasi militer atau penguasaan negara lain.
  2. Motivasi agama, yaitu menebarkan agama dengan cara melemahkan keyakinan orang lain terhadap agamanya. Mereka menebarkan keraguan terhadap kebenaran risalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menuduh, “Kitab Al-Qur’an adalah karangan Muhammad,” atau “Islam bukanlah agama langit.”
  3. Motivasi ilmiah, yaitu ada diantara mereka yang mempelajari Islam dengan motivasi ilmiah semata. Bahkan diantara mereka ada yang masuk Islam setelah menemukan kebenaran dalam studi yang mereka lakukan, misalnya, seorang orientalis Prancis bernama Deney. Setelah masuk Islam namanya diganti menjadi Nashiruddin Deney.[4]
  4. Motivasi ekonomi, yaitu melakukan studi dengan tujuan untuk menguasai pasar dunia Islam, menguasai lembaga ekonomi, mengeksploitasi sumber daya alam, menjadikan negara-negara kaum muslimin sebagai konsumen produk-produk negara Eropa.

At-tanshir (kristenisasi)

Yang dimaksud dengan kristenisasi adalah semua bentuk usaha orang-orang kristen dalam mengajarkan agama Kristen dan menyebarkannya ke berbagai negara.[5] Namun, kenyataannya kristenisasi ini hanyalah menjadi tujuan sekunder. Tujuan utama mereka adalah imperialisme.

Pencetus gerakan kristenisasi pasca kekalahan pasukan Kristen dalam perang salib adalah Ramon Llull. Kegiatan ini bertambah besar pada abad ke – 18 dan abad ke -19, dan mencapai klimaksnya pada abad ke-20 yaitu setelah berdirinya berbagai organisasi misionaris di negeri-negeri kaum muslimin. Misi zending Kristen ini gencar disebarluaskan pada masa imperialisme Barat terhadap dunia Islam.

Kaum misionaris selalu mengadakan konferensi internasional untuk membahas segala macam kendala yang mereka hadapi selama menjalankan misi kristenisasi. Di antara konferensi yang telah mereka adakan antara lain :

  • Konferensi di Cairo ( Mesir ) pada tahun 1906
  • Konferensi di Edinburgh ( Skotlandia ) pada tahun 1910
  • Konferensi di Lucknow pada tahun 1911
  • Konferensi di Beirut pada tahun 1911
  • Konferensi di Yurusalem pada tahun 1924, 1925 dan 1928
  • Konferensi di Tunis ( Tunisia ) pada tahun 1931

Konferensi tersebut dilaksanakan untuk mempelajari kondisi, karakteristik, dan jumlah kaum muslimin diseluruh dunia. Selain itu, untuk mengetahui kondisi dunia Islam dari segi politik, ekonomi, sosial, maupun budayanya. Konferensi yang mereka adakan selalu dihadiri oleh pakar-pakar di bidang politik, sosial, budaya dan tokoh- tokoh yang berkompeten dalam mendukung kegiatan kristenisasi dan imperialisme.[6]

Taqthi’u Aushali Daulatil Khilafah (memutuskan hubungan umat Islam dengan Daulah Khilafah)

Salah satu kekuatan umat Islam yang tidak dapat dianggap enteng adalah kekuatan wihdah (persatuan) dan ukhuwah (persaudaraan), yaitu kesadaran umat Islam bahwa mereka—dimana pun berada—hakikatnya adalah satu kesatuan yang diikat oleh tali persaudaraan berdasarkan kesamaan aqidah. Simbol persatuan umat Islam tersebut adalah lembaga Daulah Khilafah.

Maka, guna melemahkan kekuatan umat Islam, Barat kemudian mengarahkan makarnya ke arah Daulah Khilafah Utsmaniyah yang saat itu masih tegak berdiri. Barat berupaya memutuskan hubungan umat Islam dengan Daulah Khilafah ini, dengan cara menebarkan ide nasionalisme di wilayah negeri-negeri muslim. Di Beirut muncul Butrus al-Bustani,  Mikhail Mishaqa dan Nasif al-Yaziji mendirikan The Syrian Association for The Sciences and Arts pada tahun 1847 atas inisiatif The American Mission. Pada tahun 1850 didirikan Eastern Association,  lalu terbentuk pula The Syrian Scientific Association pada tahun 1852 dan The Secret Association pada tahun 1875.

