Ahdafut Tarbiyah
Tujuan Tarbiyah
Bila kita
menengok sirah nabawiyah kita akan mendapati sebuah episode bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tarbiyah
(pembinaan) kepada para pengikutnya—para sahabat assabiqunal awwalun—di rumah
Arqam bin Abi Arqam. Ibnu Abdil Bar berkata: “Di rumah Arqam bin Abi
Arqam inilah Rasulullah berdakwah secara sembunyi-sembunyi menghindari gangguan
orang-orang Quraisy, sampai Allah Ta’ala memberikan kekuatan kepada mereka
untuk berdakwah secara terang-terangan, dan ini terjadi pada awal penyebaran
Islam, sehingga banyak dari manusia yang beriman dengan dakwah yang beliau
lakukan di rumah tersebut. Rumah Arqam bin Arqam berada di Makkah yang tepatnya
di atas bukit Shafa.”[1]
Bahkan
tarbiyah qur’aniyah tersebut dilakukan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam secara berkelanjutan. Hal ini tergambar dari atsar berikut ini.
Riwayat dari
Abdul Rahman As-Sulamiy dari Ibnu Mas’ud, ia berkata: “Kami dulu
belajar dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam 10 ayat, kami tidak
mengetahui 10 ayat yang sesudahnya sehingga kami mempelajari pengamalan apa
yang diturunkan dalam 10 ayat ini.” (Ath-Thohawi w. 321H/ 933M,
Musykilul Atsar, juz 3 halaman 478).
Gerakan
dakwah kontemporer hendaknya mengambil faidah dari apa yang pernah dilakukan
oleh Rasulullah dan para sahabat tersebut: tarbiyah berkelanjutan!
Tarbiyah
dalam dakwah memiliki tujuan sebagai berikut:
Pertama, menanamkan gambaran Islam secara jelas (at-tashowwurul
islami al-wadhih).
Yakni
gambaran Islam yang menyeluruh (asy-syamil) dan benar (as-shahih).
Terlebih lagi di saat buhul-buhul Islam mulai terlepas seperti kondisi saat ini.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan kondisi
memprihatinkan ini dengan sabdanya,
“Benar-benar buhul-buhul Islam akan terlepas
satu demi satu. Setiap kali terlepas satu buhul, manusia berpegang kepada buhul
lainnya yang masih tersisa. Buhul yang pertama kali terlepas adalah hukum, dan
yang terakhir lepas adalah sholat.” (H.R. Ahmad)
Melalui
tarbiyah, gerakan dakwah harus menjelaskan kepada para kadernya secara khusus
dan kepada seluruh umat secara umum, bahwa tidak ada pemisahan antara
menegakkan hukum syariat (politik) dengan menegakkan shalat (ibadah ritual).
Melalui
tarbiyah, gerakan dakwah harus menjelaskan bahwa Islam itu mencakup seluruh
aspek kehidupan. Ustadz Hasan Al-Banna menjelaskan hal ini dengan kalimat
ringkas: “Islam adalah sistem yang syamil (menyeluruh) mencakup seluruh
aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral
dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu
pengetahuan dan hukum, material dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan,
jihad dan dakwah, serta pasukan dan pemikiran. Sebagaimana ia juga aqidah yang
murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih”
Jadi,
melalui tarbiyah gerakan dakwah bertujuan menanamkan pemahaman bahwa Islam
adalah way of life, pedoman hidup, atau minhajul hayah.
Kedua, membangun interaksi (at-tafa’ul).
Yakni
interaksi internal (ad-dakhiliy) dan interaksi eksternal (al-kharijiy).
Tarbiyah diharapkan dapat membuahkan interaksi (pengaruh) internal. Dengan
tarbiyah akan tertanam keyakinan (al-i’tiqad) yang menjadi dasar (al-asas)
tindakan; dengan tarbiyah pemikiran (al-fikr) akan terwarnai dengan
persepsi/gagasan (fikrah) yang lurus; dengan tarbiyah perasaan (asy-syu’ur)
akan terarahkan selera (ad-dzauq) nya kepada selera Islam. Jadi, melalui
interaksi tarbiyah akan terbentuklah kader-kader dakwah yang memiliki tekad
yang kuat (al-azmu).
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang
yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah
kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (Q.S. Al-Ahqaf: 35)
Melalui
tarbiyah diharapkan akan muncul rijal yang tabah dan sabar; tsabat (kokoh)
dan hazm (teguh).[2] Tarbiyah
diharapkan pula membuahkan interaksi (pengaruh) eksternal. Dengan tarbiyah,
karakter (simat) yang ada pada diri akan terbentuk menjadi sikap (al-mauqif)
yang terpuji; perilaku (as-suluk) nya akan terarah menjadi perbuatan (al-amal)
yang mulia. Jadi, melalui interaksi tarbiyah akan terbentuklah kader-kader
dakwah yang berkepribadian Islam (as-syakhshiyah al-islamiyah).
“Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik
shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.” (Q.S. Al-Baqarah: 138)
Dengan
interaksi tarbiyah, seorang kader dakwah akan tercelup dirinya dengan celupan
ajaran Islam.
Ketiga, menggulirkan pergerakan (al-harakah).
Melalui
sarana tarbiyah, gerakan dakwah dapat melakukan upaya peningkatan (at-tarqiyah)
penguasaan teoritis (an-nadzariyah) dan pengendalian mental (al-ma’nawiyah)
sehingga mampu meningkatkan kapasitas diri (raf’ul mustawa). Melalui
sarana tarbiyah, gerakan dakwah akan mampu melakukan mobilitas (at-tausi’ah)
dakwah. Melalui kader-kader yang tertarbiyah itulah gerakan dakwah akan mapu
melakukan maneuver (al-munawaroh), pengkaderan (bina-ur rijal),
dan penataan struktur (at-tandzimiyah).
Jadi,
melalui sarana tarbiyah, gerakan dakwah akan leluasa melakukan pengendalian
dakwah (saitharatud dakwah). Dengan tarbiyah, pergerakan dakwah akan
berjalan lebih produktif (muntijah).
Apa jadinya
jika gerakan dakwah tidak memiliki kader yang terbina atau tidak memiliki
generasi penerus perjuangan? Ketahuilah, gerakan dakwah sangat berhajat
terhadap eksisnya SDM yang berkualitas. Suatu hari Umar bin Khattab berkata
kepada orang ramai yang ada di sekitarnya, “Ungkapkan angan-angan
kalian!” Sebahagian dari mereka menyahut, “Aku berharap kalau
saja rumah ini penuh dengan emas, niscaya aku akan menginfakkannya di jalan
Allah.” Umar kemudian mengulangi perkataannya, “Ungkapkan
angan-angan kalian!” Seseorang berkata, “Aku berangan-angan
seandainya rumah ini dipenuhi dengan permata, intan dan mutiara, maka aku akan
menginfakkannya di jalan Allah dan aku akan bersedekah dengan harta itu.” Setelah
itu, Umar berkata lagi, “Ungkapkan angan-angan kalian!” Mereka
menjawab, “Kami tidak tahu apa lagi yang dapat kami ungkapkan, wahai
Amirul Mukminin.” Umar berkata, “Aku berangan-angan rumah ini
dipenuhi dengan orang seperti Abu Ubaidah bin Jarrah, Mu’adz bin Jabal, Salim
hamba Abu Hudzaifah, dan Hudzaifah bin Yaman.”[3]
Keempat, membekali pengalaman (at-tajribah).
Dengan
tarbiyah para kader dakwah diarahkan untuk melakukan berbagai pelaksanaan amal
(at-tathbiqiyah). Dengan begitu mereka akan merasakan secara langsung
berbagai macam problematika pelaksanaan amal (al-qadhaya at-tathbiqiyah).
Berbagai macam praktek di lapangan tersebut kemudian akan akan melahirkan
kekuatan pengalaman (quwwatul khibrah).
Gerakan
dakwah tidak akan memiliki keterampilan dan kemampuan melakukan penguasaan
masyarakat, jika kader-kadernya tidak diterjunkan ke tengah-tengah masyarakat;
gerakan dakwah tidak akan memiliki keterampilan dan kemampuan pengelolaan
proyek-proyek amal—pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dll—jika
kader-kadernya tidak diterjunkan dalam proyek-proyek amal tersebut.
Kelima, menumbuhkan tanggung jawab (al-mas’uliyah).
Dengan
tarbiyah yang berkelanjutan, seseorang akan menyadari tuntutan syar’i (as-syar’iyyah)
berdasarkan pemahamannya terhadap hukum-hukum Islam (fiqhul ahkam),
bahwa ia harus berkontribusi terhadap perjuangan dakwah. Ia pun menyadari bahwa
hal itu harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
Tarbiyah
juga akan menanamkan kesadaran tanggung jawab struktural (at-tandzimiyah)
berdasarkan pemahaman dakwah (fiqhud da’wah) yang dimilikinya, bahwa ia
harus bekerja bersama organisasi dakwah (al-jama’ah) dalam setiap
tuntutan tahapan dakwah (fi ihtiyajatil marhalah).
Keenam, mengembangkan kemampuan (al-kafa’ah).
Dengan
tarbiyah, kemampuan SDM dalam struktur dakwah (fit tandzim) akan tumbuh
berkembang. Baik berupa al-kafa’ah ad-da’wah (kemampuan
berdakwah), al-kafa’ah al-ilmiyah (kemampuan ilmiyah),
atau al-kafa’ah al-faniyyah (kemampuan keterampilan/skill).
Wallahu
a’lam…
CATATAN
KAKI:
[1] Dikutip dari: Arqam Bin Abi Arqam,Seorang Shahabat Yang
Istimewa, http://www.al-sofwah.or.id
[2] Lihat pengertian ulul azmi dalam Zubdatut Tafsir, hal. 506 (Darun
Nafais Yordania); Tafsir Jalalain, hal. 506 (Darut Taqwa Kairo), dan Al-Qur’an
& Tafsirnya Jilid IX, hal. 299 (Lentera Abadi Jakarta)
[3] Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW, hal. 542, oleh Mahmud al-Mashri.
Makna Ukhuwah Islamiyah.
• Menurut
Imam Hasan Al-Banna: Ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu
sama lain dengan ikatan aqidah.
Hakekat Ukhuwah
Islamiyah
1. Nikmat Allah (QS. 3: 103)
2. Perumpamaan tali tasbih (QS. 43: 67)
3. Merupakan arahan Rabbani (QS. 8: 63)
4. Merupakan cermin kekuatan iman (QS. 49: 10)
Perbedaan
Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah Jahiliyah
• Ukhuwah Islamiyah bersifat abadi dan universal karena berdasarkan aqidah dan
syariat Islam. Ukhuwah Jahiliyah bersifat temporer (terbatas pada waktu dan
tempat), yaitu ikatan selain ikatan aqidah (misal: ikatan keturunan [orang
tua-anak], perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan
pribadi).
Hal-hal yang
menguatkan Ukhuwah Islamiyah:
1. Memberitahukan kecintaan pada yang kita cintai
2. Memohon dido’akan bila berpisah
3. Menunjukkan kegembiraan & senyuman bila berjumpa
4. Berjabat tangan bila berjumpa (kecuali non muhrim)
5. Mengucapkan selamat berkenaan dengan saat-saat keberhasilan
6. Memberikan hadiah pada waktu-waktu tertentu
7. Sering bersilaturahmi (mengunjungi saudara)
8. Memperhatikan saudaranya & membantu keperluannya
9. Memenuhi hak ukhuwah saudaranya
Buah Ukhuwah Islamiyah
1. Merasakan
lezatnya iman
2. Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan
yang dilindungi)
3. Mendapatkan tempat khusus di syurga (15:45-48)
Referensi
• Bercinta dan bersaudara karena Allah, Ust. Husni Adham Jarror, GIP
• Meraih Nikmatnya Iman, Abdullah Nasih ‘Ulwan
• Rahasia Sukses Ikhwan Membina Persaudaraan di Jalan Allah, Asadudin Press
• Panduan Aktivis Harokah, Al-Ummah
Definisi Al-Qur’an
• Secara
bahasa berarti “bacaan”.
• Secara istilah berarti “Kalam Allah SWT yang merupakan mu’jizat yang
diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW dan membacanya merupakan ibadah”
Nama-nama
Al-Qur’an
• Al-Qur’an/ Bacaan [17:9] .
• Al-Kitab/ Buku [21:10].
• Al-Furqon/ Pembeda [25:1]
• Adz-Dzikr/ Pengingat [15:9].
• An-Nur/ Cahaya [4:174]
Karakteristik Al-Qur’ an
• Diturunkan bukan untuk menyusahkan manusia [ 20:2].
• Bacaan yang teramat mulia dan terpelihara [56: 77-78] .
• Tidak seorang pun yang dapat menandingi keindahan dan keagungan Al-Qur’an
[2:23, 17:88] .
• Tersusun secara terperinci dan rapi [11:1] .
• Mudah difahami dan diambil pelajaran [54: 17, 34, dst]
Fungsi Al-Qur’an
• Pengganti
kedudukan kitab suci sebelumnya yang pernah diturunkan Allah SWT
• Tuntunan serta hukum untuk menempuh kehidupan
• Menjelaskan masalah-masalah yang pernah diperselisihkan oleh umat terdahulu
• Sebagai mukjizat Rasulullah SAW
AkhIak
Terpuji Terhadap Al-Qur’an
• Membaca ta’awudz sebelum membaca Al-Qur’an [16:98] .
• Membaca Al-Qur’an secara tartil perlahan-lahan [73:4] .
• Lapang dada menerima Al-Qur’an [7:2]
• Mendengarkan baik-baik pembacaan Al-Qur’an [7:204] .
• Bergetar hatinya dan bertambah imannya [8:2-4]
Akhlak
tercela terhadap Al-Qur’an .
• Keunggulan Al-Qur’an
• Menyombongkan diri dan berpaling [31:7] .
• Menertawakan peringatan ini [53:59-62] .
• Tidak memperahatikan Al-Qur’an [47:24]
Keunggulan Al-Qur’an .
• Al-Qur’an
adalah mukjizat yang abadi [4:74].
Allah menghendaki agar Al-Qur’an berlaku umum (mencakup permasalahan) dan
bersifat universal. Maka, disusun dan dikumpulkan Al-Qur’an itu dengan
sistematika yang memperlihatkan universalitas dan kekekalannya dan dijauhkan
dari susunan yang bersifat temporer, yang hanya memperlihatkan urgensi pada
suatu masa saja, yaitu ketika turunnya.
• Keunggulan
Al-Qur’an secara ilmiah
Pemikiran modern dalam berbagai bidang disiplin ilmu dewasa ini telah
menetapkan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab ilmiah yang menghimpun segala
disiplin ilmu dan filsafat. Ilmu itu datang dari Allah SWT, sebagai tanda
kemuliaanNya dan ketinggian ilmu-Nya.[96:1-5] .
• Jaminan
kemurnian Al-Qur’an.
Allah sendiri yang menjamin kemurnian Al-Qur’an [6:115, 15:9] .
• Al-Qur’an
bersifat umum dan universal.
Umum :
Mencakup seluruh bidang/permasalahan manusia. [6:38]
Universal : Berlaku selamanya dan untuk seluruh kaum. [25:1]
Referensi
• Paket BP NF ‘Keunggulan Al-Qur’an’
• Ibnu Qoyim, Mahabatullah, (Bab I)
• Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Quran , hal 18
Al Qur’an Yang Mulia
Tujuan :
1. Memahami keutamaan membaca Al Qur’an dan adab-adab terhadapnya.
2. Termotivasi untuk membaca dengan baik, mempelajari dan mengamalkannya
I. Pendahuluan
Al Qur’an adalah pedoman hidup setiap muslim. Di dalamnya berisi panduan aturan
hidup dan kehidupan antara manusia dengan Tuhan, alam, masyarakat dan dirinya
sendiri. Bila seseorang mendekati sumber hidayah ini Insya Allah akan tersentuh
dengan petunjukNya dan bila tidak mendekat-Nya akan jauh dari hidayah-Nya.
Bagi setiap muslim berinteraksi dengan Al Qur’an menjadi suatu kebutuhan
untuk menyemarakkan cahaya Islam dalam kehidupannya. Dalam berinteraksi dengan
Al Qur’an dibutuhkan kebersihan hati dan diri dari cinta dunia. Dengan demikian
akan terbentuk motivasi yang kuat untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan
Al Qur’an.
Mu’min yang berinteraksi secara baik dengan Al Qur’an akan mendapat posisi yang
baik di sisi Allah. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda “Perumpamaan
mu’min yang membaca Al Qur’an ibarat buah utrujah (sejenis limau), baunya harum
dan rasanya lezat. Orang mu’min yang tidak membaca Al Quran ibarat buah kurma,
tidak berbau tapi manis rasanya. Orang munafik yang membaca Al Qur’an ibarat
buah raihanah, baunya sedap dan rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak
membaca Al Qur’an ibarat buah petola, tidak berbau dan rasanya pahit”. (HR.
Bukhari, Muslim).
Dalam lintasan sejarah, terukir prestasi gemilang yang dicapai oleh jiwa-jiwa
Qur’ani yang dimiliki para sahabat (generasi pertama). Sebagai contoh Abdullah
bin Ummi Maktum dengan keterbatasan penglihatan karena buta namun ia mampu
berjihad dan komitmen terhadap shalat jama’ah. Amr bin Al Jumuh walaupun
kakinya pincang semangat jihadnya yang tinggi ditampilkan dalam perang Uhud.
Utsman bin Affan dengan semangat kedermawanan yang tinggi dan masih banyak
lagi.
Itulah Al Qur’an tadabburnya mampu memberi kekuatan kepada orang yang lemah,
mengingatkan pada orang yang lupa, memberi semangat pada orang yang malas dan
memberi inspirasi kepada orang yang ingin maju hidupnya.
Untuk dapat menghasilkan tadabbur yang benar, seorang mu’min membutuhkan 5
syarat yaitu sebagai berikut:
1. Memiliki aqidah yang benar (shahihul Aqidah)
2. Bersih hati (salamatul qolb)
3. Memahami bahasa arab
4. Memahami Tafsir bil Ma’tsur
5. Memiliki komitmen yang kuat terhadap ajaran Islam
Ketika seorang mu’min sudah memilki kriteria di atas maka Insya Allah akan
merasakan bagaimana Al Qur’an memerankan fungsi utamanya yaitu mendidik dan
membina jiwa-jiwa manusia agar menjadi hamba Allah yang sebenar-benarnya.
II. Pengertian Al Qur’an
Sebagai
pedoman hidup Al Qur’an adalah kalam Allah yang merupakan mu’jizat diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW disampaikan kepada manusia secara mutawatir (bertahap)
dan membacanya merupakan ibadah.
Al Qur’an adalah firman Allah yang berisikan petunjuk dan syari’at bagi manusia
agar mendapat jalan yang benar. Al Qur’an diturunkan ke hati Rasulullah SAW dan
terpelihara keasliannya hingga akhir jaman.
Dalam Al Qur’an Surat An Najm (53) : 4, Allah SWT telah memberi tahu
kepada kita bahwa Al Qur’an itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mu’jizat, Al Qur’an membuktikan bahwa Al
Qur’an adalah kalamullah bukan buatan manusia. Mu’jizat ini diakui oleh para
cendekiawan masa lalu dan juga sekarang. Al Qur’an menjadi rujukan utama bagi
berbagai disiplin ilmu. Selain itu berbagai kabar ghaib tentang masa lampau
seperti kisah kaum ‘Ad hingga masa yang akan datang yaitu datangnya kiamat
terangkum dalam Al Qur’an. Dari segi kebahasaan, rangkaian kata dan susunan
kalimat yang ada dalam Al Qur’an menunjukkan bahwa manusia tidak akan mampu
menandinginya apalagi membuatnya, bahkan manusia ditantang oleh Allah untuk
membuat tandingan Al Qur’an ( Al Baqarah (2) : 23 ).
Berbeda dengan aktivitas membaca buku lainnya, membaca/tilawah Al Qur’an
menjadi ibadah. setiap membaca Al Qur’an maka pahala terus mengalir karena
tilawah Al Qur’an adalah ibadah. Dalam sebuah hadits riwayat Abu Umamah Al
Bahili, Rasulullah bersabda: “Bacalah Al Qur’an, sesungguhnya ia akan datang
pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada pembaca”. (HR. Muslim).
III. Nama-nama Al Qur’an
Al Qur’an memiliki nama-nama lain antara lain:
1. Al kitab (Kitab), QS. Al Baqarah (2) : 2
2. Al Huda (Petunjuk), QS. Al Baqarah (2) : 2, 185
3. Al Furqan (Pembeda), QS. Al Furqaan (25) : 1
4. Ar Rahmah (Rahmat), QS. Al Israa’ (17) : 82
5. Asy Syifa (Obat), QS. Yunus (10) : 67
6. Ruh, QS. Al Mu’min (40) : 15
7. Al Haq (Kebenaran), QS. Al Baqarah (2) : 147
8. Al Bayan (Penerang), QS. Ali Imron (3) : 138
9. Al Mauidzoh (Pengajaran), QS. Al Qamar (54) : 17
10. Adz Dzikru (Peringatan ), QS. Al Hijr (15) : 9
11. Busyro (Berita Gembira), QS. An Nahl (16) : 89
IV. Kedudukan Al Qur’an
1. Kitabul
Naba wal akhbar (Berita dan Kabar), QS. An Naba’ (78) : 1-2
2. Kitabul Hukmi wa syariat (Kitab Hukum Syariah),
QS. Al Maidah (5) : 49-50
3. Kitabul Jihad, QS. Al Ankabut (29) : 69
4. Kitabul Tarbiyah, QS. Ali Imran (3) : 79
5. Minhajul Hayah (Pedoman Hidup), QS. Al Qashash (28) : 50
6. Kitabul Ilmi, QS. Al Alaq (96) : 1-5
V. Tuntutan Iman kepada Al
Qur’an
1. Al
Unsubihi (akrab dengan Al Qur’an) melalui dua cara, yaitu mempelajarinya
(ta’alumuhu), mengajarkannya (taklimuhi)
Agar dapat akrab dengan Al Qur’an, hal yang harus dilakukan adalah
sebagai berikut:
a. Membacanya (tilawah)
Ada sepuluh amalan dalam tilawah, antara lain:
• Memahami keagungan dan ketinggian firman Allah
• Mengagungkan Allah
• Kehadiran hati (khusyu’)
• Tadabbur
• Tafahum (memahami secara mendalam)
• Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman Takhshish
(menyadari bahwa diri merupakan sasaran yang dituju Al Qur’an)
• Taatsur (mengimbas ke dalam hati)
• Taraqqi (meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mengajarkan kalam
dari Allah)
• Tabarriy (memandang kepada dirinya dengan pandangan ridha
dan tazkiyah)
b. Fahman (Memahami dan mentadabburi isinya), QS. Muhammad (47) : 24
c. Tatbiqon (mengamalkan)
d. Hafidzon (menghapal dan memeliharanya)
2. Tarbiyatu Nafsi Bihi (Mentarbiyah diri dengan Al Qur’an),
QS. Ali Imran (3) : 39
3. Taslim Wa Ahkamihi (Menerima dan tunduk kepada hukum),
QS. Al Ahzab (33) : 36
4. Da’watu ilallah (Menyeru orang kepada-Nya),
QS. An Nahl (16) : 125
5. Iqomatuhu Fil Ardhi (Menegakkan Al Qur’an di muka bumi),
QS. Asy Syuura (42):13
VI. Akhlaq Terpuji Terhadap Al
Qur’an
1. Membaca
Ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an,
QS. An Nahl (16) : 98
2. Membaca Al Qur’an secara tartil/perlahan-lahan,
QS. Al Muzzammil (73) : 4
3. Lapang dada menerima Al Qur’an, QS. Al A’raf (7) : 2
4. Mendengarkan baik-baik bacaan Al qur’an, QS. Al Anfal (8) : 2-4
VII. Akhlaq Tercela Terhadap Al
Qur’an
Mentertawakan peringatan (tidak mengindahkan) Al Qur’an,
QS. Adh Dhuhaa (93) : 59-62
VIII. Bahaya Melupakan Al Qur’an
1. Kesesatan yang nyata, QS. An Nisa (4) : 60
2. Sempit dada, QS. Al An’am (6) : 125
3. Kehidupan yang serba sulit, QS. Thaahaa (20) : 124
4. Mata hati yang buta, QS. Al Hajj (22) : 46
5. Hati menjadi keras, QS. Al Hadiid (57) : 16
6. Zalim dan hina, QS. As Sajdah (32) : 22
7. Bersahabat dengan syaithan, QS. Az Zukhruf (43) : 36
8. Lupa pada diri sendiri, QS. Al Hasyr (59) : 19
9. Fasiq, QS. Ar Ra’d (13) : 19-20
10. Nifaq, QS. An Nur (24) : 49-50
IX. Syarat agar dapat mengambil
manfaat dari Al Qur’an
1. Bersikap sopan (niat yang baik, hati dan jasad bersih)
2. Baik dalam talaqqi (membaca Al Qur’an secara tertib)
3. Berorientasi kepada tujuan yang asasi dari Al Qur’an
4. Mengikuti cara interaksi sahabat dengan Al Qur’an
Referensi : 1. Ma’rifatul Qur’an, DR. Irwan Prayitno
2. Tadzkiyatun Nafs, Said Hawwa
3. Keunggulan Al Qur’an, Paket BP Nurul Fikri
4. Mahabatullah, Ibnu Qoyyim
5. Studi Ilmu Qur’an, Manna Kalil al Qathan
I. Pendahuluan
Kesombongan
adalah sifat yang muncul seiring dengan keberadaan manusia pertama yang
diciptakan oleh Allah SWT. Sifat ini sudah berusia ratusan bahkan ribuan tahun
sebelum kita lahir. Namun penyakit ini hingga kini terus melanda manusia.
Sombong adalah sifat yang dibenci oleh manusia dan juga Allah. Sombong termasuk
dalam kategori penyakit yang tumbuh dalam jiwa manusia, jin dan syaithan. Kisah
pertama munculnya sombong adalah berawal dari syaithan yang merasa lebih tinggi
dari manusia. Ketika ia diperintahkan oleh Allah untuk sujud kepada Adam as.
sebagai tanda penghormatan, syaithan menolaknya karena ia merasa lebih baik
dari Adam ‘alaihis salam.
Kesombongan
keseluruhannya adalah sifat yang tercela. Yang berhak menyandang kesombongan
adalah Allah SWT, karena Dia-lah yang memiliki segalanya. Kesombongan berakibat
kesengsaraan, tidak ada manfaat sama sekali bagi manusia yang mempunyai sifat
ini. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Mu’minun (23) : 56, “Tidak ada dalam dada
mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kesombongan yang mereka sekali-kali
tiada akan mencapainya.”
II. Hakikat Kesombongan
Kesombongan
pada dasarnya adalah perangai yang ada dalam jiwa yaitu kepuasan dan
kecenderungan kepada penglihatan atas orang yang disombonginya. Kesombongan
menuntut adanya pihak yang disombongi dan hal yang dipakai untuk sombong. Pada
saat ia merasa memiliki kesempurnaan dibandingkan dengan orang lain hingga
dalam hatinya timbul anggapan, kepuasan, kesenangan dan kecenderungan terhadap
keyakinan tersebut maka ia telah takabur. Perangai kesombongan meliputi
perasaan merasa benar, seolah manusia memandangnya dalam pandangan keyakinan
dirinya bahwa ia besar, sempurna atau terbaik.
Bila
keyakinan ini dilanjutakn dengan perbuatan secara zhahir dengan meremehkan
orang lain maka ini disebut takabur. Ia sudah merasa besar, lebih baik dan
merendahkan orang lain, menjauh dan tidak mau duduk bersama dengan yang bukan
yang sebanding dengannya.
III. Keburukan yang ditimbulkan
dari kesombongan
1. Kesombongan
menjadi penghalang masuk syurga
Kesombongan
menghalangi semua akhlaq yang seharusnya disandang oleh orang mu’min, sedang
akhlaq-akhlaq itu merupakan pintu-pintu syurga dan kesombongan merupakan
penutupnya. Ia tidak bisa mencintai kaum muslimin karena ia lebih mencintai
dirinya sendiri dan ia merasa dirinya yang lebih baik sehingga bagaimana
mungkin orang lain dapat masuk dalam hatinya. Ia juga tidak dapat terbebas dari
melecehkan orang lain karena ia merasa lebih baik dari orang lain.
Hadits: “Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan sebesar dzarrah.” (HR. Bukhari)
2. Kesombongan
berakibat buruk bagi dirinya di dunia dan juga di akhirat
Sifat
sombong yang bersemayam dihatinya akan mengakibatkan sikap merasa dirinya lebih
baik dari orang lain. Dialah yang memiliki banyak ilmu, paling alim, banyak
harta, paling pintar, paling kaya dan sebagainya. Dengan sikap seperti itu maka
manusia akan menjauhinya, mereka tidak akan senang bersama orang yang sombong,
mereka juga tidak akan sudi menolong orang yang sombong. Di akhirat orang
tersebut juga akan mendapat cela tidak hanya dari malaikat namun juga akan
dimasukkan ke dalam neraka oleh Allah SWT dan mereka juga akan dipersalahkan
oleh pengikutnya. (QS. Az Zumar (39) : 72, Maryam (16) : 69).
IV. Tingkatan kesombongan dan
pihak yang disombonginya
1. Sombong
kepada Allah SWT
Ini adalah
kesombongan yang paling keji. Penyebabnya adalah kebodohan dan pembangkangan. Kisah
Fir’aun menjadi saksinya.
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku, mereka akan
masuk neraka Jahanam dengan hina dina.”
2. Sombong
kepada para rasul
Kesombongan
ini akibat dari keengganan jiwa untuk mematuhi manusia yang seperti mereka
(rasul). (QS. Al Mu’minun (23) : 47, Yasin (36) : 15,
Al Furqan (25) : 21)
3. Kesombongan
terhadap para hamba
Kesombongan
ini muncul sebagai akibat merasa dirinya paling terhormat, lebih baik dan
melecehkan orang lain sehingga tidak mau patuh kepada mereka, meremehkan mereka
dan tidak mau sejajar dengan mereka. Sifat ini tidak layak dimiliki manusia,
karena yang berhak memiliki sifat ini adalah Allah SWT.
Dalil Hadits
qudsi: “Kebesaran adalah kain sarung-Ku dan kesombongan adalah selendang-Ku.
Barang siapa yang melawan Aku pada keduanya niscaya Aku akan menghancurkannya.”
V. Penyebab Kesombongan
1. Ilmu
Pengetahuan ; Ilmu pengetahuan dapat menjangkiti para ulama (para intelektual)
karena dengan ilmunya ia merasa tinggi dan orang lain tidak mampu menyainginya.
2. Amal dan Ibadah ; Orang ahli ibadah dan zuhud tidak dapat juga terlepas
dari nistanya kesombongan ini. Kesombongan itu menyelinap ke dalam diri mereka,
baik menyangkut urusan agama maupun dunia.
Dalil Hadits: “Cukuplah seseorang dinilai telah melakukan kejahatan bila ia
merendahkan saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
3. Nasab/Keturunan ; Orang yang memiliki nasab mulia akan menganggap orang
lain hina.
Dalil Hadits: “Hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan terhadap nenek
moyang mereka yang telah menjadi batu bara di neraka jahanam atau (jika tidak)
mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah dari kumbang yang hidungnya
mengeluarkan kotoran.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
4. Harta Kekayaan ; Hal ini terjadi pada hartawan dan raja-raja yang
membanggakan harta kekayaannya. (QS. Qashash (28) :79)
5. Kecantikan dan Ketampanan
6. Kekuatan dan Keperkasaan
7. Pengikut, pendukung, murid, pembantu keluarga, kerabat dan anak ; Hal
ini dapat terjadi bagi para pemimpin baik negarawan, raja, pemuka ataupun ulama
yang bersaing memperbanyak anggotanya.
VI. Cara Mengobati Kesombongan
Cara
mengobati kesombongan dengan mengikis habis sampai ke akar-akarnya dan mencabut
pohonnya dari tempat tanamannya yang bersemayam di dalam hati, yaitu:
1. Pengobatan
melalui ilmu (‘ilaj ilmi)
Yaitu melalui pengenalan diri pada Tuhannya. Apabila ia telah mengenal dirinya
dengan benar maka ia akan mengetahui bahwa ia hanyalah salah satu dari
makhluk-Nya dan seorang hamba yang memiliki keterbatasan dan kekurangan. Dengan
demikian ia akan menyadari bahwa ia sama sekali tidak berhak menyandang
kesombongan. Jika dibandingkan dengan Allah SWT, ia tidak mempunyai sesuatu
apapun yang bisa disombongkan.
2. Pengobatan
secara perbuatan (‘ilaj Amali)
Yaitu melalui sikap tawadhu. Ia bersikap tawadhu kepada Allah SWT dengan amal
ibadahnya dan kepada makhluk-Nya dengan senantiasa menjaga akhlaq seperti
orang-orang yang tawadhu seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah dan para
sahabat.
Referensi :
1. Tazkiyatun
Nafs, Said Hawwa
2. Terapi mental aktivis Da’wah, Fathi Yakan
I. Karakteristik Waktu
Waktu adalah
milik manusia yang paling berharga. Oleh karena itu pergunakan waktu sebaik
mungkin, karena waktu apabila telah lewat tidak akan dapat diharapkan kembali
lagi. Berbeda dengan suatu benda yang telah hilang, masih mungkin ditemukan
kembali (QS. An Naazi’aat (79) : 46).
Manusia yang
berakal, menghadapi waktunya bagaikan orang yang kikir menghadapi harta
bendanya yang mahal. Ia tidak akan menyia-nyiakan sekejap pun terhadap sesuatu
yang sedikit, apalagi yang banyak. Ia selalu menghitung setiap uang yang keluar
harus mendapat imbalan yang wajar. Ia juga selalu berusaha menempatkan sesuatu
pada tempat yang layak. Begitulah orang yang mempergunakan uang dan demikian
pula seharusnya kita mempergunakan waktu.
Sebagai
muslim yang baik, hendaknya kita sadar bahwa waktu itu sebagai sesuatu yang
berharga, karena waktu adalah umurnya. Perjalanan hidup manusia melaju dengan
cepat menuju kepada Allah SWT. Sedangkan setiap kemajuan yang keluar pada suatu
pagi, tidak lain merupakan satu fase dari fase-fase perjalanan yang tidak
terhenti sampai disini saja, melainkan untuk selamanya. Dan orang-orang yang
berakal dapat mengetahui kebenaran itu. Oleh karena itu, hendaknya kita
betul-betul mengetahui dengan jelas apa yang sudah kita kerjakan pada waktu
yang lalu dan apa yang wajib kita kerjakan untuk masa yang akan datang.
Hendaknya kita selalu mengadakan perhitungan untung rugi dari apa yang telah
kita kerjakan, apabila ternyata kita mendapat kerugian dari amal-amal kita,
maka hendaknya kita tutup dengan memperbanyak amal-amal kebajikan untuk masa
datang dan apabila kita memperoleh keuntungan dari amal-amal kita, maka lebih
ditingkatkan lagi agar kita memperoleh bekal lebih banyak lagi untuk kehidupan
kita kelak, baik di dunia maupun di akhirat.
II. Mensyukuri Nikmat Umur
Di antara
sekian banyak nikmat Allah yang kita pakai dan kita pergunakan setiap hari,
maka yang sangat kita rasakan adalah nikmat umur yang kita pakai sekarang ini.
Umur yang kita pakai sekarang ini adalah salah satu nikmat Allah yang mahal
harganya dan paling tinggi nilainya. Kalau Allah SWT telah memanjangkan umur
kita sekarang ini, maka sudah sepantasnya sebagai terima kasih kita, sebaiknya
kita gunakan untuk mengabdi kepada Allah dalam arti yang sebenarnya-benarnya,
mengabdi untuk berbuat baik kepada masyarakat sebanyak mungkin, disamping
mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya serta
bersedia menegakkan hukum-hukum Allah dengan patuh dan tunduk.
Umur yang kita pakai sekarang ini akan kita pertanggungjawabkan kepada Allah
nantinya, untuk apa umur kita habiskan. Pada waktu itu tidak dapat berdusta
sedikitpun, sebab seluruh anggota badan kita menjadi saksi tentang apa dan
untuk apa dipergunakan umur yang sekian puluh tahun dipakai.
Sabda Nabi
Muhammad SAW : “Belum lagi hilang jejak telapak kaki seorang hamba pada hari
kiamat, sehingga kepadanya telah diajukan empat pertanyaan :
1. Dari hal umurnya, kemana dihabiskan
2. Dari hal tubuhnya, untuk apa dipakainya
3. Dari hal ilmunya, apa yang sudah diamalkannya dengan ilmunya
4. Dari hal harta, dari mana diperolehnya dan untuk apa dibelanjakannya”
(HR. Turmudzi)
Bagi manusia
yang beriman kepada Allah, pasti mempercayai bahwa suatu saat yang telah
ditentukan umurnya akan bercerai dengan badannya bila ajalnya telah datang dan
dia berpulang ke rahmatullah untuk mempertanggungjawabkan umurnya kepada Allah.
Bila kepercayaan itu sudah tumbuh dan sudah menjadi keyakinan yang kuat,
tentunya setiap orang akan berhati-hati terhadap sisa umurnya, sebelum datang
ajalnya untuk mencapai husnul khotimah, yaitu penghabisan umur yang baik.
Oleh karena
itu, kita sama-sama ingat pada pesan Nabi Muhammad SAW mengenai penggunaan
segala kesempatan dalam hidup ini sebagaimana dikemukakan sebagai berikut,
“Pergunakanlah lima hal sebelum datangnya lima hal:
1. Pergunakanlah sehatmu sebelum datang sakitmu
2. Pergunakanlah lapangmu sebelum datang kesempitanmu
3. Pergunakanlah mudamu sebelum datang tuamu
4. Pergunakanlah kayamu sebelum datang kemiskinanmu
5. Pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu.”
(HR. Bukhari)
III. Akibat Tidak Memanfaatkan
Waktu
1. Kekosongan
Akal
Akal
merupakan mutiara terbesar yang dmiliki manusia. Manusia tanpa memfungsikan
akal untuk mengenal Rabbnya, maka nilainya tidak ubahnya seperti binatang (QS.