The Secret Association memposisikan diri sebagai partai politik pertama yang fokus pada nasionalisme Arab. Parpol ini membangkitkan permusuhan kepada Daulah Utsmaniyyah dan menyebutnya sebagai Negara Turki. Mereka memperjuangkan pemisahan agama dari negara, menegakkan nasionalisme Arab sebagai dasar persatuan dan mengubah loyalitas pada aqidah Islam menjadi setia pada nasionalisme Arab. Sesuai namanya, parpol ini menerbitkan selebaran-selebaran yang berisi hasutan bahwa Turki telah merampas Khilafah dari bangsa Arab.

Di Istanbul, muncul Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) dibentuk oleh Ahmad Ridha Beik yang memiliki gagasan untuk mengimpor budaya Barat ke Turki. Gerakan ini sungguh terpengaruh  Revolusi Prancis dengan semboyannya: liberte, egalite, dan fraternite. Timbulnya kaum terpelajar yang berpaham modern memudahkan proses adopsi liberalisme, nasionalisme dan demokrasi.  Tokoh-tokoh mereka seperti Ziya Gokalp tampil sebagai sosok Turki Muda pembawa semangat nasionalisme yang dominan dan fanatik. Nasionalisme yang disebut Gokalp sebagai Turkisme Kultural tidak menuntut keberadaan faktor religius. Ia merekomendasikan Syaikhul Islam sebagai representasi penerapan hukum Islam agar dihapuskan.  Pemikiran Gokalp menegaskan pemisahan agama dengan politik.  Gerakan Turki Muda membentuk Committee for Union and Progress/CUP (Komite Persatuan dan Kemajuan) sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan secara terbuka. CUP menjadi aktor penting dalam Daulah  Utsmaniyah sepanjang tahun 1908-1918, termasuk memasok tiga presiden pertama Republik Turki sekular.

Singkat kata, CUP berhasil melancarkan kudeta dan merampas kekuasaan yang diabadikan sejarah sebagai Revolusi Turki Muda (Young Turk Revolution) pada tahun 1908. Pada musim gugur tahun yang sama, CUP mengadakan konferensi di Salanik, Turki, sebagai sarana unjuk kekuatan.  Pada saat itu Ahmad Beik menyombongkan kekuatan gerakannya dan memastikan dukungan Eropa kepada mereka.  Selanjutnya saat Turki meresmikan pembentukan parlemen, komite ini memperoleh kekuasaan lewat Partai Turki Muda.

Kekuasaan itu mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk mengendalikan angkatan bersenjata.  Komite sadar betul bila berhasil mengendalikan angkatan bersenjata, mereka akan mampu mengendalikan seluruh kekuasaan. [7]

Gagasan nasionalisme kemudian menyebar ke seluruh wilayah Daulah Utsmaniyyah hingga bangsa Albania, Sirkasia, Kurdi, Romawi dan Armenia sibuk mendirikan komite demi memerdekakan diri dari kesatuan Khilafah.

Pada tanggal 18 Juni 1913 dengan bantuan Prancis, pemuda-pemuda Arab mengadakan konferensi di Paris.  Konferensi itu menjadi deklarasi pertama kaum nasionalis Arab yang bersekutu dengan Inggris dan Prancis guna melawan Daulah Utsmaniyah.

Pada 16 Mei 1916, terjadilah persetujuan rahasia “Sykes-Picot” antara Perancis dan Inggris yang menyepakati pembagian wilayah-wilayah kekuasaan Ustmani yang berhasil mereka rebut. Maka munculah negara-negara kecil bernama: Libanon, Suriah, Irak, Palestina, Yordania, Hijaz dan Yaman. Persetujuan ini dirahasiakan karena bertentangan dengan  janji-janji yang diberikan kepada Amir Makkah, Syarif Husein Bin Ali. Kepadanya pemerintah Inggris menjanjikan kemerdekaan bagi negara-negara Arab dan berdirinya Khilafah Islamiyah Arabiyah yang dipimpin tokoh Mekkah atau Madinah, jika mendukung Inggris melawan Kekhalifahan Utsmaniyah. Wilayah kekuasaan yang dijanjikan meliputi Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif), Jazirah Arab, Irak, dan Syam.