Al Anfaal (8) : 22). Karenanya kita harus menyadari pentingnya pengisian akal dengan
sesuatu yang bermanfaat yaitu tadabbur (memperhatikan) Allah SWT dengan
kewajiban yang harus dipenuhi, serta tafakur (memikirkan) makhluk-makhluk
ciptaan-Nya (QS. An Nahl (16) : 12)
2. Kekosongan
Hati
Hati laksana
bejana tempat bersemayamnya iman dan juga hawa nafsu (QS. Al Hujuraat (49) :
7). Hendaklah mewaspadai penyakit-penyakit hati yang akan menjerumuskan dirinya
pada kehancuran, diantaranya adalah dengki, dendam dan benci kepada sesama
manusia, takabur, sombong, hasad, iri hati dan sebagainya. Hendaklah memberi
makan hati dengan banyak mengingat Allah SWT melalui mendengar dan membaca Al
Qur’an serta memperbanyak do’a.
Letaknya
hati ada di dalam jiwa, apabila tidak disibukkan dengan aktivitas positif, maka
ia akan menyibukkan kita dengan aktivitas kebatilan. Menyibukkan jiwa dengan
kebaikan adalah ialah menyucikan, mendidik dan menarik tali kekangnya dari yang
batil (QS. Asy Syam (91) : 9-10). Jiwa yang kosong dari sikap serius dan sikap
penuh kesucian, akan menyebabkan senantiasa menyelimutinya, mengalami
kegersangan dan dekadensi moral. Demikianlah keberadaan jiwa yang kosong. Tidak
bersua, tidak bekerja, tidak beriman dan tidak beragama. Obsesinya
(cita-citanya) hanya berbuat dan bermain di dunia ini dengan perbuatan yang
sia-sia, yang nantinya akan diikuti oleh kekecewaan dan penyesalan kelak di
akhirat (QS. Az Zumar (39) : 56)
IV. Kewajiban Muslim Terhadap
Waktu
1. Menjaga
dan memanfaatkan waktu
2. Tidak menyia-nyiakan waktu
3. Mengisi kekosongan dengan perbuatan yang mendatangkan kebaikan
4. Berlomba-lomba dalam kebaikan (QS. Al Baqarah (2) : 148)
5. Belajar dari perjalanan hari demi hari (QS. An Nuur (24) ; 44)
6. Mengatur waktu
7. Bagi tiap waktu ada aktivitas tertentu
8. Memilih waktu-waktu yang istimewa
Referensi :
1. Waktu Dalam Kehidupan Seorang Muslim, DR. Yusuf Qordhowi
2. Akhlaq Seorang Muslim, Drs. H. Moh. Rifa’i
I. Pendahuluan
Hal yang
paling menyakitkan bagi kebanyakan orang adalah kematian. Bila diceritakan
tentang kematian seolah-olah berakhirlah segalanya. Musnah sudah semua yang
sudah dirintis dan diusahakannya. Berakhir sudah episode kehidupannya. Berhenti
kisah hidupnya. Tak ada lagi yang dapat dilakukan, hanya tinggal mengenang
dirinya.
Bagi seorang muslim kematian merupakan bagian dari episode kehidupan yang masih
ada kelanjutannya. Tidak berhenti di pintu gerbang kematian saja. Kehidupan di
dunia adalah ladang bagi kehidupan selanjutnya, di mana kehidupan tersebut
adalah kekal abadi. Oleh karena itu bagi seorang muslim, kematian adalah pintu
gerbang yang mengarahkan seseorang menuju keadaan dimana ia akan mendapat
balasan atas segala perbuatannya. balasan itu berujung pada dua cabang, yaitu
kebahagiaan yang abadi atau kesengsaraan yang tak berkesudahan.
Setiap
muslim diajarkan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Dengan demikian setiap
muslim diperintahkan untuk mempersiapkan diri mencari bekal sebanyak-banyaknya
agar mudah dihisab nanti. Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang cerdas adalah
orang yang mengendalikan diri dan bekerja untuk kehidupan setelah kematian.”
(HR. Tirmidzi)
Dzikrul maut
pada dasarnya melatih jiwa untuk terus mengenal dan merasa diawasi oleh Allah
SWT. Peristiwa kematian baginya bukan sesuatu yang menakutkan, bukan juga
merupakan keberakhiran hidup seseorang tanpa mendapat balasan. Baginya
peristiwa kematian merupakan pertemuan hamba dengan penciptanya. Agar ia dapat
bertemu dengan penciptanya dalam kebahagiaan maka ia perlu menyiapkan
sebaik-baiknya bekal. Dengan persiapan inilah diharapkan kelak bila saatnya
tiba ia akan menghadap Rabbnya dengan keridhaan dari Rabbnya sehingga bahagia
di sisi Allah selamanya.
II. Keutamaan Dzikrul Maut
1. Dzikrul
maut menghindarkan diri dari kampung tipu daya dan menggiatkan persiapan untuk
kampung akhirat.
Dalil Hadits : “Hadiah orang mu’min adalah kematian” (HR. Abu Dunya, Thabrani
dan Al Hakim secara mursal dengan sanad hasan)
2. Dzikrul maut membongkar berbagai keburukan dunia sehingga menyadarkan
manusia bahwa dunia hanyalah perhiasan yang semu tak akan kekal abadi. Dalil
Hadits : “Tinggal di dunia ibarat musafir yang sedang istirahat sejenak di
bawah pohon untuk kemudian pergi melanjutkan perjalanan.”
3. Dengan dzikrul maut segala kesusahan dan penderitaan dunia menjadi
ringan baginya.
4. Dzikrul maut melembutkan hati dan menajamkan bashiroh. Dengan dzikrul
maut setiap insan akan merasa perlu untuk memperbaiki dirinya dan terus
mengupayakan amal sholeh sebanyak-banyaknya sehingga ia akan berhati-hati dan
lebih menghargai orang lain karena baginya tidak ada yang abadi di dunia ini
dan setiap orang berpotensi lebih baik dari dirinya, jadi ia tidak tertipu
dengan kesenangan dan kebahagiaan semu.
III. Cara Menghidupkan Dzikrul
Maut
Maut adalah
janji Allah yang pasti sedangkan kehadirannya dapat kapan saja. Oleh karena itu
kita sebaiknya selalu mengingatkan diri pada kemungkinan bahwa setiap saat maut
dapat hadir menemui kita.
Untuk
menghadapi maut yang akan datang kapan saja, sebaiknya setiap kita menyiapkan
diri. Sebagai contoh, perbedaan orang yang bersegera menyiapkan diri dan orang
yang menunda-nunda adalah ibarat menunggu tamu yang akan berkunjung sehari lagi
dengan menunggu tamu yang sepekan lagi akan berkunjung. Persiapan kita tentu
akan berbeda. Bila kita mengetahui tamu yang akan datang sehari lagi, kita akan
merapikan kondisi rumah dengan segera, untuk menyambut tamu tersebut, sedangkan
bila tamu akan datang sepekan lagi, kita tidak terburu-buru untuk merapikan
rumah tersebut karena kita berpikir masih memiliki waktu yang luang untuk
menyiapkannya.
Rasulullah
SAW bersabda : “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: Masa mudamu
sebelum masa tuamu; Masa sehatmu sebelum masa sakitmu; Masa kayamu sebelum masa
kemiskinanmu; Masa luangmu sebelum masa sibukmu; Masa hidupmu sebelum masa
kematianmu.” (HR. Abu Dunya dengan sanad hasan) dan dalam riwayat yang lain :
“Dua nikmat yang disia-siakan oleh banyak orang ialah kesehatan dan waktu
luang.” (HR. Bukhari)
Referensi :
1. Intisari Ihya Ulumuddin, Al Ghazali
2. Mensucikan Jiwa, Said Hawwa
Ad-dien menurut Al-Qur’an
• Dienullah,
DienuI Islam [48:28, 61:9] Dienullah dibawa oleh semua Rosul dan nabi untuk keselamatan
manusia. Disebut juga dengan dienul haq (dienus samaawi).
• Dienul ghoiru dienullah, bukan dari Allah. Jumlahnya lebih dari satu (QS.
48;28) hasil rekayasa pikiran manusia, biasa disebut agama budaya (dienul
ardli)
Ciri-ciri dienullah/dienus-Samaawi
• Bukan
tumbuh dari masyarakat, tapi diturunkan untuk masyarakat. Disampaikan oleh
manusia pilihan Allah (utusan-Nya), utusan itu hanya menyampaikan bukan
menciptakan.
• Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
• Konsep tentang Tuhannya adalah Tauhid.
• Pokok-pokok ajarannya tidak pernah berubah dengan perubahan masyarakat
penganutnya.
• Kebenarannya universal dan sesuai dengan fitrah manusia
Ciri-ciri dienul ardli :
• Tumbuh
dalam masyarakat.
• Tidak disampaikan oleh Rosul Allah.
• Umumnya tidak memilki kitab suci, walaupun ada sudah mengalami
perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarah.
• Konsep Tuhannya dinamisme, animisme, politheisme, dll.
• Ajarannya dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakat penganutnya .
• Kebenaran ajarannya tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi segenap
manusia, masa dan keadaan.
Pengertian Islam secara Ethimologi/
Bahasa :
• Tunduk
patuh, berserah diri (al-istislaam) [3:83].
• Damai (as-silm) .
• Bersih (as-saliim)
• Aturan Illahi yang diberikan kepada manusia yang berakal sehat untuk
kebahagiaan hidup mereka di dunia dan akhirat.
• Ajaran lslam :
– Sesuai
fitrah manusia QS. 30;10 Kepentingan seluruh manusia QS 34;28
– Rahmat seluruh alam QS 21;107
– Untuk meningkatkan kualitas hidup manusia QS. 2;179
– Sangat sempurna QS. 5:3
Referensi
Diktat agama IPB, K.H. Didin Hafidhuddin
Makna Risalah dan Rasul
• Risalah:
Sesuatu yang diwahyukan A11ah SWT berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah
untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan
akhirat.
• Rasul: Seorang laki-laki (21:7) yang diberi wahyu oleh Allah SWT yang
berkewajiban untuk melaksanakannya dan diperintahkan untuk menyampaikannya
kepada manusia.
Pentingnya
iman kepada Rasul
• Iman kepada para rasul adalah salah satu Rukun Iman. Seseorang tidak dianggap
muslim dan mukmin kecuali ia beriman bahwa Allah mengutus para rasul yang
menginterprestasikan hakekat yang sebenarnya dari agama Islam, yaitu
Tauhidullah .
• Juga tidak dianggap beriman atau muslim kecuali ia beriman kepada seluruh
rasul, dan tidak membedakan antara satu dengan yang lainnya. (Al-Asyqor:56)
Tugas para
rasul
1. Menyampaikan (tablig) [5:67, 33:39]. Yang disampaikan berupa:
• Ma’rifatullah [6:102] (Mengenal hakikat Allah) .
• Tauhidullah [21:25] [Mengesakan Allah] .
• Basyir wa nadzir [6:48] (Memberi kabar gembira dan peringatan)
2. Mendidik dan Membimbing [62:2]
Sifat-sifat para rasul
1. Mereka
adalah manusia (17:93-94,8:110]
2. Ma’shum [terjaga dari kesalahan] [3:161, 53:1-4]
3. Sebagai suri teladan [33:2l, 6:89-90]
Referensi
• Kelompok Studi Al-Ummah, Aqidah Seorang Muslim, hal. 60-71
• Al-Asyqor, Dr. Limar Sulaiman, Para Rasul dan Risalahnya, Pustaka Mantiq
Makna Ma’rifatullah
•
Ma’rifatullah berasal dari kala ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti
mengetahui, mengenal. Mengenal Allah bukan melalui zat Allah tetapi
mengenal-Nya lewat tanda-tanda kebesaranNya (ayat-ayatNya).
Pentingnya
Mengenal Allah
• Seseorang
yang mengenal Allah pasti akan tahu tujuan hidupnya (QS 51:56) dan tidak
tertipu oleh dunia .
• Ma’rifatullah merupakan ilmu yang tertinggi yang harus difahami manusia (QS
6:122). Hakikat ilmu adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya.
Ma’rifatullah adalah ilmu yang tertinggi sebab jika difahami memberikan
keyakinan mendalam. Memahami Ma’rifatullah juga akan mengeluarkan manusia dari
kegelapan kebodohan kepada cahaya hidayah yang terang [6:122] .
• Berilmu dengan ma’rifatullah sangat penting karena:
a)
Berhubungan dengan obyeknya, yaitu Allah Sang Pencipta.
b) Berhubungan dengan manfaat yang diperoleh, yaitu meningkatkan keimanan dan
ketaqwaan, yang dengannya akan diperoleh keberuntungan dan kemenangan.
Jalan untuk mengenal Allah
1. Lewat akal:
• Ayat
Kauniyah / ayat Allah di alam ini:
– fenomena terjadinya alam (52:35)
– fenomena kehendak yang tinggi(67:3)
– fenomena kehidupan (24:45)
– fenomena petunjuk dan ilham (20:50)
– fenomena pengabulan doa (6:63)
• Ayat Qur’aniyah/ayat Allah di
dalam Al-Qur’an:
– keindahan
Al-Qur’ an (2:23)
– pemberitahuan tentang umat yang lampau [9:70]
– pemberitahuan tentang kejadian yang akan datang (30:1-3, 8:7, 24:55)
2. Lewat memahami Asma’ul Husna:
– Allah
sebagai Al-Khaliq (40:62)
– Allah sebagai pemberi rizqi (35:3, 11:6)
– Allah sebagai pemilik (2:284)
– dll. (59:22-24)
Hal-hal yang menghalangi
ma’rifatullah
•
Kesombongan (QS 7:146; 25:21).
• Dzalim (QS 4:153) .
• Bersandar pada panca indera (QS 2:55) .
• Dusta (QS 7:176) .
• Membatalkan janji dengan Allah (QS 2:2&-27) .
• Berbuat kerusakan/Fasad .
• Lalai (QS 21:1-3) .
• Banyak berbuat ma’siyat .
• Ragu-ragu (QS 6:109-110)
Semua sifat
diatas merupakan bibit-bibit kekafiran kepada Allah yang harus dibersihkan dari
hati. Sebab kekafiranlah yang menyebabkan Allah mengunci mati, menutup mata dan
telinga manusia serta menyiksa mereka di neraka. (QS 2:6-7)
Referensi
Said Hawwa, Allah Jalla Jalaluhu
Aqidah Seorang Muslim 1, Al-Ummah
Pengertian
• Ihsan
dianalogikan sebagai atap bangunan Islam (Rukun iman adalah pondasi, Rukun
Islam adalah bangunannya).
• Ihsan (perbuatan baik dan berkualitas) berfungsi sebagai pelindung bagi
bangunan keislaman seseorang. Jika seseorang berbuat ihsan, maka amal-amal
Islam lainnya akan terpelihara dan tahan lama (sesuai dengan fungsinya sebagai
atap bangunan Islam)
Landasan ihsan
1. Landasan Qauliy
“Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan untuk berbuat ihsan terhadap segala sesuatu. Maka jika
kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang ihsan, dan hendaklah
menajamkan pisau dan menyenangkan (menenangkan & menen-tramkan) hewan
sembelihan itu” (HR Muslim). Tuntutan untuk berbuat ihsan dalam Islam yaitu
secara maksimal (terhadap segala sesuatu: manusia, hewan) dan optimal (terhadap
yang hidup maupun yang akan mati)
2. Landasan Kauniy
Dengan
melihat fenomena dalam kehidupan ini, secara sunatullah setiap orang suka akan
perbuatan yang ihsan.
Alasan
Berbuat Ihsan
Ada dua alasan mengapa kita berbual
ihsan:
1. Adanya Monitoring Allah
(Muraqabatullah)
Dalam HR
Muslim dikisahkan jawaban Rasul ketika ditanya malaikat Jibril yang menyamar
sebagai manusia, tentang definisi ihsan: “Mengabdilah kamu kepada Allah
seakan-akan kamu melihat Dia. Jika kamu tidak melihatNya, sesungguhnya Dia
meIihatmu”.
2. Adanya Kebaikan Allah
(Ihsanullah)
Allah telah
memberikan nikmatnya yang besar kepada semua makhlukNya (QS. 28:77 QS. 55, QS. 108:
1-3)
Dengan mengingat Muraqabatullah dan Ihsanullah, maka sudah selayaknya kita
ber-Ihsanun Niyah (berniat yang baik). Karena niat yang baik akan mengarahkan
kita kepada:
1. Ikhlasun
Niyat (Niat yang Ikhlas)
2. Itqonul ‘Amal (Amal yang rapi)
3. Jaudatul Adaa’ (Penyelesalan yang baik)
Jika
seseorang beramal dan memenuhi kriteria di atas, maka ia telah memiliki Ihsanul
‘Amal (Amal yang ihsan).
Ada 3
keuntungan jika sesorang meramal dengan amal yang ihsan:
1) Dicintai Allah [2:195]
2) Mendapat Pahala [33: 29]
3) Mendapat Pertolongan Allah [16:128]
Kesimpulan :
Jadi untuk beramal ihsan harus memenuhi kriteria:
1) Zhohirotul Ihsan (Menampakan Ihsan). Artinya: Lakukan yang terbaik !
2) Qiimatul Ihsan (Nilai Ihsan). Artinya: Ikhlaslah selalu!
Referensi
• Paket BP Nurul Fikri, Ihsan
Makna dan Hakikat Rukun Islam
Islam
dibangun di atas lima dasar, yaitu Rukun Islam. Ibarat sebuah rumah, Rukun
Islam merupakan tiang-tiang atau penyangga bangunan keislaman seseorang. Di
dalamnya tercakup hukum-hukum Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan
manusia. “Sesungguhnya Islam itu dibangun atas lima perkara: bersaksi
sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya,
mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa di buIan
Ramadhan” (HR. Bukhari Muslim). Bagi siapa saja yang telah mengerjakan Rukun
Islam yang lima, belum berarti bahwa ia telah total masuk ke dalam Islam. Ia
baru membangun landasan bagi amal-amalnya yang lain.
Rukun Islam
merupakan landasan operasional dari Rukun Iman. Belum cukup dikatakan beriman
hanya dengan megerjakan Rukun Islam tanpa ada upaya untuk menegakkannya. Rukun
Islam merupakan training/pelatihan bagi orang mukmin menuju
mardhotillah/keridhoan Allah.
• Syahadat
adalah agreement (perjanjian) antara seorang muslim dengan Allah SWT [7.172].
Seseorang yang telah menyatakan Laa ilaaha ilallaah berarti telah siap untuk
fight (bertarung) melawan segala bentuk ilah di luar Allah di da1am
kehidupannya [29:2].
• Shalat
adalah training: sebagai latihan agar setiap muslim di dalam kehidupannya
adalah dalam rangka sujud (beribadah) kepada Allah [6:162]
• Zakat
adalah training, yaitu sebagai latihan agar menginfakkan hartanya, karena
setiap harta seorang muslim adalah milik Allah.[57:7, 59:7]. “Engkau ambil
zakat itu dari orang-orang kaya mereka dan engkau kembalikan kepada orang-orang
fakir mereka” (HR Mutafaqun ‘alahi).
• Shaum
adalah training, yaitu sebagai latihan pengendalian kebiasaan pada jasmani,
yaitu makan dan minum dan ruhani, yaitu hawa nafsu. [2:185]
• Haji
adalah training, yaitu sebagai latihan dalam pengorbanan jiwa dan harta di
jalan Allah, mengamalkan persatuan dan persamaan derajat dengan sesama manusia.
[22:27-28]
Referensi
• Paket BP Nurul Fikri, Al-Islam,
• Sa’id Hawwa, Al-Islam
Pendahuluan
Konsep-konsep
tentang Iman, Islam dan Ihsan mungkin sudah pernah kita pelajari. Namun
ternyata gambaran yang kita miliki selama ini belum cukup valid (shohih) dan
integral (syamiil), karena kita melihat Iman, Islam dan Ihsan secara sektoral
dan terpisah satu sama lain.
Padahal
ketiga konsep tersebut adalah merupakan satu bangunan yang dapat disebut
sebagai RUMAH KITA, yang secara global terdiri dari tiga bagian utama, yaitu :
1. RUKUN
IMAN, yang berfungsi sebagai lapisan fondasinya.
2. RUKUN ISLAM, yang berfungsi sebagai tiang penyangganya.
3. IHSAN, yang berfungsi sebagai atapnya.
Artinya:
tegaknya Islam pada diri seseorang tergantung pada kualitas pondasinya dan daya
tahan Islam pada diri seseorang tergantung pada kualitas atapnya. Jadi satu
sama lain saling membantu, menguatkan dan memelihara.
Hakikat Iman
Pengertian Iman menurut ahlussunah : Iman terdiri dari tiga unsur, yaitu
pembenaran dengan hati, diikrarkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota
badan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Jadi, Iman adalah
keyakinan dan sekaligus juga amal [49:15].
Rukun Iman
Rukun Iman merupakan basis konsepsional atau landasan idiil yang mendasari
pemikiran, ucapan dan tindakan seorang muslim. Artinya: seorang muslim yang
beriman maka pemikiran, ucapan dan tindakannya tidak akan bertentangan dengan
keimanannya kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Taqdir dan Kiamat. Orang yang
beriman haruslah beriman kepada enam Rukun iman (2:285, 4:136) dan Hadits
Ketika Nabi ditanya Malaikat Jibril tentang iman, maka jawab Nabi. ”Hendaklah
engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitabNya, kepada
Utusan-utusanNya, kepada Hari Kiamat dan hendaklah engkau beriman kepada Qodar
yang baik dan yang buruk” (HR Muslim), barangsiapa yang mengingkari salah
satunya maka ia telah mengingkari seluruh Rukun Iman.
1. Iman kepada
Allah SWT . Konsekuensinya : mencintai Allah SWT [2:165]. Tanda-tandanya: lihat
QS 8:2. Akibatnya: ikh1ash dalam menjalankan perintah-perintahNya.
2. Iman kepada Malaikat [50:16-18]. Konsekuensinya: tidak mungkin Seorang
mu’min berbuat ma’siat karena selalu ditongkrongi Malaikat.
3. Iman kepada Kitab-Kitab [2:2, 20:1-3] Konsekuensinya: menjadikan Al-Qur’an
sebagai pedoman hidup.
4. Iman kepada Nabi dan Rasul [33:40]. Konsekuensinya: mencintai dan
mengikutinya [3:31-32].
5. Iman kepada Hari Akhir [3:185]. Konsekuensinya: mempersiapkan diri untuk
menghadapiNya.
6. Iman kepada Takdir [22:7]. Konsekuensinya: berprinsip bahwa “Janganlah kita
mempersoalkan apa-apa yang Allah ingin lakukan terhadap kita, tetapi kita harus
melakukan apa-apa yang Allah ingin dari kita.”
Referensi
• Paket BP Nurul Fikri, Al-Iman
• DR. Muhammad Na’im, Yang Menguatkan Yang Membatalkan Iman,
• Abdul Majid Al-Zandany ,dkk, Al-Iman.
Makna
Alhamdulillahirobbil ‘alamin
Makna Alhamdulillah
Alhamdu =
pujian terhadap suatu kebaikan yang didasari oleh ikhtiar.
Allah
memiliki prestasi yang tak mungkin disamai oleh manusia. Allah SWT dipuji atas
keindahan nama-namaNya dan kebaikan perbuatanNya. Dalam Qur’an pujian terhadap
Allah seperti dalam QS. 14: 39, QS. 27: 15 dan 93.
Alasan Allah dipuji:
– Allah Maha
Pembuat Prestasi [40:62]
– Allah Maha Indah dalam nama-namaNya [20: 8, QS 7:180]
– Allah maha baik dalam perbuatannya [32:7)
– Allah mencipta segala sesuatu berdasarkan pengetahuan iman kehendaknya [ 20:
111]
Makna Robbul’ alamin
• Rabb = Pemilik yang mengatur urusan hambaNya .
• Al-‘Alamin= apa yang diketahui, berarti alam manusia dan jin dan
kelompok-kelompok mereka 17. 80 dan 3: 42] .
• Sekurang-kurangnya harus ada 4 kata sekaligus untuk dapat menterjemahkan Rabb
secara tepat dan sempurna, yaitu:
1. Allah sebagai Pencipta [2: 164]
Manusia
tidak mencipta, ia hanya merekayasa, membuat dan menyusun. Manusia membuat
sesuatu karena diilhami oleh fenomena ciptaan Allah, contoh helikopter yang
diilhami oleh capung, sistem radar yang diilhami oleh cara kelelawar terbang di
gua gelap. Sekalipun ia merekayasa atau menyusun bentuk baru pasti bahan
bakunya diambil dari ciptaan Allah juga. A11ah sebagai pencipta menantang
manusia untuk menciptakan lalat, dalam QS.15:73.
2. Allah sebagai Pemilik [14:2] Siapa yang
mencipta pasti memiliki. Aksioma ini tidak berlaku bagi manusia, tapi berlaku
mutlak bagi Allah SWT, karena Allah SWT mencipta atas iradat dan kehendakNya
sendiri. Allah Pencipta dan otomatis Allah sebagai Pemiliknya.
3. Allah sebagai Pemelihara [15:9]
Allah
memiliki sesuatu yang ia ciptakan sendiri, oleh karena itu Ia tidak akan lalai
untuk menjaga dan memeliharanya.
4. Allah sebagai Penguasa [15:16-27]
Allah adalah
sebagai Pencipta, Pemilik dan sekaligus Pemelihara atas alam semesta ini, tentu
saja Dia adalah Penguasa mutlak atas semua yang ada di dalamnya. Apabila ada
satu saja urusan atau aturan yang dilakukan atau diberlakukan oleh manusia
secara nyata-nyata bertentangan dengan aturanNya, berarti manusia telah
subversif kepadanya. Nauzu billaahi min dzalik!
Referensi
• Paket BP NurulFikri, Setetes Basmalah dan Hamdalah dalam Lautan Al-Fatihah
• Allamah, Thabathaba’i Tafsir AI- Mizan, Mengupas Surat Al-Fatihah, CV Firdaus
I. Pendahuluan
Ikhlas
berkaitan dengan niat. Ikhlas identik dengan kegiatan membersihkan dan
memisahkan dari sesuatu yang kotor menjadi bersih. Seorang muslim dalam beramal
dimulai dari niatnya. Niat itu pulalah yang akan menghantarkan ia pada pahala
yang melimpah atau tidak sama sekali.
Dalam sebuah
hadits disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya amal itu tergantung
dengan niatnya dan sesungguhnya bagi seseorang itu apa yang diniatkannya.
Barang siapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu menuju
Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa berhijrah karena harta yang ingin diraihnya
atau karena perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu untuk sesuatu
yang menjadi tujuan hijrahnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
II. Hakikat Ikhlas
Ikhlas
berada dalam hati demikian pula dengan lawannya yaitu syirik, keduanya
senantiasa berebut tempat di hati manusia. Oleh sebab itu tempat ikhlas ada di
dalam hati dan hal itu berkaitan dengan tujuan dan niat seseorang.
Disebutkan bahwa hakikat niat itu mengacu kepada respon berbagai hal yang
membangkitkannya. Bila faktor pembangkitnya hanya satu maka perbuatan itu
disebut ikhlas dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan. Istilah ikhlas itu
khusus berkenaan dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub kepada Allah dan
pelakunya disebut mukhlis.
III. Cara Untuk Mengenali Ikhlas
Motivasi
seseorang untuk beramal banyak sekali. Oleh karena itu kita perlu
mengenali tujuan dari amal kita agar motivasinya tidak tercampur dengan yang
lain, seperti riya’ atau kepentingan-kepentingan nafsu lainnya.
Salah satu
contoh motivasi yang telah tercampur dengan motivasi yang lain misalnya orang
yang berpuasa untuk memanfaatkan perlindungan yang dapat dicapai melalui puasa
tersebut disamping niat taqarrub. Contohnya antara lain: orang yang pergi haji
untuk memperoleh kesegaran suasana untuk bepergian.
Oleh karena
itu, para penempuh jalan akhirat harus mencermati amal perbuatan mereka dan
memperbaharui niat mereka. Tidak setiap tujuan dalam suatu amal dapat
membatalkan amal. Karena itu, siapa yang berpuasa dengan tujuan bertaqarrub
kepada Allah dan mencapai kesehatan maka tidak merusak keikhlasannya. Bahkan
jika kesehatannya itu diniatkan untuk memperkuat diri dalam mengamalkan
kebaikan maka pahalanya semakin bertambah. Jika ia memaksudkan untuk hak
dirinya maka pahala keikhlasan kepada Allah lebih banyak.
Singkatnya,
setiap kepentingan duniawi yang disenangi nafsu dan dicenderungi hati sedikit
ataupun banyak, apabila merambah ke dalam amal maka dapat mengeruhkan kejernihannya.
Manusia senantiasa terikat dalam kepentingan-kepentingan dirinya dan tenggelam
dalam berbagai syahwatnya sehingga jarang sekali amal perbuatan atau ibadahnya
dapat terlepas dari kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sejenis itu.
Akan tetapi
hal yang menjadi perhatian adalah apabila tujuan asalnya berupa taqarrub lalu
terkontaminasi oleh hal-hal di atas, kemudian kotoran-kotoran ini berada pada
tingkat mu’awanah (mendukung).
Jadi,
pengetahuan tentang hakikat ikhlas dan pengamalannya merupakan lautan yang
dalam, semua orang tenggelam di dalamnya kecuali sedikit, yaitu orang-orang
yang dikecualikan dalam firman-Nya: “Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di
antara mereka” (QS. Al Hijr : 40). Maka hendaklah seorang hamba sangat
memperhatikan dan mengawasi hal-hal yang sangat mendetil ini. Jika tidak, maka
akan tergolong kepada pengikut syaithan tanpa menyadarinya.
IV. Manfaat Ikhlas
1. Hidup
akan tenang karena hati selalu berjaga-jaga untuk mengevaluasi dan meluruskan
niat dalam beramal
2. Selalu dimudahkan dalam segala urusannya
3. Memiliki orientasi hidup yang mampu menjangkau jangka panjang yaitu akhirat
4. Pemberat/penambah pahala dalam beramal
5. Mendapat posisi sebaik-baiknya Hamba di sisi Allah dan juga manusia.
V. Penutup
Apabila
keikhlasan telah bersemayam di dalam diri, maka setiap amal akan diberkahi oleh
Allah SWT. Setiap orang akan berlomba-lomba untuk memberikan amalan terbaiknya
karena ia menyadari buah dari ilmu dan keikhlasan adalah amal shaleh.
Referensi :
1.
Tadzkiyatun Nafs, Said Hawwa
2. Membina Angkatan Mujahid, Said Hawwa
Salah satu
anugerah terbesar yang Allah SWT berikan kepada kita adalah diciptakan-Nya kita
menjadi manusia (QS. At Tiin (95) : 4). Sebagai makhluk yang dimuliakan Allah,
manusia diciptakan secara sempurna. Potensi-potensi yang dimilkikinya dapat
membawa kemuliaan dan keutamaan serta dapat menjalankan amanah. Berbagai macam
kelebihan ini menyebabkan manusia memperoleh satu kehormatan sebagai manusia.
Terkadang
anugerah sebagai manusia inilah yang sering kali dilupakan. Kita sibuk
memikirkan dan menghitung kelebihan orang lain. Kita merasa menjadi orang yang
tidak beruntung. Sering kali kita menghitung kekurangan dan ketidakberuntungan
kita dibandingkan dengan orang lain. Padahal setiap insan memiliki kelebihan
dan kekurangan. Tidak ada satu manusia pun yang sama karakternya, walau pun
mereka kembar identik. Oleh karena itu, masing-masing kita pada dasarnya
memiliki kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, tinggal bagaimana kita
menggalinya dan mengasahnya.
Sebagai
makhluk ciptaan yang mendapat posisi mulia, kita wajib mensyukuri nikmat itu
dengan cara mengenali dan mengembangkan potensi diri untuk kemaslahatan dan
kebaikan. Oleh karena Allah yang telah menciptakan kita berarti syukur manusia
dilakukan dengan cara beribadah dan beramal sholeh.
I. Mengenal Potensi Diri
Pernahkah
terlintas dalam benak kita untuk apa Allah SWT menciptakan kita dalam bentuk
tubuh yang sebaik-baiknya? Apa maksud dan tujuannya? Bilakah kita perhatikan
sekeliling kita dan diri kita. Bersyukurlah bila keadaan fisik kita terlahir
secara lengkap dan berfungsi dengan baik. Fisik manusia yang telah Allah
ciptakan ini bertujuan untuk menunjang pelaksanaan tugas-tugas kekhalifahan
yang telah diamanahkan oleh Allah SWT kepada manusia sejak awal penciptaannya
(QS Al Baqarah (2) : 30)
Fisik kita
adalah sarana penunjang utama dalam beraktivitas. Sebagai makhluk Allah, kita
diperintahkan untuk beribadah kepada-Nya. Pelaksanaan itu membutuhkan fisik
yang kuat dan sehat. Salah satu cara untuk mensyukurinya adalah dengan merawat
fisik kita agar tetap sehat dan prima. Upaya dari hal-hal yang dapat membuat
fisik kita rusak fungsinya harus kita hindari.
Kita perlu
sadari bahwa sukses atau gagalnya seseorang, beruntung atau meruginya seseorang
tidak semata-mata ditentukan oleh keterampilan atau keahlian fisiknya. Akan
tetapi tingkah laku sehari-hari turut menentukan berhasil tidaknya seseorang.
Setiap
individu memiliki kelebihan sendiri seperti bakat, keterampilan, kecenderungan
sehingga dengan semua itu, ia menjadi manusia yang syukur nikmat dan berdaya
guna. Penggalian minat, bakat, keterampilan dan kecenderungan perlu diasah
sedini mungkin, yakinlah bahwa Allah telah menciptakan kita di dunia dengan
spesialis dan bawaan yang hanya dimiliki oleh kita saja. Allah tidak membuat
kopiannya lagi. Masing-masing kita adalah ciptaan yang berkategori “Master
Piece”, tidak ada yang sama, jika kita tidak mengenali dan mengasah potensi
diri kita, sama saja kita tidak bersyukur atas karunia-Nya.
Allah
berfirman: “Katakanlah : tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.”
(QS. Al Israa’ (17) : 84). Hamka menjelaskan, bahwa kata syaakilah yang
terdapat pada ayat di atas diartikan ‘bawaan’ atau ‘bakat’. Beliau menjelaskan
lebih lanjut, bahwa tiap-tiap manusia itu ada pembawaannya masing-masing yang
telah ditentukan oleh Allah SWT sejak masih dalam rahim ibu. Pembawaan/bakat,
Allah ciptakan bermacam-macam, sehingga yang satu tidak serupa dengan yang
lain. Maka menurut ayat tersebut, manusia diperintahkan bekerja selama hidup di
dunia ini, menurut bawaannya masing-masing.
Fenomena yang sekarang ini terjadi tidak setiap orang dapat melakukan sesuatu
yang sangat baik, atau menjadi seseorang yang menjadi sangat mampu pada bidang
tertentu. Sebab pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan yang istimewa
pada diri sendiri untuk bisa mengasah dan mengembangkannya. Selain itu juga,
tidak setiap orang bisa melakukan segalanya, karena masing-masing orang
memiliki kemampuan khusus pada bidang tertentu, tetapi lemah pada bidang lain.
Disinilah letak manusia untuk saling mengisi satu dengan yang lain. Oleh karena
itulah jangan menyia-nyiakan setiap pemberian Allah berupa fisik dan kemampuan
lainnya sekecil apapun. Mungkin saja dari sekian kemampuan kita, salah satunya
menghantarkan kita pada kesuksesan dalam hidup ini.
II. Membangun Harga Diri dan Mengembangkan
Potensi
Seorang
muslim harus menyadari posisinya di sisi Allah dan bagaimana kita memaksimalkan
apa yang Allah berikan pada diri kita dalam rangka memaksimalkan ibadah kita
kepada-Nya sebagai tanda syukur.
Ketahuilah,
Allah SWT telah menciptakan manusia mempunyai kelebihan dan keutamaan
dibandingkan makhluk lainnya. Oleh karena itu manusia mendapatkan posisi yang
mulia dan mendapat keutamaan sehingga diperuntukan seluruh alam beserta isinya
untuk dikelola, dengan demikian manusia memiliki amanah untuk menjaga itu
semua. (QS. Al Israa’ (17) : 70, Luqman (31) : 20, Al Ahzab (33) : 72)
Seorang
muslim harus bangga pada aqidah yang dimilikinya serta bersedia menjalankan
ibadah dengan penampilannya, karena hal tersebut maka akan menghasilkan
ketaqwaan. Umat Islam akan mendaptkan izzah apabila mempunyai iman, kejujuran,
kepercayaan, keloyalan, ketaatan, komitmen, pergerakan.
Membangun
harga diri perlu dijelaskan melalui pendekatan bahwa manusia secara
kemanusiaannya memiliki beberapa kelebihan, kemudian kewajiban untuk beribadah
dan beberapa karakter umat Islam seperti yang telah disebutkan di atas akan
menghantarkan kepada kebanggaan Islam.
Kunci usaha
membangun harga diri adalah melalui da’wah Islam. Da’wah Islam menyeru manusia
untuk menjalankan kewajibannya sebagai muslim dan mengajak umat Islam untuk
memiliki karakter yang mulia. Jadi harga diri yang dimaksudkan adalah citra dan
izzah sebagai seorang muslim yang memiliki tugas Rahmatan lil’alamin dan
sebagai hamba Allah SWT. Ia tidak akan pernah merasa besar karena bagaimanapun
ia mengakui dan menyadari bahwa Allah-lah pemilik segala sesuatu termasuk
dirinya.