Pada 10 Juni 1916 Syarif Husein memproklamasikan pemberontakan Arab terhadap kekuasaan Khalifah Turki Utsmani. Ia mengepung kota Madinah dan merebutnya dari kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Lalu putranya, Faishal bin Syarif Husain memimpin peperangan pasukan Arab melawan pasukan Turki Utsmani di perbatasan wilayah Palestina.

Pasukan berkuda Arab dipimpin oleh Pangeran Faishal bin Syarif Husain dan agen intelijen Inggris, Lawrence of Arabia, menyerbu pasukan Turki Utsmani di wilayah Jabal Druz, Baklabak, dan Ma’an. Sementara itu, Musthafa Kamal Pasha, Panglima Pasukan Divisi VII Turki Utsmani, telah menjalin kesepakatan rahasia dengan Inggris. Musthafa Kamal Pasha menarik mundur pasukannya tanpa menembakkan sebutir peluru pun terhadap pasukan musuh. Atas pengkhianatannya itu, Inggris menjanjikan Musthafa Kamal Pasha sebagai calon penguasa Turki Utsmani.

Pengkhianatan Musthafa Kamal Pasha membuat pasukan Turki Utsmani yang kelaparan dan kehabisan amunisi di kota Gaza dan Ma’an kewalahan menghadapi serbuan pasukan Arab. Pasukan Turki Utsmani terpaksa ditarik mundur, sehingga kota Gaza dan Ma’an jatuh ke tangan pasukan Arab.

Kemenangan pasukan Arab itu merupakan sebuah kesuksesan besar bagi pasukan Inggris dan Sekutu. Sebab, Palestina jatuh ke tangan pasukan Inggris dan Sekutu tanpa tewasnya seorang pun tentara mereka dalam perang melawan pasukan Turki Utsmani. Dengan mudah dan tanpa perjuangan apapun, Jendral Allenby membawa pasukan Inggris memasuki kota Al-Quds pada tanggal 11 Desember 1917 M (1336 H). Dengan congkak, ia mengeluarkan pernyataannya yang tercatat dalam sejarah “Sekarang telah berakhir perang Salib!”.

Syarif Husain dan bangsa Arab baru mengetahui hal itu setelah isi Perjanjian Sykes-Picot dibocorkan dan dipublikasikan oleh pejuang revolusi komunis Bolshevick, Oktober 1917.

Menteri Penjajahan Inggris, Churchil, pada tahun 1921 M menggelar Konferensi Kairo. Melalui konferensi tersebut, Inggris mendirikan sejumlah negara dan menentukan raja-rajanya:

  1. Khilafah Islamiyah atau Khilafah Arab berkedudukan di Makkah, dengan khalifahnya Syarif Husain.
  2. Kerajaan Mesir, dengan rajanya Fuad.
  3. Kerajaan Irak, dengan rajanya Faishal bin Syarif Husain.

Namun setelah itu, Inggris secara diam-diam juga menjalin kesepakatan dengan penguasa Riyadh dan pemimpin politik gerakan dakwah tauhid Nejed, Pangeran Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Dengan dukungan Inggris, pasukan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud mengalahkan pasukan Syarif Husain pada perang tahun 1925. Syarif Husain akhirnya lengser dan menyerahkan tahta kerajaannya kepada putranya, Syarif Ali bin Syarif Husain.