Izzah yang
dihasilkan dari membangun harga diri seorang muslim akan melahirkan sikap dan
tingkah laku yang mandiri, tidak tergantung, tidak mau diperintah untuk berbuat
kerusakan, serta mempunyai kreativitas, keyakinan diri dan agresif dalam
mengembangkan diri.
Membangun
harga diri dan mengembangkan potensi bagi seorang muslim harus diarahkan kepada
peningkatan keimanan dan ketaqwaan. (QS. Ali Imran (3) : 139)
Selain itu
harga diri dan mengembangkan potensi akan melahirkan kebersamaan dan persatuan
karena adanya penyadaran bahwa setiap kita saling mengisi. Janganlah kita
menjadi orang yang paling baik dan paling benar, bukankah setiap kita saling
membutuhkan (QS. Ash Shaff (61) : 4)
Referensi :
1.
Ma’rifatul Insan, DR. Irwan Prayitno
2. Menjadi Remaja Sukses, KH. M. Rusli Amin, MA
3. Takwinul Ummah, DR. Irwan Prayitno
I. Pengertian Simbol Sukses
Simbol
berarti abstraksi atau representasi dari suatu hal yang konkrit. Sukses dapat
berarti berhasil mencapai sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan. Sukses
bersifat relatif bergantung dari pengetahuan tentang hakikat sukses yang
sebenarnya.
Oleh karena
itu yang dimaksud dengan simbol sukses adalah representasi untuk mencapai
sesuatu yang dikehendaki dan diinginkan.
II. Langkah Hidup
Langkah-langkah
untuk mencapai sukses dalam kehidupan disebut langkah hidup.
1. Pikiran adalah langkah hidup
Pikiran
manusia bukan saja sebagai alat, tetapi juga merupakan suatu kontrol/kendali.
Karena pikiran juga merupakan suatu kendali berarti ikut menentukan apa-apa
yang kita lakukan. Itulah sebabnya kita harus hati-hati dalam memberi masukan
ke dalam otak kita. Kita harus selalu memeriksa isi pikiran kita dan mengisinya
dengan pikiran kita.
2. Ucapan adalah langkah hidup
Ucapan
adalah nilai dan isi yang terkandung di dalamnya. Ucapan yang memiliki nilai
dan isi yang baik akan menyelamatkan kita, sebaliknya ucapan yang buruk akan
membinasakan kita. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah
dan hari akhirat, hendaklah berkata yang benar atau diam.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Tindakan adalah langkah
hidup
Seseorang membutuhkan
tindakan untuk mencapai sukses. Jika tindakan (amal) yang dilakukan itu
kebajikan, maka berlakulah barang siapa yang menanam dia akan memetik hasilnya.
Sebaliknya tindakannya berupa kemaksiatan, maka berlakulah barang siapa
menggali lubang maka ia akan terperosok ke dalamnya. Kedua prinsip tersebut
berlaku di dunia dan di akhirat, atau kedua-duanya. Bukankah manusia hanya
berusaha sedangkan Allah yang menentukan? (QS. Ar Rad (13) : 11)
III. Simbol Sukses dan Simbol
Gagal
Pikiran,
ucapan dan tindakan adalah faktor internal manusia. Ketiganya merupakan langkah
hidup. Setiap langkah hidup yang makin mendekatkan seseorang ke tujuan yang
dikehendaki disebut sebagai simbol sukses. Sedangkan sebaliknya adalah simbol
gagal.
Faktor
eksternal yang juga menentukan langkah hidup diantaranya adalah lingkungan.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya bergaul dengan teman yang baik dan orang
yang jahat adalah seperti bergaul dengan minyak wangi dan pandai besi. Teman
penjual minyak ewangi itu boleh jadi akan memberi minyak wangi kepadamu atau
kamu dapat membelinya atau paling tidak kamu akan mendapat bau harum darinya.
Sedangkan teman pandai besi boleh jadi akan membuat pakaianmu berlubang
(terbakar) atau paling tidak kamu ikut hangus dengannya.” (HR. Bukhari-Muslim)
IV. Peranan Niat dalam Mencapai
Sukses
Kita harus
yakin bahwa sukses yang kita kejar di dunia ini semata-mata karena mengharap
ridha-Nya. Bukan karena mengharapkan ridha manusia.
V. Sukses di atas Sukses
Menurut Al
Qur’an yang dimaksud orang yang sukses adalah orang yang masuk ke dalam surga
dimana Allah ridha kepada mereka dan mereka ridho kepada Allah. Dengan demikian
tujuan hidupnya adalah mencapai ridha Allah. (QS. Ali Imran (3) : 185, Al
Bayyinah (98) : 8)
VI. Tiga Tipe Manusia
1. Tipe
manusia yang memiliki simbol gagal. Gagal di dunia dan di akhirat.
2. Tipe manusia yang memiliki simbol sukses, tapi tidak memiliki niat
ikhlas. Sukses di dunia, gagal di akhirat.
3. Tipe manusia yang memiliki simbol sukses dan didasari oleh niat yang
ikhlas. Sukses di dunia dan di akhirat.
Referensi :
1. Simbol
Sukses, Paket BP NF
2. Materi Tutoring Agama Islam, SMUN 1 Bogor
I. Pendahuluan
Manusia dilahirkan
dalam keadaan tak berilmu, lemah dan tidak memiliki apa-apa. Allah kemudian
menganugerahi akal sehingga manusia memiliki fitrah untuk mencintai
pengetahuan. Pengetahuan inilah yang akan mengajarkan manusia untuk menyingkap
apa-apa yang tidak diketahuinya dan menjadikan dirinya mampu mengenal diri dan
segala sesuatu di sekelilingnya. (QS. An Nahl (16) : 78 – 81)
Melalui
pendengaran, penglihatan, pengamatan hati dan pemikiran, manusia mampu
mempelajari dan menyingkap kode etik dan hakikat semua ciptaan Allah SWT.
Dengan kemampuannya, manusia menggali ilmu dunia dan menggapai ilmu diniyah,
dengan satu catatan manusia tersebut mempunyai keinginan yang kuat dan tekad
yang bulat untuk menuntut ilmu serta mampu menyingkap gemerlapnya dunia. Tujuan
penyingkapan tersebut adalah tidak lain dan tidak bukan demi mengutamakan
keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Bagi seorang
muslim, tidak dibenarkan hidup dalam keadaan terlepas dari ilmu. Ilmu akan
mengajak orang yang beriman memiliki kualitas dalam ibadah dan prioritas amal
yang terarah. Seorang ulama pernah berkata, “Hendaklah bagi yang belum mampu
menjadi seorang alim (pakar) agar selalu belajar. Bagi yang belum sempat
belajar, hendaklah menjadi pendengar yang baik. Jika tidak sempat juga, maka jadilah
orang yang mempunyai ilmu dan orang-orang yang berilmu.
II. Pentingnya Ilmu
Ilmu begitu
penting bagi kehidupan manusia. Ilmu merupakan sarana untuk menggapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa
menghendaki (kebahagiaan) dunia, maka hendaklah dengan ilmu, barang siapa
menghendaki (kebahagiaan dunia dan akhirat) maka hendaklah dengan ilmu.” (HR.
Muslim)
Allah SWT
menegaskan bahwa dengan berilmu manusia akan mendapat karunia yang banyak.
Firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) : 269, “Allah memberi hikmah (ilmu)
kepada siapa yang Dia kehendaki dan barang siapa yang dianugerahi hikmah (ilmu)
tersebut maka ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak.”
Majelis
untuk menuntut ilmu pun diibaratkan sebagai taman surga di dunia. Ibnu Umar ra.
berkata, Nabi SAW bersabda: “Jika kalian melewati taman surga maka perbanyaklah
berdzikir .”Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apa yang dimaksud dengan
taman surga?” Rasulullah SAW menjawab, “Yaitu kelompok-kelompok dzikir, sesungguhnya
Allah mempunyai utusan dari malaikat yang mencari kelompok-kelompok dzikir.
Jika mereka datang ke kelompok-kelompok dzikir tersebut maka mereka
mengelilinginya sambil mendo’akan anggota kelompok tersebut hingga berakhir
majelis dzikir.” (HR. Bukhari)
III. Membetulkan Niat
Hal yang
dibutuhkan dari seorang penuntut ilmu adalah membetulkan niat, berusaha untuk
ikhlas dan membersihkan dirinya dari tujuan-tujuan lain. Ia bertekad untuk
mengamalkan ilmunya demi mencari keridhoan Allah SWT dan kebaikan akhirat
kelak. Ia tidak menjadikan tujuan dan niatnya untuk membodohi orang-orang awam,
memeras orang kaya, menjilat penguasa, mengejar kekayaan, mengharapkan pangkat
dan tujuan-tujuan sebatas itu.
IV. Kesinambungan Belajar
Ilmu
pengetahuan laksana hamparan laut yang tak bertepi. Laut yang sangat luas dan
dalam. Setiap kali orang mendalaminya setiap kali itu pula terbuka pintu-pintu
baru. Dalam suatu kisah diceritakan bagaimana orang-orang terdahulu haus akan
ilmu dan berusaha mencarinya. Suatu hari Hasan pernah ditanya oleh seorang
laki-laki yang telah berusia 80 tahunan, “Apakah ia masih baik untuk mencari
ilmu?”, Hasan lalu menjawab, “jika ia masih baik untuk hidup, mengapa tidak?”
Istilah
belajar tidak mengenal kata berhenti. Ketika kita berhenti maka kita telah
membatasi diri kita untuk memperoleh karunia yang banyak dari Allah SWT. Ilmu
tidak hanya didapat dari bangku sekolah saja. Akan tetapi dimanapun kita berada
kita dapat mengambil pelajaran dari setiap kejadian dan peristiwa yang ada baik
dari diri kita maupun sekitar kita. Dengan demikian kita akan menjadi orang
yang mensyukuri nikmat Allah SWT.
V. Memahami Gaya Belajar
Sebagaimana
penciptaan manusia yang memiliki perbedaan ciri antara satu dengan yang
lainnya, belajar juga memiliki gaya yang berbeda antara manusia yang satu
dengan yang lain. Perbedaan ini seringkali salah dipahami oleh kita atau orang
lain. Ketika ada seseorang yang tidak mampu menghapal dengan cepat ketika ia
harus duduk dengan manis disuasana yang hening, kadang dianggap memiliki
tingkat daya tangkap yang rendah.
Di sisi lain
kata belajar mengandung makna keterpaksaan, kegiatan yang melelahkan dan
menjemukan. Kita harus berhadapan dengan buku selama beberapa jam. Namun ketika
kita sedang melakukan aktivitas membaca yang lain seperti komik misalnya,
perasaan dan sikap kita langsung berbeda. Kita akan menikmatinya bahkan ikut
hanyut bersama alur cerita. Tanpa terasa kita tak akan berhenti sebelum selesai
membacanya. Seringkali komik/majalah yang kita baca kita ceritakan pada orang lain,
karena kita menganggap isi ceritanya menarik. Kita menceritakan isi cerita
tersebut dengan mudahnya tanpa harus bersusah payah menghapalnya.
Itulah
belajar, seringkali kita menganggapnya beban sehingga kita menjadi sulit
mencerna isinya. Selain itu sering kali kita merasa terganggu oleh gaya belajar
teman/adik kita. Seluruh isi rumah mendengar suaranya. Ia berjalan hilir mudik
tak tentu arah. Kita terganggu olehnya.
Setiap kita
perlu memperhatikan kebiasaan dan kecenderungan dalam belajar. Kita harus mampu
mengubah suasana belajar yang menjemukan menjadi kegiatan yang menyenangkan
sama ketika kita membaca komik dan sejenisnya. Oleh karena itu yang terpenting
yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana menyadari bahwa belajar itu sama
mengasyikannya dengan membaca komik. Kita perlu memahami bahwa setiap individu
mempunyai gaya yang berbeda dalam belajar. Kita harus mengenalinya dan membuat
suasana yang nyaman untuk kita belajar sambil beradaptasi dengan lingkungan
sekitar.
Ada pepatah
yang mengatakan “Banyak jalan menuju Roma”, seperti itulah gaya belajar, banyak
cara untuk belajar. Hal terpenting yang perlu kita ketahui adalah memahami
tercapainya tujuan belajar yaitu cepat menyerap, mengatur dan mengolah
informasi yang kita peroleh. Menurut
Porter secara umum gaya belajar ada tiga macam, yaitu:
1. Visual
Sesuai
dengan namanya visual berarti kita memiliki kecenderungan belajar ala
sekolahan, duduk dengan tenang, memperhatikan apabila guru menerangkan dan
memnghapal di tempat yang hening, selain itu point di bawah ini akan
menggambarkan gaya belajar visual:
a. Berbicara
dengan cepat
b. Mengingat apa yang dilihatnya daripada apa yang didengarnya
c. Lebih suka mencoret-coret ketika berbicara di telepon
d. Sering menjawab dengan jawaban singkat
e. Sering lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
f. Pembaca cepat dan tekun
g. Seringkali bingung memilih kata untuk diucapkan padahal tahu apa yang
harus diungkapkan
2. Auditorial
Biasanya
orang yang memiliki gaya auditorial adalah orang yang lebih menggunakan alat
pendengarannya. Ia pendengar dan pembicara yang baik. Hal di bawah ini akan
menggambarkannya:
a. Biasanya
suka berbicara sendiri
b. Lebih suka mengikuti seminar daripada membaca buku lebih suka mengobrol
dibandingkan dengan membaca
c. Lebih suka mengobrol dibandingkan dengan membaca
d. Lebih suka bercerita daripada menulis
e. Mudah terganggu oleh keributan
f. Berbicara dengan irama yang berpola
g. Biasanya pembicara fasih
h. Lebih suka berdiskusi dan menjelaskan panjang lebar
i. Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama dan warna suara
j. Senang membaca dengan keras dan mendengarkannya
3. Kinestetik
Orang yang
memiliki gaya kinestetik biasanya adalah tipe yang tidak bisa diam, agak lambat
dalam berbicara bila dibandingkan dengan kedua gaya di atas. Hal di bawah ini
akan melengkapi gambarannya:
a. Merasa
dapat berpikir lebih baik ketika bergerak atau berjalan
b. Ketika berbicara banyak menggerakkan anggota tubuh
c. Sulit untuk duduk diam
d. Menanggapi perhatian fisik
e. Lebih suka mempraktekkan daripada membaca instruksi
f. Menghapal dengan berjalan dan melihat (Lebih lanjut baca Quantum
Learning, Bobby de Porter)
Setelah
mengetahui gaya belajar ini kita dapat menyesuaikan metode pengajaran apa yang
telah diadakan, di sekolah sehingga kita dapat beradaptasi dan tidak akan
tertinggal dalam pelajaran. Pada bangku sekolah dari SD-SLTA, kegiatan belajar
dan mengajar lebih sering menggunakan gaya visual sehingga bagi siswa yang
bergaya belajar visual mudah untuk belajar, sedangkan bagi siswa auditorial
apalagi kinestetik, seringkali dianggap guru sebagai siswa yang lambat dalam
menangkap pelajaran. Di luar sekolah bagi siswa yang memiliki gaya belajar
selain visual harus mengejar ketertinggalan dengan memaksimalkan gayanya
sehingga ia dapat mengikuti pelajaran dengan baik.
Begitu pula
ketika ia telah lulus dari SLTA, kondisi belajar di kampus tentu berbeda dari
sekolah. Oleh karena itu setiap siswa harus segera beradaptasi dalam
menyesuaikan gaya belajar di kampus. Bagi siswa visual yang biasanya mendapat
nilai baik di SLTA nya belum tentu dapat memiliki nilai sama baiknya ketika ia
melanjutkan ke perguruan tinggi.
Di kampus mereka mulai merasakan bahwa kemampuan menyerap pelajaran di
kampus mulai berkurang. Mereka mulai tertatih-tatih dalam menyesuaikan belajar
di kampus. Terkadang bagi teman-teman visual merasa daya ingat dan kemampuan
belajarnya sudah menurun, padahal kondisi belajar di kampus mengharuskan para
siswa mendengarkan dosennya menerangkan selama berjam-jam.
Bagi siswa
visual yang lebih senang menulis tentu bila harus mendengrkan pelajaran akan
kesulitan dalam belajar karena ada perbedaan dari gaya belajar di kampus dengan
gaya belajar dirinya.
Oleh karena
itu kegagalan seseorang dalam belajar belum tentu karena ia tidak mampu, namun
mungkin saja karena ia tidak menyadari ada perbedaan dalam belajar sehingga
dirinya tidak beradaptasi melainkan menyalahkan dirinya yang merasa sudah
berkurang daya ingatnya. Ketidakmengertian penyebab dari kelambatan daya
tangkap inilah yang sebenarnya harus disadari. Ketidaksesuaian antara gaya
pribadi dengan gaya di tempat belajar inilah yang harus dipahami yang kemudian
dicari solusinya, sehingga ia akan mengetahui bahwa sesungguhnya ia tidak
berkurang daya ingatnya tetapi hanya perlu beradaptasi dalam belajar di tempat
yang baru.
Bagi pelajar
visual ketika mereka memasuki dunia kampus maka mereka harus membawa catatan
dan menulis hal-hal yang penting untuk membantu mereka mengurangi sifat lupanya
bila mendapat penjelasan secara verbak dari dosen.
Bagi pelajar auditorial biasanya mereka merasa lebih mudah mengakap pelajaran
karena sesuai dengan gaya dan kebiasaan mereka yang malas menulis, oleh karena
itu sebaiknya mereka membawa alat rekam untuk merekam suara dosennya ketika
menerangkan agar lebih mudah dalam belajar. Bagi pelajar kinestetik, sebaiknya
ia membawa alat tulis untuk menggambar sesuatu kala ia jenuh dan duduk di
barisan depan agar ia dapat melihat sentuhan fisik berupa gerakan dosen ketika
ia memperhatikan pelajaran.
Dengan
memahami gaya belajar kita masing-masing yang ternyata berbeda-beda, akan
membantu kita menyadari bahwa ketika kita tidak dapat memahami kondisi belajar
di suatu tempat, bukan berati kita tidak mampu namun mungkin ada ketidakcocokan
antara gaya belajar kita dengan tempat tersebut. selain itu juga akan membantu
kita untuk percaya pada kemampuan diri bahwa kita mampu menyerap pelajaran
sehingga kegiatan belajar menjadi suatu yang menyenangkan dan kita tidak perlu
lagi menyontek karena hanya akan menipu diri sendiri dan merugikan kita
sendiri.
Referensi :
1. Buah
Ilmu, Ibnu Qoyyim al Jauziyah
2. Belajar dan Etikanya, DR. Yusuf Qordhowi
3. Quantum Learning, Bobby de Porter dan Mike Hemacki
HAK DAN
KEWAJIBAN DALAM KELUARGA
I. Pendahuluan
Keluarga adalah bagian terkecil dari masyarakat. Potret kondisi masyarakat
tercermin dari keadaan yang muncul dari keluarga. Semakin baik kondisi keluarga
semakin baik juga masyarakatnya.
Awal mula
manusia berinteraksi dan bersosialisasi adalah dari rumah. Dari rumahlah
diajarkan segala aturan, hak dan juga kewajiban setiap individu. Segala proses
pendidikan juga berawal dari sini. Tidaklah mengherankan bila keluarga memegang
peranan penting dalam pondasi masyarakat.
Permasalahan
sosial yang terjadi pada saat ini salah satu penyebabnya adalah akibat
merenggang dan hancurnya sistem dalam keluarga baik sistem nilai maupun sistem
aturan hak dan kewajiban.
Mengetahui
hak dan kewajiban di dalam keluarga merupakan bagian dari realisasi keimanan
dan adab kita sebagai seorang muslim. Perhatian yang besar ini merupakan
aplikasi dari nilai-nilai Islam yang telah kita serap dan kita pahami bersama.
Dengan mengetahui tugas dan tanggung jawab masing-masing di dalam rumah,
pertikaian dan ketidakharmonisan akan hilang dengan sendirinya.
Hak kerabat
dan sanak saudara merupakan hal yang ditegaskan secara tegas oleh Rasulullah
SAW. Sabdanya: “Berbuat baiklah kepada ibumu, bapakmu, saudara perempuanmu dan
saudara laki-lakimu, kemudian orang yang paling dekat denganmu kemudian
seterusnya.” (HR. Nasa’i, Ahmad dan Al Hakim)
Rasulullah
SAW bersabda: “Allah berfirman Aku adalah Tuhan Yang maha Rahman dan ini adalah
rahim (sanak keluarga), Aku ambilkan namanya dari nama-Ku; Barang siapa yang
menyambungnya maka Aku pasti menyambungnya dan barang siapa memutuskannya maka
Aku akan menghancurkannya”. (Hadits qudsi, HR. Bukhari Muslim)
Ditanyakan
kepada Rasulullah SAW: “Siapakah orang yang paling utama?” Nabi SAW bersabda,
“Orang yang paling bertaqwa kepada Allah, paling banyak menyambung kerabatnya,
paling banyak memerintahkan yang ma’ruf dan paling banyak mencegah yang munkar”
(HR. Ahmad dan Thabrani).
II. Hak Orang Tua (Kewajiban
Anak terhadap Orang Tua)
1. Hak Orang Tua yang Masih
Hidup
a. Mendapat
perlakuan yang baik
Dalil hadits: “Berbuat baiklah kepada kedua orang tua lebih utama ketimbang
shalat, shadaqah, puasa, haji, umrah dan jihad di jalan Allah.” (HR. Abu Ya’la
dan Thabrani)
b. Mendapat perawatan yang baik dari anak-anaknya hingga maut
menjemputnya, terlebih lagi bila ia telah lanjut usia. “Anak tidak dapat
membalas kedua orang tuanya hingga ia mendapati sebagai budak lalu membelinya
dan memerdekakannya.” (HR. Muslim)
2. Hak
Orang Tua yang telah wafat
Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah
masih adakah kewajiban untuk berbuat baik kepada orang tuanya yang telah
wafat?” Rasulullah SAW bersabda: “Ya, mendo’akannya, memintakan ampun untuknya,
menunaikan janjinya, menghormati temannya, menyambungkan kerabat yang tidak
dapat disambung oleh orang tua.” (HR. Abu Daud, Ibnu Hibban dan Al Hakim)
III. Hak Anak (Kewajiban Orang
Tua terhadap Anak)
1. Mendapat nama yang baik dan
mengaqiqahkannya. Untuk perempuan satu ekor kambing dan untuk
laki-laki dua ekor kambing.
Dalil hadits: “Setiap bayi tergadaikan oleh aqiqahnya, disembelihkan kambing
untuknya pada hari ke tujuh dan dicukur rambutnya.” (HR. Muslim)
2. Bersikap lemah lembut dan
sayang pada anak, tidak berbeda apakah itu anak perempuan ataupun anak
laki-laki.
Dalil hadits: Aqra bin Habis melihat melihat Rasulullah SAW mencium cucunya
Hasan, lalu Aqra berkata: “Sesungguhnya aku punya sepuluh anak, tetapi aku
belum pernah mencium seorang pun diantara mereka” Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya orang yang tidak menyayangi tidak akan disayangi.” (HR. Bukhari)
3. Mendapat pendidikan dan
pengajaran yang baik.
4. Mendapat makanan dan pakaian
yang layak.
5. Dipisahkan ruang tidur anak
laki-laki dengan anak perempuan bila sudah beranjak besar (Aqil Baligh).
Bagi sesama
anak yang lebih tua menyayangi yang lebih muda dan yang lebih muda menghormati
yang lebih tua. Saling menolong diantara mereka. Menjaga aib saudaranya dan
juga menasihatinya bila melakukan kekhilafan.
IV. Hak Kerabat dan Sanak
Keluarga
1. Dikunjungi/silaturahim
Dalil hadits: “Siapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya
maka hendaklah dia takut kepada Allah dan bersilaturahim kepada kerabat.” (HR.
Ahmad dan Al Hakim)
2. Selamat dari tangan dan lisannya. Maksudnya adalah tidak digunjingkan
dan dianiaya.
3. Bersedekah/memberi hadiah
“Shadaqah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memutuskan kekerabatan.”
(HR. Ahmad, Thabrani dan Baihaqi)
V. Penutup
Demikianlah,
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk saling memperhatikan dan menjaga
hubungan sosial, khususnya dalam keluarga. Setiap anak akan menghornati dan
menyayangi orang tua yang telah mendidik dan merawatnya, demikian pula sebaliknya.
Masing-masing
individu akan menghargai satu dengan yang lainnya sebagai wujud syukur kepada
Allah SWT.
Referensi :
1. Tazkiyatun Nafs, Said Hawwa
2. Pribadi Muslim Tangguh, Musthafa Muhammad Thahan
I. Memahami Hukum Syariah
Memahami
Islam tidak akan lengkap bila kita tidak mengetahui hukum-hukumnya. Melalui
hukumlah aturan yang berasal dari nilai-nilai Islam dapat dilaksanakan. Dalam
Islam ada dua macam: hukum taklifi dan hukum wadh’I.
Hukum
taklifi adalah hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan
untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan. Sebagai contoh:
hukum yang menyangkut perintah seperti shalat, membayar zakat dll. Hukum wadh’I
adalah hukum yang menyangkut sebab terjadinya sesuatu, syarat dan penghalang.
Sebagai contoh: hukum waris.
II. Tujuan Hukum Syariah
Tujuan hukum
syariah ada tiga macam, yaitu:
1. Pensucian jiwa, menjadikan muslim penyebar kebaikan bukan penyebab
keburukan.
2. Menegakkan keadilan dalam masyarakat baik dengan sesama muslim maupun
non muslim.
3. Bermanfaat bagi seluruh alam semesta tidak hanya manusia.
III. Sumber Hukum
Sumber hukum
dalam Islam ada lima, yaitu:
1. Al
Qur’an
2. As Sunnah
3. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujahid dalam suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah SAW.
4. Fatwa sahabat
5. Qiyas
IV. Pembagian Hukum Taklifi
Berdasarkan
jumhur ulama (pendapat mayoritas ulama), hukum terbagi menjadi lima macam,
yaitu:
1. Wajib
yaitu suatu perintah yang apabila tidak dilaksanakan berdosa. Wajib terbagi
menjadi dua macam:
a. Wajib
yang memiliki waktu yang luas disebut wajib muwassa. Keluasaan waktu itu
memungkinkan kita untuk melaksanakan ibadah yang lain.
b. Wajib memiliki waktu yang terbatas disebut wajib mudhayyaq. Ibadah itu
hanya dapat dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan dan tak dapat
dilakukan diluar waktu tersebut. sebagai contoh puasa di bulan Ramadhan, ibadah
haji di bulan Dzulhijah.
2. Sunnah
yaitu perbuatan yang apabila dilaksanakan berpahala dan bila tidak dilaksanakan
ia akan merugi walaupun tidak berdosa. Sunnah terbagi menjadi tiga macam:
a. Sunnah
Muakkad, yaitu sunnah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW secara kontinyu,
contoh shalat dua rakaat setelah shubuh.
b. Sunnah Ghairu Muakkad, yaitu sunnah yang dilakukan tidak secara
kontinyu, contoh: shalat empat rakaat sebelum zhuhur.
c. Sunnah di bawah keduanya, yaitu kebiasaan yang dilakukan Rasulullah SAW
seperti bersiwak (sikat gigi).
3. Mubah
yaitu kebebasan bagi muslim untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau
meninggalkannya. Contoh makan, minum, dsb.
4. Makruh
yaitu suatu larangan secara syara terhadap suatu perbuatan namun tidak bersifat
pasti karena tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya perbuatan tersebut,
meninggalkan perbuatan tersebut terpuji dan mengerjakannya tercela.
5. Haram
yaitu larangan untuk melakukan suatu pekerjaan baik yang ditetapkan berdasarkan
dalil qath’i dan zhonni.
Dengan
demikian secara sederhana dapat dikatakan bila ditinggalkan perbuatan itu
pelakunya akan mendapat pahala dan bila dilaksanakan berdosa. Haram ada dua
macam, yaitu:
a. Haram
li-dzatihi, yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allah, karena bahaya tersebut
terdapat pada perbuatan itu sendiri. Sebagai contoh makan bangkai, minum khamr,
berzina, dll.
b. Haram li-ghairi/aridhi, yaitu perbuatan yang dilarang oleh syariat
dimana adanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri,
tetapi perbuatan tersebut dapat menimbulkan haram li-dzatihi. Sebagai contoh
jual beli memakai riba, melihat aurat wanita, dll.
Referensi :
1. Ushul Fiqih, Prof. Muhammad Abu Zahrah
I. Pendahuluan
Sesungguhnya
ilmu adalah kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan adalah kematian dan
kegelapan. Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman: “Apakah dapat disamakan orang
yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az Zumar (39) : 9).
Allah SWT menolak menyamakan orang yang berilmu dengan orang yang tidak
berilmu, sebagaimana Allah menolak menyamakan keburukan dengan kebaikan, orang
buta dengan orang melihat, cahaya dengan kegelapan, naungan dengan hawa panas,
penghuni neraka dengan penghuni surga, orang-orang beriman dengan orang-orang
kafir dan orang-orang bertaqwa dengan orang-orang berdosa. Hal ini menunjukkan,
bahwa kedudukan orang berilmu terhadap orang bodoh adalah seperti kedudukan
cahaya terhadap kegelapan.
Semua
kejahatan dan keburukan penyebabnya adalah tidak adanya kehidupan dan cahaya,
dan semua kebaikan penyebabnya adalah cahaya dan kehidupan. Cahaya itu
membongkar hakikat segala sesuatu dan menjelaskan peringatan-peringatannya,
sedangkan kehidupan ia adalah pembimbing kepada sifat-sifat kesempurnaan, dan
mengharuskan terbentuknya perkataan dan tindakan yang tepat (QS. Al An’am (6) :
122). Sehingga kebutuhan manusia kepada ilmu adalah kebutuhan primer melebihi
kebutuhan badan kepada makanan, karena badan membutuhkan makanan dalam sehari
hanya sekali atau dua kali, sedangkan kebutuhan manusia kepada ilmu sangat
banyak sebanyak jumlah nafas, karena setiap nafasnya dibutuhkan iman atau
hikmah. Jika nafasnya nihil dari iman dan hikmah, sungguh ia binasa, semakin
dekat kematiannya dan tidak mendapatkan jalan untuk membebaskan diri kecuali
dengan ilmu. Jadi kebutuhan manusia kepada ilmu lebih besar daripada kebutuhan
badan kepada makanan dan minuman.
II. Keutamaan Ilmu
Ayat yang
pertama kali diturunkan Allah Ta’ala dalam Al Qur’an adalah surat Al Alaq :
1-5. Di dalamnya Allah Ta’ala menyebutkan apa saja yang telah Dia anugerahkan
kepada manusia seperti nikmat pengajaran apa yang tidak mereka ketahui, Allah
Ta’ala menyebutkan di dalamnya karunia-Nya yaitu pengajaran-Nya, dan
mengutamakan manusia dengan pengajaran yang Dia berikan kepada mereka. Ini
menjadi bukti kemuliaan ilmu dan pengajaran.
Setiap orang
pasti mengetahui keutamaan ilmu. Sesungguhnya manusia itu berbeda dari semua
binatang yang ada dengan ilmu, akal dan pemahaman yang diberikan secara khusus
kepadanya. Jika ia tidak mempunyai ilmu, akal dan pemahaman, maka yang tersisa
padanya adalah kesamaan antara dirinya dengan seluruh binatang, yaitu sifat
kebinatangan. Terhadap orang seperti itu, manusia tidak malu kepadanya dan
tidak berhenti dari kejahatannya kendati orang tersebut ada di tengah-tengah
mereka dan melihat mereka.
Allah SWT
menampakkan keutamaan Adam as. daripada malaikat adalah karena ilmu, sehingga
Allah menyuruh para malaikat agar sujud kepada Adam as.
Keutamaan
ilmu yang paling nyata adalah bahwa ilmu merupakan sarana untuk bertaqwa kepada
Allah, dimana dengan taqwa manusia akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah
yaitu surga kebahagiaan abadi. Abu Musa ra. berkata: Bersabda Nabi SAW:
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang diberikan oleh Allah kepada saya bagaikan hujan
yang turun ke tanah, maka sebagian ada yang subur (baik) dapat menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan serta rumpun yang banyak sekali. Dan ada pula tanah yang keras
menahan air, hingga berguna untuk minuman dan penyiram kebun tanaman; dan ada
beberapa tanah hanya keras-kering tidak dapat menahan air dan tidak pula
menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Demikianlah contoh orang pandai di dalam agama
Allah dan mempergunakan apa yang diberikan Allah kepadaku lalu mengajar, dan
perumpamaan orang yang tidak dapat menerima petunjuk Allah yang telah
ditugaskan kepadaku.” (HR. Bukhari Muslim)
III. Klasifikasi Ilmu
1. Ilmu
yang diwajibkan untuk setiap Individu (Fardhu ‘Ain)
a. Ilmu
pengetahuan tentang prinsip keimana: Allah, Malaikat, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-Nya, Hari Akhir, Qodo dan Qodhar.
b. Ilmu pengetahuan tentang syariat-syariat Islam: Wudhu, Sholat, Zakat,
Puasa, Haji.
c. Ilmu pengetahuan tentang hal yang diharamkan/dihalalkan: Babi, Riba,
Judi, Bangkai, Darah.
d. Ilmu tentang kemasyarakatan: perdagangan, Pemerintahan, Administrasi
Niaga.
2. Ilmu
yang diwajibkan untuk Kelompok (Fardhu Kifayah)
Jika ada satu atau beberapa orang dari kelompok jama’ah telah memiliki ilmu dan
melaksanakannya, maka yang lainnya tidak lagi dituntut untuk melaksanakannya.
Namun jika tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu tersebut dan tidak
melaksanakannya, maka semua orang berdosa, terutama pemimpin mereka (ulil
amri), contoh: ilmu kedokteran, ilmu kebidanan, ilmu jenazah, ilmu falak, ilmu
komputer dan perkembangannya, dll.
3. Ilmu
yang Tercela
Dikatakan tercela karena ilmu itu membawa kemudharatan bagi orang itu sendiri
atau orang lain, contoh: ilmu tenung, sihir, santet, pelet, paranormal,
peramal, dll.
IV. Penutup
Ilmu dan
amal perbuatan yang utama di sisi Allah adalah yang terkait langsung dengan kebutuhan
umat. Hal tersebut merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
serta bermanfaat bagi kemaslahatan ummat.
Referensi :
1. Buah Ilmu, Ibnu Qayyim Al Jauziyah
2. Belajar dan Etikanya, DR. Yusuf Qordhowi
Ashhabul Ukhdud
I. Uraian
Kisah :
“Binasalah
dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit yang berapi (dinyalakan dengan)
kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa
yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak
menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena mereka beriman kepada Allah
Yang Maha Perkasa Lagi Maha Terpuji”. (QS. Al Buruj : 4-8)
Dahulu kala
di Najran, Yaman, ada seorang remaja bernama Jahdun. Seperti umumnya raja-raja
kala itu, Jahdun juga mengaku dirinya adalah Tuhan. Jahdun mempunyai tukang
sihir yang sekaligus salah satu penasihatnya. Selain tukang sihir tersebut, ada
seorang ustadz yang juga bertugas sebagai penasihat raja.
Suatu
ketika, tukang sihir menghadap sang raja, “Paduka yang mulia aku ini sudah
sekian tua. Agaknya ajalku hampir tiba. Maka carilah seorang pemuda yang cerdas
agar aku bisa mewariskan ilmuku,” ucapnya. Jahdun pun mengabulkan permintaan
tukang sihir tersebut.
Singkat
cerita, dipilihlah seorang pemuda cerdas bernama Waddhah. Atas perintah raja,
pemuda tersebut berguru kepada tukang sihir. Namun dalam perjalanannya, pemuda
itu tertarik pula pada sang ustadz yang tinggal tak jauh dari lingkungan istana
tersebut. Waddhah sering mampir ke rumah ustadz itu untuk mendengarkan ajaran
dan petuahnya, sebelumnya ia pergi ke tukang sihir. Karena terpikat dengan
ajaran sang ustadz. Waddhah selalu terlambat tiba di rumah tukang sihir.
Akibatnya tukang sihir itu menghukumnya.
“Mengapa
kamu selalu terlambat?” hardik tukang sihir itu sambil memukulinya. Namun
Waddhah tak menjawab. Usai belajar di rumah tukang sihir, Waddhah singgah lagi
ke rumah ustadz. Akibatnya ia pun sering terlambat di rumah. Kali ini
keluarganya yang marah dan memukulinya. Kondisi itu terjadi berulang-ulang.
Akhirnya,
Waddhah mengadukan kejadian tersebut kepada sang ustadz, mendengar keluhan
muridnya, ustadz itu memberi nasihat bijak.
“Jika tukang
sihir itu hendak memukulmu, katakan bahwa keluargamu telah menahanmu sehingga
kau terlambat. Dan jika keluargamu hendak memukulmu karena terlambat,
katakanlah bahwa tukang sihir itu telah menahanmu”.
Demikianlah,
semua berjalan lancar tanpa ada yang tahu kalau Waddhah telah terpaut hatinya
pada ajaran sang ustadz.
Suatu hari
seekor binatang melata berukuran sangat besar tiba-tiba menghalangi jalan umum.
Akibatnya, tak seorangpun berani mendekati jalan itu. Ketika melihat binatang
itu, Waddhah bergumam dalam hati, “Hari ini akan aku ketahui, apakah ajaran
sang ustadz lebih dicintai Allah ataukah ajaran si tukang sihir”.
Waddhah
mendekati binatang tersebut. lalu diambilnya sebuah batu sambil berdo’a: “Ya
Allah, jika ajaran sang ustadz lebih Engkau cintai dan Engkau ridhoi daripada
ajaran si tukang sihir, maka bunuhlah ini supaya orang-orang bisa lewat”.
Waddhah segera melemparkan batu ke arah binatang besar itu. Binatang itu pun
mati seketika. Kejadian tersebut diceritakan Waddhah kepada sang ustadz. Mendengar
cerita itu sang ustadz sangat kagum.