Namun, kekalahan perang telah mengakibatkan kota Makkah jatuh ke tangan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Hal itu berarti Khilafah Arabiyah Makkah tumbang. Syarif Ali dan keluarganya diberi jaminan untuk bergabung dengan saudaranya, Syarif Faishal bin Syarif Husain di Irak. Sementara Syarif Husain sendiri dibuang ke Cyprus sebagai tahanan politik dan meninggal di pembuangan pada tahun 1931. Makkah, Madinah, Jeddah, dan Riyadh disatukan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud, lalu ia mendirikan Kerajaan Alu Sa’ud.[8]

Bersambung ke materi selanjutnya:

  1. Marahilul Ghazwul Fikri (Bag. 2)
  2. Wasailul Ghazwul Fikri

 

 

Marahilul Ghazwul Fikri (Bag. 2)

 

Fase Ihtilal dan Fase Ma Ba’dal Ihtilal

Fase al-ihtilal, yaitu fase pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam. Barat terus melanjutkan aktivitas al-istisyraq (orientalisme) dan at-tanshir (kristenisasi), juga berupaya melakukan fashlud dini ‘anid daulah (memisahkan urusan agama dari kenegaraan), nasyrul qaumiyyah (menyebarkan faham nasionalisme/kebangsaan), dan isqatul khilafah (meruntuhkan khilafah).

Dari pembahasan sebelumnya kita telah mendapat gambaran sekilas tentang aktivitas orientalisme, kristenisasi, serta bagaimana tertanamnya ide sekularisme dan nasionalisme di dunia Islam yang menyebabkan semakin lemahnya kedudukan Daulah Khilafah Utsmaniyah.

Kekalahan demi kekalahan yang dialami pasukan Turki Utsmani di negeri Syam dan Irak pada masa revolusi Arab akhirnya memaksa Daulah Utsmaniyah untuk menyerah kepada pasukan Inggris dan Sekutu. Inggris kemudian menyerahkan kepemimpinan Turki kepada Musthafa Kamal sesudah berlangsungnya perundingan “Luzon” antara pihak Inggris yang diwakili oleh Lord Cirzon, Menteri Luar Negeri Inggris, dengan pihak Turki yang diwakili oleh Ismat Inonu, pembantu Musthafa Kamal.

Perundingan Luzon berjalan selama tiga bulan, dari November 1922 hingga Februari 1923. Ada empat syarat yang diajukan pihak Inggris kepada wakil Turki dalam perundingan ini:

  1. Harus bersedia menghapuskan Khilafah.
  2. Usaha apapun yang bermaksud menegakkan kembali Khilafah harus ditumpas.
  3. Harus bersedia mengambil undang-undang Eropa untuk menggantikan undang-undang Islam.
  4. Harus bersedia memerangi syi’ar-syi’ar Islam.

Akhirnya Majelis Agung Nasional Turki mendeklarasikan Republik Turki pada tanggal 29 Oktober 1923 dan Musthafa Kamal berhasil menjadi presiden yang pertama. Dialah yang menghapuskan kekhalifahan Turki Utsmaniyah pada 3 Maret 1924.

Berikutnya fase ma ba’dal ihtilal, yaitu fase setelah pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam. Atau bisa disebut  pula: fase setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pada masa inilah terjadi at-taghyir (perubahan) yang demikian besar di dunia Islam, yaitu perubahan siyasiy (politik), ijtima’iy (sosial kemasyarakatan), dan khuluqiy (moralitas). Sebagai contoh, di Turki Musthafa Kamal dengan lancangnya melakukan penghapusan berbagai syi’ar Islam, seperti: penggunaan bahasa Arab lisan maupun tulisan, pakaian muslim di pasar-pasar, ibadah umrah dan haji, shalat berjama`ah, dan  merubah Masjid Aya Shofia menjadi gedung Museum. Kamal juga memaksa penduduk Turki memakai topi ala Eropa dan melarang mereka memakai tarbusyi (songkok) dan surban Turki, serta melarang pemakaian hithah dan ighal (jenis ikat kepala) yang menjadi ciri bangsa Arab.[1]

Gempuran al-istisyraq (orientalisme), at-tanshir (kristenisasi), al-ladiniyyah (sekulerisme), al-qaumiyyah (nasionalisme/kebangsaan), dan at-taghrib semakin deras. Dunia Islam pada saat itu begitu terpuruk. Virus-virus pemikiran ini masuk ke berbagai bidang kehidupan kaum muslimin, diantaranya melalui:

At-Ta’lim (pendidikan)

Bidang pendidikan adalah bidang yang paling diincar oleh musuh-musuh Islam, karena bila mereka dapat menguasainya, berarti mereka telah berhasil menguasai masa depan dan peradaban umat Islam.