“Nak, engkau
lebih mulia dari aku”, ujar sang ustadz masih dengan nada tertegun. “Suatu saat
engkau pasti mendapat ujian dan malapetaka. Maka ketika ujian itu menimpamu,
jangan sekali-kali engkau menceritakan keadaanku”.
Sejak itu,
banyak karunia yang diberikan Allah kepada Waddhah. Atas izin Allah, ia mampu
menyembuhkan penyakit ringan maupun berat yang menimpa masyarakat.
Kebetulan,
ada teman dekat raja Jahdun yang mengalami kebutaan sejak lahir. Diantar para
pengawal, si buta tersebut datang menemui Waddhah dengan membawa berbagai macam
hadiah.
“Wahai anak
muda, tolong sembuhkan aku”, Waddhah menjawab, “Aku sama sekali tak bisa
berbuat apa-apa. Hanya Allah-lah yang mampu menyembuhkan. Jika engkau beriman
kepada-Nya dan berdo’a, Insya Allah akan sembuh”.
Karena bertekad sembuh, orang itu pun menurut. Maka ia beriman kepada
Allah dan memanjatkan do’a. sungguh ajaib, kedua mata laki-laki itu sembuh
seketika. Semakin kuatlah imannya kepada Allah.
Suatu
ketika, laki-laki itu datang ke istana. Dengan perasaan heran, raja Jahdun
bertanya, “Kawanku, siapa yang telah mengembalikan penglihatanmu?” Ia menjawab
singkat, “Tuhanku”, Jahdun menyahut, “Maksudmu aku?”. Bukan, tetapi Tuhanku dan
Tuhanmu. Yakni Allah Azza wa Jalla”. Raja semakin penasaran. “Apakah engkau
punya Tuhan selain aku?” Dengan mantap ia menjawab, “Benar Allah-lah Tuhanku
dan Tuhanmu jua, “Akibat pengakuan keimanannya, laki-laki itu disiksa secara
sadis. Hingga akhirnya Waddhah dipanggil menghadap sang raja.
“Hai
Waddhah, aku dengar sihirmu bisa menyembuhkan berbagai penyakit,” tanya Raja
Jahdun dengan nada keras.
Dengan tenang Waddhah menjawab, “Jahdun, aku tak punya ilmu sihir. Tukang
sihir itu tidak mengajarkan apa-apa kepadaku. Ia selalu memukuli aku. adapun
penyakit mata kawanmu itu. Bukan aku yang menyembuhkan. Tetapi Allah”. Raja
bertanya, “Aku?”. “Bukan”, jawab Waddhah. “Kamu punya Tuhan selain aku?”.”Ya,
Tuhanku dan Tuhanmu adalah adalah Allah semata”.
Jahdun marah
besar. Pemuda itu pun disiksa, sampai akhirnya ia berterus terang bahwa ia
belajar dari sang ustadz. Tanpa pikir panjang lagi, Raja Jahdun menyuruh
prajuritnya untuk menculik sang ustadz.
“Keluarlah
dari agamamu, wahai Ustadz. Atau aku siksa kamu”, bentak Jahdun setelah sang ustadz
itu tiba di hadapannya.
Namun sang
ustadz dengan tegas menolak permintaan itu. Akhirnya Jahdun menyuruh algojo
mengeksekusi sang ustadz. Dengan gergaji di tangannya, algojo itu memisahkan
kepala sang ustadz dari badannya.
Jahdun
kemudian meminta kawannya yang buta itu untuk mengingkari adanya Allah SWT.
Tapi ia menolak. Maka laki-laki itupun menyusul sang ustadz, syahid di tangan
algojo.
Tiba giliran
Waddhah. Ia juga diminta keluar dari keyakinannya. Namun pemuda itu tidak
langsung dibunuh, Jahdun meminta para algojo untuk membawanya ke sebuah
gunung.”Jika sampai di puncak nanti, lalu ia mau keluar dari agamanya, bawalah
ia kembali. Jika tidak, lemparkan ke jurang.”
Sampai di
puncak, Waddhah berdo’a, “Ya Allah, kupasrahkan jiwaku kepada-MU. Peliharalah
akau dengan apa yang Engkau kehendaki”. Tak berapa lama, gunung itu berguncang
dahsyat. Orang-orang itu terperosok, kecuali Waddhah. Ia pun menghadap raja.
“Apa yang
telah terjadi dengan mereka?” tanya Jahdun terkejut. Allah SWT yang telah
meyelamatkan aku”. jawab Waddhah. Alangkah murkanya Jahdun. Ia segera
menugaskan para prajuritnya agar membuang Waddhah ke laut.
“Jika sudah berada di tengah laut, lalu pemuda ini mau keluar dari
keyakinannya. Bawalah ia kembali. Jika tidak, lemparkan ia!” begitu pesan
Jahdun.
Namun,
dengan izin Allah, Waddhah selamat. Sedangkan para algojo itu tewas tenggelam.
Pemuda itu pun kembali menemui raja Jahdun. Jahdun makin geram dibuatnya.
“Demi
Allah SWT, engkau tak akan bisa membunuhku dengan cara apapun, kecuali engkau menuruti
perintahku,” kata Waddhah. “Bagaimana caranya”, tanya Jahdun. “Kumpulkan semua
penduduk negeri ini di sebuah tempat yang tinggi. Lalu ikatlah aku di sebuah
pohon. Ambil anak panah dan ucapkan dengan keras, “Dengan nama Allah, Tuhannya
pemuda ini”. Jika kau lakukan, niscaya kau bisa menghabisi nyawaku”.
Jahdun
menurut, setelah rakyat negeri itu berkumpul dan pemuda tersebut terikat erat
di sebuah pohon, jahdun mengambil anak panah dan membidiknya. Anak panah
melesat ke arah Waddhah, tapi ternyata tidak mampu menembus kulitnya. Jahdun
marah, “Hai Waddhah, kau telah membohongi aku”.
“Tidak,
aku tidak bohong,”sanggah Waddhah. “Bukankah engkau belum menyebut nama Allah?”
Raja
congkak itu mengambil lagi anak panah. Menjelang melepaskan anak panah itu, ia
menyebut nama Allah, tapi hanya di dalam hati. Anak panah melesat, tetapi
lagi-lagi tidak mempan. Bukan main marahnya sang raja.
“Bukankah
telah kuperintahkan kamu untuk menyebut nama Allah dengan keras?” seru Waddhah.
Jahdun
tertegun. Namun sesaat kemudian, cepat-cepat diambilnya anak panah ke tiga. ia
berteriak dengan keras, “Dengan nama Allah, Tuhannya pemuda ini!”. Anak panah
itu kemudian melesat menembus jantung Waddhah, dan menakhiri hidupnya.
Gemparlah
seluruh penduduk menyaksikan adegan tersebut. mereka pun berteriak, “Kami
beriman kepada Allah, Tuhan pemuda itu”. Pengawal raja berbisik, “Paduka,
tidakkah paduka lihat? Mereka beriman kepada Allah dan tidak mengakui ketuhanan
paduka.
Akhirnya
Jahdun memerintahkan pengawalnya untuk membuat parit (ukhdud). Di dalamnya
dinyalakan api yang bergolak. “Siapa yang mau keluar dari agamanya, selamatlah
ia. Jika tidak, kalian akan kulemparkan ke dalam api ini!” teriak Jahdun.
Namun
seluruh rakyat Najran itu tetap teguh dengan iman mereka. Akhirnya satu persatu
mereka dilemparkan ke dalam api tersebut. di antara mereka ada seorang wanita
yang sedang menggendong anaknya yang masih menyusui. Sejenak ia bimbang untuk
melompat ke dalam kobaran api. Tiba-tiba anak yang digendongnya berkata pelan,
“Ummi, tabah dan bersabarlah. Karena engkau berada di jalan yang benar,“ Maka,
dengan membopong anaknya, perempuan itu menceburkan diri.
Peristiwa di
atas kemudian dikenal dengan kejahatan ashabul ukhdud (para pembuat parit).
Kebiadaban itu mungkin saja terulang kembali di tempat dan waktu yang berbeda,
dalam pola dan bentuk yang berbeda pula. Karenanya, kisah yang diabadikan dalam
Al Qur’an ini harus selalu diambil hikmahnya.
II. Hikmah
Kisah
Ashabul Ukhdud menceritakan bagaimana perjuangan seorang pemuda untuk mendapatkan
kebenaran dan mempertahankannya. Bagaimanapun seorang pemuda merupakan aset
regenerasi, pemuda merupakan masa terbaik manusia. Ia memiliki tenaga yang
tidak dimiliki anak-anak maupun orang tua. Semangatnya masih tinggi,
idealismenya masih menyala. Kemampuan berpikirnya masih bersih dan kuat.
Potensi-potensi ini hanya dimiliki kaum muda. Oleh karena itu sudah selayaknya
para pemuda menyadari hal itu. Jika pemudanya rusak perilakunya, maka rusaklah
masa depan. Namun jika pemudanya berada dalam jalan kebenaran maka masa depan
akan cemerlang.
Pada
kisah ini, awalnya Waddhah adalah calon pengganti penyihir jahat. Namun pada
perjalanan kehidupannya Waddhah bertemu dengan seorang alim agama sehingga ia
menemukan cahaya kebenaran. Kisah ini memberi tahu bahwa hidayah Allah SWT itu
selalu ada, tinggal manusianya mau mencarinya atau tidak.
Pada kisah
ini juga kita diperlihatkan bahwa tak ada yang mampu mengalahkan kekuasaan
Allah SWT. Apalagi orang yang mengingkari-Nya. Allah SWT selalu memperlihatkan
kekuasaannya bahwa mereka yang melampaui batas akan mendapat balasan.
Orang yang
mengingkari Tuhan dari masa ke masa akan tetap ada. Mungkin saja kebiadaban
yang dilakukan orang-orang tersebut akan terulang. Oleh karena itu para penegak
da’wah perlu selalu mengasah kesabaran dan kekonsistenan dalam berda’wah serta
mengutkan hubungan dirinya dengan Allah SWT. Hanya dialah yang mampu menolong
hamba-Nya.
Ujian dalam menegakkan kebenaran mulai dari yang ringan hingga
mengorbankan jiwanya. Sebagaiman Waddhah, da’wahnya menyeru ke masyarakat
berhasil ketika ia mengorbankan jiwanya, bahkan kematiannya.
Kisah ini
berlanjut hingga masa kini, kisah Sayyid Quthub misalnya, ia meninggal di tiang
gantung karena dianggap melawan negara, namun kematian beliau itulah yang
menyadarkan algojo yang menggantung beliau. Di detik-detik terakhir sebelum
akan digantung, sang algojo berkata kepada Sayyid Quthub, “Wahai Sayyid,
ucapkanlah Laa ilaha illallah!”, Sayyid Quthub pun menjawab, “Engkau mencari
makan dari kalimat itu sedangkan aku berada di sini karena mempertahankan
kalimat ini.” Sang algojopun terdiam. Kata-kata itu membekas di hatinya.
Pada
akhirnya ia bergabung pada nilai-nilai kebenaran itu. Bagi para penyeru da’wah
setiap peristiwa dapat menjadi lahan untuk berda’wah dan itu sudah dibuktikan
oleh Waddhah, Sayyid Quthub dan pemuda-pemuda lain yang seperti mereka.
Referensi :
1. Al Qur’an Terjemahan, DEPAG RI
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Majalah Sabili Edisi. No. 4 Th. VII 11 Agustus 1999/29 Rabi’ul Tsani 1420.
I. Pendahuluan
Allah SWT
berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah
yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada
penghuninya.” (QS. An Nuur (24) : 27). Dalam surat yang lain Allah SWT juga
berfirman : “Jika kalian dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah
penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).”
(QS. An Nisaa’ (4) : 86)
Mengucapkan
salam itu sunnah dan menjawabnya wajib. Dalam menjawab salam boleh melebihkan
dan tidak boleh menguranginya. Barang siapa yang biasa menyebarkan salam, maka
akan timbul kasih sayang dan dimudahkan ke dalam syurga, seperti disabdakan
oleh Rasulullah SAW : “Kamu tidak akan masuk ke dalam surga hingga beriman dan
kamu tidak beriman hingga saling mencintai diantara kamu. Sukakah saya
tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan akan timbul saling cinta diantara
kamu, sebarkanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim)
Abu Yusuf
(Abdullah) bin Salam ra. mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda
: “wahai sekalian manusia sebarkanlah salam, berilah makanan, hubungi famili
(silaturrahim), dan shalatlah di waktu malam ketika orang-orang sedang tidur,
niscaya kamu akan masuk dengan sejahtera ke dalam surga.” (HR. At Tirmidzi)
Selain itu,
Allah SWT akan mengganjarnya dengan pahala yang besar. Imran bin Husain ra.
mengatakan seorang datang kepada Nabi SAW dan mengucapkan “Assalamu’alaikum”,
maka dijawab oleh Nabi SAW. Kemudian ia duduk. Nabi berkata, “Sepuluh”.
Kemudian datang pula seorang yang lain memberi salam “Assalamu’alaikum
Warahmatullahi”. Setelah dijawab oleh Nabi SAW, ia duduk. Nabi pun berkata “Dua
puluh”. Kemudian orang ketiga datang dan mengucapkan “Assalaamu’alaikum
Warahmatullaahi Wabarakaatuhu”, maka dijawab oleh Nabi SAW dan Nabi berkata
“Tiga puluh”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi)
II. Keutamaan Salam
Rasulullah
SAW mengatakan bahwa dengan menyebarkan salam akan tumbuh rasa cinta diantara
kaum muslimin. Namun mengapa rasa cinta itu tidak tumbuh juga walaupun kita
sudah menyebarkan salam? Masalahnya mungkin karena kita tidak memahami
sepenuhnya apa yang kita ucapkan dan kita tidak mengucapkannya dari lubuk hati
kita.
Salam adalah doa. Salam bukalah ucapan basa-basi atau sekedar sopan santun
seperti ucapan “Selamat Pagi”. Bila kita mengucapkan salam, sadarilah bahwa
kita sedang mendo’akan saudara kita, mengharap kebaikan dan kesejahteraannya.
Ekspresikanlah salam kepada saudara kita dengan perasaan cinta, kalau perlu
tambahkan dengan do’a-do’a lainnya sehingga perasaan cinta pada saudara kita
itu semakin mendalam.
III. Aturan Salam
1. Dalam
menyebarkan salam ada aturan-aturan yang harus dipahami oleh seorang muslim,
diantaranya :
a. Ketika memasuki rumah (QS. An Nuur (24) : 61)
b. Ketika bertemu dan hendak berpisah
c. Orang yang berkendaraan lebih dahulu salam kepada yang berjalan kaki
d. Yang berjalan lebih dahulu salam kepada yang duduk
e. Yang sedikit kepada yang banyak
f. Yang lebih dahulu salam yang lebih baik
g. Setelah bertemu lalu terpisah (oleh pohon, dinding atau batu
diperjalanan kemudian bertemu kembali)
h. Dianjurkan memberi salam pada anak-anak dan kaum wanita
i. Tidak memberi salam kepada orang kafir (dilarang mendahului orang-orang
Yahudi dan Nasrani dalam mengucapkan salam. Jika mereka mengucapkan salam
kepada kita, maka jawabnya adalah “Wa’alaikum”. Namun boleh mengucapkan salam
pada suatu majelis yang di dalamnya terhimpun orang-orang Islam, musyrikin
penyembah berhala dan Yahudi)
j. Ketika hendak memasuki dan meninggalkan majelis
k. Berjabat tangan (dengan muhrim/sejenis)
2. Hukum
memberi salam kepada wanita
Imam Nawawi
ra. berkata : “Sahabat-sahabat kami (para pengikut mazhab Syafi’i) mengatakan
bahwa perempuan memberi salam kepada perempuan seperti halnya lelaki kepada
lelaki. Adapun perempuan kepada lelaki (atau sebaliknya), maka menurut Imam Abu
Sa’ad Al Mutawalli:
a. Jika
perempuan itu istrinya atau budak perempuannya atau salah seorang mahramnya,
maka hukumnya seperti memberi salam kepada lelaki sehingga dianjurkan salah
satu dari keduanya untuk memulai memberi salam kepada yang lain dan salam itu
wajib dijawab oleh yang diberi salam.
b. Jika
perempuan itu perempuan asing (bukan mahramnya), maka jika dia cantik
dikhawatirkan dapat terjadi fitnah, karena itu tidak boleh lelaki memberi salam
kepadanya. Kalau dia tetap memberi salam juga maka salamnya tidak berhak
dijawab. Jika dia tetap menjawab salam perempuan itu maka itu suatu kejelekan
baginya. Jika dia seorang perempuan tua yang tidak dikhawatirkan timbulnya
fitnah maka dia boleh memberi salam kepada lelaki dan salam itu wajib dijawab.
c. Jika
perempuan itu banyak jumlahnya, maka seorang lelaki boleh memberi salam kepada
mereka. Demikian juga sejumlah lelaki boleh memberi salam kepada seorang
perempuan, jika masing-masing dari mereka tidak khawatir akan terjadi suatu
fitnah.
IV. Penutup
Demikianlah
keutamaan menyebarkan salam, diharapkan persaudaraan dalam Islam akan tumbuh,
karena salam merupakan do’a yang disampaikan dari seorang saudara kepada
saudaranya yang lain.
Referensi :
1. Bahkan
Para Nabi pun Iri, Alwi Al Atas, S.S
2. Fiqih Wanita, Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah
3. Mensucikan Jiwa, Said Hawwa
I. Pendahuluan
Wanita
adalah sosok yang kerap kali menjadi perbincangan yang tiada habisnya. Sesuatu
yang menyangkut wanita akan terus mendapat perhatian untuk dibicarakan. Bagi
sebagian orang, wanita adalah masyarakat kelas dua. Ia tidak berhak untuk
berpendapat bahkan mengurus dirinya sendiri. Semuanya diatur oleh laki-laki. Di
satu sisi ada yang begitu memuja wanita. Hidup seakan mati tanpanya, segala
yang dilakukannya adalah untuk wanita.
Disisi lain
banyak para filosofis menganggap wanita sebagai biang keladi terjadinya
berbagai bentuk bencana dan tindak kriminalitas di dunia. Negara hancur karena
wanita. Seorang pangeran bahkan ada yang rela menanggalkan mahkotanya
kerajaannya karena wanita. Pertikaian muncul akibat perebutan wanita. Bahkan
muncul permasalahan dari kaum agama bahwa wanitalah yang menyebabkan Nabi Adam
as. turun ke bumi. Wanita dianggap penyebab terjadinya dosa.
II. Pandangan Manusia Terhadap
Wanita
Secara umum
ada dua kelompok manusia dalam memandang wanita, yaitu:
a. Kelompok
yang berbaik sangka kepada wanita, Seorang pujangga pernah berkata:
Kaum
wanita itu bagaikan minyak kesturi…
Yang diciptakan untuk kita…
Setiap kita tentu merasa senang mencium aromanya…
Seorang ibu ibarat sekolah…
Apabila kamu siapkan dengan baik…
Berarti kamu menyiapkan satu bangsa yang harum namanya…
…Dibalik keberhasilan setiap Pemimpin ada wanita…
b. Kelompok
yang menjadi musuh wanita, Pujangga lain berkata:
Kaum wanita
itu bagaikan syaithan…
Yang diciptakan untuk kita…
Kita berlindung kepada Allah…
Bila ada kerusakan di bumi ini lihat wanitanya…
Satu hal
yang perlu direnungi bersama adalah baik kelompok yang memuja maupun yang membencinya
terkadang melakukan tindakan eksploitasi terhadap keberadaan wanita. Seringkali
wanita tidak menyadari bahwa apakah dirinya dieksploitasi (dimanfaatkan) atau
dimuliakan. Oleh karena itulah setiap muslim perlu mengetahui bagaimana Islam
memperlakukan wanita. Berdasarkan lembaran sejarah, kita mengetahui bagaimana
wanita dapat memiliki dirinya sendiri dan menyadari keberadaannya tidak hanya
sebagai saudara dari laki-laki namun yang terpenting adalah hamba Allah SWT
yang sama-sama menyembah Allah SWT.
Islamlah
yang membebaskan wanita dari anggapan buruk terhina memiliki anak perempuan.
Kisah Umar bin Khatab menjelaskan bagaimana budaya Arab jahiliyah terhadap
wanita, sehingga ia rela menguburkan anak perempuannya agar tidak mendapat
malu. Pada saat itu wanita menjadi harta warisan bila ayahnya wafat. Islam
pulalah yang mengajarkan kedua orang tua untuk merawat dan mendidik anak
perempuannya bila keduanya ingin masuk syurga.
III. Pandangan Islam Terhadap
Wanita
Dalam Islam,
wanita bukanlah musuh atau lawan kaum laki-laki. Sebaliknya wanita adalah
bagian dari laki-laki demikian pula laki-laki adalah bagian dari wanita,
keduanya bersifat saling melengkapi. (QS. Ali Imran (3) : 195)
Dalam Islam
tidak pernah dibayangkan adanya pengurangan hak wanita atau penzhaliman wanita
demi kepentingan laki-laki karena Islam adalah syariat yang diturunkan untuk
laki-laki dan perempuan. Akan tetapi ada beberapa pemikiran keliru tentang
wanita yang menyelusup ke dalam benak sekelompok umat Islam sehingga mereka
senantiasa memiliki persepsi negatif terhadap watak dan peran wanita. Salah
satu contohnya adalah perlarangan wanita keluar rumah untuk menuntut ilmu dan
mendalami agama dengan alasan ada orang tua dan suami yang yang berhak dan
berkewajiban mendidik serta memberikan pelajaran. Akibatnya mereka menghambat
wanita dari pancaran ilmu pengetahuan dan memaksanya hidup dalam kegelapan dan
kebodohan.
1. Laki-laki
dan wanita dari asal yang sama, QS. An Nisaa’ (4) : 1
2. Tanggung jawab kemanusiaan seorang wanita, QS. Ali Imran (3) : 195
3. Pembebasan wanita dari kezhaliman jahiliyah, QS. An Nahl (16) : 58-59
4. Pembebasan wanita dari pengharaman hal yang baik pada masa jahiliyah.
Seringkali wanita diharamkan untuk memakan sesuatu atau memiliki sesuatu.
Ketika Islam datang maka pengharaman itu digugurkan, sehingga wanita memperoleh
hak yang sama mengenai hal ini, QS. Al An’aam (6) : 139
5. Pembebasan dari harta warisan dan dalam perkawinan, QS. An Nisaa’ (4) :
19
6. Pembebasan dari buruknya hubungan keluarga akibat perkawinan. Pada masa
jahiliyah, wanita yang telah menikah dengan bapaknya dapat diturunkan kepada
anak yang dilahirkannya sehingga akan menimbulkan kerancuan dan kehancuran
dalam keluarga namun setelah Islam datang semua itu diharamkan, QS. An Nisaa’
(4) : 22-23
7. Penegasan tentang karakteristik wanita muslimah :
a. Wanita
dan pria memiliki peran yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristiknya
masing-masing, QS. Al Lail (92) : 1-4
b. Menutup
aurat
Bila kita mau merenungi dan mengambil hikmah dari perintah Allah kepada
muslimah untuk menutup aurat pada dasarnya adalah menjaga dan melindungi wanita
itu dari kemungkinan negatif dari pandangan manusia yang melihatnya serta
menjaganya agar dapat aman beraktivitas, QS. An Nur (24) : 31
c. Mendapat
balasan yang sama dengan laki-laki di akhirat, QS. Al Hadid (57) : 12
Referensi :
1. Kebebasan Wanita Jilid 1, DR. Yusuf Qordhowi dan Muhammad Al Ghazali
2. Jati Diri Wanita Muslimah, Musthofa Muhammad Thahhan
Ta’rif Ghazwul Fikri
(Pengertian Ghazwul Fikri)
Perang salib
dalam arti peperangan fisik mungkin sudah berakhir. Namun, satu hal yang harus
disadari oleh kaum muslimin, peperangan yang bersifat non fisik sejatinya masih
terus berlangsung hingga saat ini. Peperangan inilah yang kemudian disebut
dengan istilah al-ghazwul fikri.
Secara
Bahasa, ghazwul fikri terdiri dari dua suku kata yaitu ghazwah dan fikr.
Ghazwah berarti serangan, serbuan atau invansi. Sedangkan fikr berarti
pemikiran. Jadi, secara bahasa ghazwul fikri diartikan sebagai
invansi pemikiran.[1]
Sebagian
orang menyebut ghazwul fikr dengan istilah perang ideologi,
perang budaya, perang urat syaraf, dan perang peradaban. Intinya, ia adalah peperangan
dengan format yang berbeda, yaitu penyerangan yang senjatanya berupa pemikiran,
tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda, dialog dan perdebatan.
Konon, orang
yang pertama kali menyadari pentingnya metode baru dalam menaklukkan Islam
adalah Raja Louis IX. Setelah ditawan oleh pasukan muslim di Al-Manshuriyah
Mesir pada perang salib ke VII[2], di dalam memoarnya ia menulis:
“Setelah melalui perjalanan panjang, segalanya menjadi jelas bagi kita.
Kehancuran kaum muslimin dengan jalan konvensional (perang fisik) adalah
mustahil. Karena mereka memiliki metode yang jelas dan tegas diatas konsep
jihad fii sabilillah. Dengan metode ini, mereka tidak pernah mengalami
kekalahan militer.” Ia melanjutkan: “Barat harus menempuh jalan lain (bukan
militer). Yaitu jalan ideologi dengan mencabut akar ajaran itu dan
mengosongkannya dari kekuatan, kenekatan dan keberanian. Caranya tidak lain
adalah dengan menghancurkan konsep-konsep dasar Islam dengan berbagai
penafsiran dan keragu-raguan.”[3]
Dalam
artikel berjudul: “Serial Perang Salib Modern #3: Perang Salib,
Benarkah?” disebutkan bahwa Raja Louis IX berkata: ”Tidak mungkin
meraih kemenangan atas umat Islam melalui peperangan. Kita hanya akan bisa
mengalahkan mereka, dengan cara sebagai berikut: (a) menimbulkan perpecahan di
kalangan pemimpin umat Islam. Jika sudah terjadi, perluaslah ruangnya sehingga
perselisihan ini menjadi faktor yang melemahkan umat Islam. (b) Tidak memberi
peluang berkuasanya seorang penguasa yang shalih di negeri-negeri Islam dan
Arab. (c) merusak pemerintahan di negara-negara Islam dengan suap, kerusakan
dan wanita sehingga fondasi bangunan terpisah dengan puncak bangunan. (d)
mencegah munculnya tentara yang meyakini hak atas tanah airnya, rela berkorban
demi membela prinsip tanah airnya. (e) mencegah terbentuknya persatuan bangsa
Arab di kawasan Arab. (f) Membuat sebuah negara Barat di tengah kawasan Arab,
mulai dari Ghaza di sebelah selatan, sampai Antokia di sebelah utara, kemudian
ke arah timur, terus memanjang sampai ke Barat.[4]
Sebelum menyimpulkan
pengertian ghazwul fikri, perlu kita ketahui empat kata kunci
dan target dari ghazwul fikri ini.
- Ifsadul akhlak (merusak akhlak), yaitu memporak-porandakan
etika dan moral kaum muslimin sehingga tidak lagi berakhlak sesuai etika
dan moral ajaran Islam. Kaum muslimin diserbu dengan budaya permissivisme
(paham serba boleh), hedonisme (paham memburu kelezatan materi), gemar
bersenang-senang, melepaskan insting tanpa kendali, berlebih-lebihan dalam
memuaskan kesenangan perut, mencabut nilai-nilai kesopanan, kesantunan,
dan rasa malu dari kalangan pria maupun wanita.
- Tahthimul fikrah (menghancurkan pemikiran), yaitu mengacaukan pemahaman
kaum muslimin dengan memunculkan berbagai macam isme-isme yang asing dan
bertentangan dengan ajaran Islam, seperti: atheisme, materialisme,
komunisme, liberalisme, dan lain-lain.
- Idzabatus syakhshiyyah (melarutkan kepribadiaan), yaitu menggoyahkan sikap hidup
kaum muslimin sehingga enggan beramar ma’ruf nahi munkar dan bahkan
bersikap mujamalah (basa-basi), toleran atau ikut-ikutan
kepada orang-orang yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Misalnya
dengan dalih HAM, tidak sedikit kaum muslimin ikut-ikutan mentolerir,
bahkan melegalkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Contoh: lesbian, gay, biseksual, dan transgander (LGBT).
- Ar-Riddah (murtad), yaitu melepaskan kewajiban agama,
mengingkarinya, bahkan keluar dari agama.
Target
dari ghazwul fikri ini adalah berubahnya pribadi-pribadi
muslim sehingga menjadi orang-orang yang memberikan al-wala-u lil
kafirin (loyalitas, kesetiaan, dan kecintaan kepada orang-orang yang
ingkar kepada Allah Ta’ala).
Menurut Ali
Abdul Halim Mahmud[5],
ghazwul fikri merupakan suatu upaya untuk menjadikan:
- Bangsa yang lemah atau sedang berkembang, tunduk
kepada negara penyerbu.
- Semua negara, negara Islam khususnya, agar selalu
menjadi pengekor setia negara-negara maju, sehingga terjadi
ketergantungan di segala bidang.
- Semua bangsa, bangsa Islam khususnya, mengadopsi
ideologi dan pemikiran kafir secara membabi buta dan serampangan,
berpaling dari manhaj Islam, Al Quran dan Sunnah.
- Bangsa-bangsa mengambil sistem pendidikan dan
pengajaran negara-negara penyerbu.
- Umat Islam terputus hubungannya dengan sejarah
masa lalu, sirah nabinya dan salafus saleh.
- Bangsa-bangsa atau negara-negara yang diserbu
menggunakan bahasa penyerbu.
- Ghazwul fikri adalah upaya melembagakan moral,
tradisi, dan adat-istiadat bangsa penyerbu di negara yang diserbunya.
Sejak awal,
Islam telah memperingatkan kaum muslimin agar waspada terhadap orang-orang
kafir dan munafik yang selalu berupaya menyesatkan mereka,
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir
sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).
Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka penolong-penolong(mu), hingga
mereka berhijrah pada jalan Allah.” (QS. An-Nisa, 4: 89)
*****
Dari uraian
di atas dapat kita simpulkan pengertian ghazwul fikri adalah
serangan pemikiran, ide, budaya, dan propaganda yang dilancarkan suatu
bangsa/peradaban kepada bangsa/peradaban lain sehingga mengalami kelemahan
mental dan dapat dikuasai untuk kepentingan mereka.
Wallahu
A’lam.
Besambung ke
materi selanjutnya, silahkan klik:
CATATAN
KAKI:
[1] Dikutip dari tulisan Bahron
Ansori: http://www.mirajnews.com/id/ghazwul-fikri-dan-kelompok-penebar-permusuhan/74746
[2] Dalam perang di Al-Manshurah,
sekitar 30.000 tentara Perancis gugur, tidak sedikit pula yang ditawan.
Sementara Raja Louis berhasil ditangkap dan dipenjara di rumah Ibnu Luqman.
Setelah membayar uang tebusan 10 juta Frank, Louis beserta sisa-sisa keluarga
dan pasukannya dibebaskan (Lihat: Buku Pintar Sejarah Islam, Qasim A. Ibrahim
& Muhammad A. Saleh, Penerbit: Serambi)
[3] Ibid. Penyusun
sampai saat ini belum menemukan buku rujukan asli yang menyebutkan tentang hal
ini.
[4] Lihat: https://www.arrahmah.com/read/2012/06/12/20462-serial-perang-salib-modern-3-perang-salib-benarkah.html
[5] Dr.Ali Abdul Halim Mahmud, Al – Ghazwul -Fikri wat –Tiyaratul–Muadiyah
Lil- Islam
Marahilul Ghazwul Fikri
(Bag. 1)
Fase Al-Inhilal
Ghazwul
fikri yang
dilancarkan oleh musuh-musuh Islam dilakukan secara bertahap melalui tiga
fase: al-inhilal (masa-masa degradasi kekuatan kaum
muslimin), al-ihtilal, yaitu fase pendudukan, perampasan, atau
penjajahan terhadap umat Islam, dan fase ma ba’dal ihtilal, yaitu
masa setelah pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam.
Dalam
tuliasan bagian pertama ini marilah kita ulas ghazwul fikri pada fase al-inhilal.
Pada fase
ini, mereka melakukan aktivitas al-istisyraq (orientalisme), at-tanshir (kristenisasi),
dan taqthi’u aushali daulatil khilafah (memutuskan hubungan
umat Islam dengan daulah khilafah).
Al-istisyraq (orientalisme)
Yang dimaksud
dengan orientalisme adalah sebuah studi yang dilakukan oleh orang-orang Barat
terhadap negara dan bangsa Timur (khususnya Islam-pent.) mengenai budaya,
bahasa, sejarah, agama, kondisi sosial, ekonomi, politik, dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan bangsa tersebut.[1]
Barat
membangun institut dan kelompok studi untuk kaum orientalis yang memberikan
perhatian khusus dalam bidang penerbitan manuskrip-manuskrip Islam. Selain itu,
mereka juga menerbitkan karya tulis berupa buku-buku yang berhubungan dengan
dunia Islam dan keislaman. Mereka memasukkan kritik-kritik terhadap Islam yang
bersifat subyektif, jauh dari obyektifitas.
Pada saat
dunia Islam melemah pada akhir abad 19 dan awal abad 20, para orientalis
menggunakan kesempatan tersebut untuk mentransfer manuskrip-manuskrip Islam dan
naskah-naskah dari dunia Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya ke
negara-negara Eropa, dengan cara membeli dari tangan orang Islam yang bodoh
ataupun mencurinya dari perpustakaan-perpustakaan umum. Sampai abad 19 saja,
mereka telah mentransfer sekitar 250.000 jilid manuskrip.[2]
Pada tahun
1873 M, untuk pertama kalinya kaum orientalisme mengadakan Konferensi
Internasional I di Paris.
Kaum
Orientalisme sekurang-kurangnya memiliki empat motivasi:[3]
- Motivasi
imperialisme, yaitu menjadikan orientalisme sebagai langkah awal dari
sebuah rencana invasi militer atau penguasaan negara lain.
- Motivasi
agama, yaitu menebarkan agama dengan cara melemahkan keyakinan orang lain
terhadap agamanya. Mereka menebarkan keraguan terhadap kebenaran risalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menuduh,
“Kitab Al-Qur’an adalah karangan Muhammad,” atau “Islam bukanlah agama
langit.”
- Motivasi
ilmiah, yaitu ada diantara mereka yang mempelajari Islam dengan motivasi
ilmiah semata. Bahkan diantara mereka ada yang masuk Islam setelah
menemukan kebenaran dalam studi yang mereka lakukan, misalnya, seorang
orientalis Prancis bernama Deney. Setelah masuk Islam namanya diganti
menjadi Nashiruddin Deney.[4]
- Motivasi
ekonomi, yaitu melakukan studi dengan tujuan untuk menguasai pasar dunia
Islam, menguasai lembaga ekonomi, mengeksploitasi sumber daya alam,
menjadikan negara-negara kaum muslimin sebagai konsumen produk-produk
negara Eropa.
At-tanshir (kristenisasi)
Yang
dimaksud dengan kristenisasi adalah semua bentuk usaha orang-orang kristen
dalam mengajarkan agama Kristen dan menyebarkannya ke berbagai negara.[5] Namun, kenyataannya kristenisasi ini hanyalah
menjadi tujuan sekunder. Tujuan utama mereka adalah imperialisme.
Pencetus
gerakan kristenisasi pasca kekalahan pasukan Kristen dalam perang salib adalah
Ramon Llull. Kegiatan ini bertambah besar pada abad ke – 18 dan abad ke -19,
dan mencapai klimaksnya pada abad ke-20 yaitu setelah berdirinya berbagai
organisasi misionaris di negeri-negeri kaum muslimin. Misi zending Kristen ini
gencar disebarluaskan pada masa imperialisme Barat terhadap dunia Islam.
Kaum
misionaris selalu mengadakan konferensi internasional untuk membahas segala
macam kendala yang mereka hadapi selama menjalankan misi kristenisasi. Di
antara konferensi yang telah mereka adakan antara lain :
- Konferensi
di Cairo ( Mesir ) pada tahun 1906
- Konferensi
di Edinburgh ( Skotlandia ) pada tahun 1910
- Konferensi
di Lucknow pada tahun 1911
- Konferensi
di Beirut pada tahun 1911
- Konferensi
di Yurusalem pada tahun 1924, 1925 dan 1928
- Konferensi
di Tunis ( Tunisia ) pada tahun 1931
Konferensi
tersebut dilaksanakan untuk mempelajari kondisi, karakteristik, dan jumlah kaum
muslimin diseluruh dunia. Selain itu, untuk mengetahui kondisi dunia Islam dari
segi politik, ekonomi, sosial, maupun budayanya. Konferensi yang mereka adakan
selalu dihadiri oleh pakar-pakar di bidang politik, sosial, budaya dan tokoh-
tokoh yang berkompeten dalam mendukung kegiatan kristenisasi dan imperialisme.[6]
Taqthi’u
Aushali Daulatil Khilafah (memutuskan hubungan umat Islam dengan Daulah
Khilafah)
Salah satu
kekuatan umat Islam yang tidak dapat dianggap enteng adalah kekuatan wihdah (persatuan)
dan ukhuwah (persaudaraan), yaitu kesadaran umat Islam bahwa
mereka—dimana pun berada—hakikatnya adalah satu kesatuan yang diikat oleh tali
persaudaraan berdasarkan kesamaan aqidah. Simbol persatuan umat Islam tersebut
adalah lembaga Daulah Khilafah.
Maka, guna
melemahkan kekuatan umat Islam, Barat kemudian mengarahkan makarnya ke arah
Daulah Khilafah Utsmaniyah yang saat itu masih tegak berdiri. Barat berupaya
memutuskan hubungan umat Islam dengan Daulah Khilafah ini, dengan cara
menebarkan ide nasionalisme di wilayah negeri-negeri muslim. Di Beirut muncul
Butrus al-Bustani