Maka, setiap kali kaum imperialis memasuki suatu negara, mereka biasanya terlebih dahulu menyerang strategi pendidikan di negara tersebut. Demikian juga kaum misionaris kristen, mereka mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas misionaris untuk mewujudkan tujuan mereka, yaitu memasukkan doktrin pemikiran mereka, seperti yang terjadi di Universitas Amerika, di Beirut dan Cairo.

Dalam Konferensi Kristenisasi tahun 1924 M, dirumuskan pesan-pesan misionaris, yang antara lain berbunyi, “Dalam setiap kegiatan yang kita lakukan, kita harus memfokuskan misi kita terhadap anak-anak keluarga muslim, sebab mereka ibarat benih yang dapat kita petik buahnya dalam kurun waktu yang tidak lama. Garapan ini harus kita prioritaskan dan kita dahulukan, daripada garapan lainnya, sebab penanaman ruh Islam dalam pribadi mereka, telah dimulai sejak usia dini. Oleh karena itu kewajiban kita adalah membina dan mengirimkan anak-anak Islam ke sekolah-sekolah misionaris, sebelum sempurna perkembangan otak pemikiran dan moral mereka dalam norma-norma Islam.”[2]

“Tujuan utama kaum misionaris adalah, menguasai generasi baru dan mempersiapkan mereka menjadi pelindung serta pendukung gerakan kristenisasi, tatkala anak-anak itu sudah besar dan menjadi ahli politik, ilmuwan, sastrawan, intelektual, maupun tokoh masarakat, di negara mereka pada masa mendatang. Mereka di harapkan akan menjadi pembela serta secara nalurriah, lalu memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada orang-orang yang telah mendidik dan mengajari mereka.”[3]

Abdul Qadir Al-Husaini, seorang mahasiswa Universitas Amerika pada saat yudisium wisudanya, dengan ijazah tergenggam ditangannya, ia berdiri lalu berkata, ”Sungguh, universitas ini tampil dihadapan masarakat, seolah-olah sebuah universitas keilmuan, padahal sebenarnya, merupakan pusat dan sumber dari upaya perongrongan aqidah Islam, karena selalu menjatuhkan dan menghujat Islam. Oleh karena itu, tidak pantas bagi orang-orang Islam, memasukan anak-anaknya ke universitas ini.” Kemusian Abdul Qadir Al-Husaini, mengungkap sejumlah literature yang dijadikan buku pegangan, yang isinya menghina dan menghujat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.[4]

Demikianlah, dengan menguasai sistem pendidikan dan pengajaran. Mereka berupaya keras mengganti kurikulum, metode, dan sistem pendidikan di dunia Islam dengan kurikulum, metode, dan sistem pendidikan yang bersumber dari budaya, serta pemikiran Barat, dengan tujuan, untuk mengangkat kebudayaan Barat, dan menghancurkan kebudayaan Islam.

Menurut Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, invasi pemikiran di bidang pendidikan yang paling berbahaya adalah mereka mendorong putra-putri Islam untuk belajar Islam di negara-negara Barat. Maka, ketika mereka kembali ke pangkuan masyarakat muslim, kebanyakan mereka mengagung-agungkan dan memuji-muji kebudayaan Barat, sambil mencemooh habis-habisan kebudayaan Islam. Di mata mereka, kebudayaan Islam sudah kuno, usang, dan tidak cocok lagi dengan zaman modern.

Al-I’lam (media)

Media informasi modern yang canggih, serta dukungan dana yang besar, merupakan senjata yang paling ampuh untuk mempengaruhi kaum muslimin secara langsung dan cepat.

Oleh karena itu, masuh-musuh Islam sangat berhasrat memanfaatkan media informasi tersebut untuk menghancurkan norma dan budaya kaum muslimin, sehingga menimbulkan kekacauan, kericuhan, dan penyimpangan di tengah kehidupan masarakat muslim.

Sebagian besar kantor berita, stasiun televisi, stasiun radio, harian, majalah, perusahaan perfilman dan periklanan, penerbitan, serta percetakan, tunduk di bawah kekuasaan Barat dan Zionisme internasional.[5]

Semua media informasi dipergunakan untuk menyiarkan acara dan program yang dapat menyulut permusuhan etnis diantara ummat Islam. Selain itu, juga untuk menayangkan berbagai macam film yang berisi adegan seksual dan tindak kriminal. Maka, para remaja Islam yang sedang mengalami masa puber, bahkan orang tua sekali pun menjadi rusak pemikirannya, lalu terdorong untuk melakukan hal yang serupa dengan apa yang baru saja mereka saksikan.[6]

Al-Qanun (undang-undang)

Kaum imperialis Barat semakin dalam menancapkan kuku-kukunya terhadap dunia Islam dengan memaksa umat untuk tunduk kepada undang-undang buatan mereka. Walhasil umat Islam beserta putra-putrinya semakin jauh dari nilai-nilai dan norma yang dapat membentuknya menjadi pribadi muslim yang sejati.

Sebagaimana dimaklumi, diantara faktor pembentuk karakteristik individu dan budaya suatu masyarakat, selain pendidikan (keluarga, lingkungan, dan sekolah) adalah undang-undang, peraturan, nilai-nilai, dan norma yang berlaku.

*****

Demikianlah tahapan-tahapan invasi pemikiran yang melanda dunia Islam. Semuanya itu menyebabkan umat ini semakin terpuruk dan kehilangan izzah-nya.

Marilah kita renungkan kembali hadits berikut ini:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 “Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkok.” Para sahabat bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah dan kalian ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).

Wallahu A’lam.

[1] Lihat: Hidmul Khilafah wa Bina-uha [Terjemahan:Runtuhnya Khilafah & Upaya menegakkannya, Pustaka Al-Alaq: Solo.

[2] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam fi Wajhit Targhib karya Anwar Al-Jundi, hal. 171.

[3] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam fi Wajhit Targhib karya Anwar Al-Jundi, hal. 172.

[4] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam fi Wajhit Targhib karya Anwar Al-Jundi, hal. 176.

[5] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari As-Saitharah As-Shuhyuniyyah ‘ala wasailil I’lam Al-‘Alamiyah, karya Ziyad Abu Ghanimah.

[6] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Ghazwun fish-Shamim, hal. 165karya Abdurrahman Al-Maidani.

DAPATKAN FLASHDISKNYA DI :
IQROBOOKSTORE

PRODUK LENGKAP, DISKON SETIAP HARI, SETIAP HARI DISKON

TELP : (021)  84598427  HP/SMS/WA : 0812-8091926   

MENYEDIAKAN : BUKU BUKU ISLAM DARI BERBAGAI PENERBIT

Buku Buku Referensi Kuliah, Buku Cerita Anak, Komik Islam, Novel, Buku Kado Pernikahan, Buku Buku Best Seller Dll

ANEKA AL QURAN INDONESIA & TIMUR TENGAH ( MUSHAF UTSMANI )

Al Quran Mushaf  Utsmani, Quran  Hafalan, Quran Waqob Ibtida, Quran Terjemah Perkata, Quran Tajwid Warna, Quran Wanita, Quran Lansia, Quran Anak, Quran Per Juz, Dll

FILM FILM ISLAM, VCD & DVD BACAAN MURATTAL AL QURAN ANEKA IMAM TIMUR TENGAH, ANEKA SPEAKER AL QURAN

ANEKA HERBAL

Madu, Kurma, Habbatussauda, Minyak Zaitun, Sari Kurma, Air Zam Zam, Propolis, Qusthul Hindi, Sambiloto  Dll

 

Jl.Transad 4 No.7 Ujung Aspal Pondok Gede, Jatiranggon, Jatisampurna Bekasi

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar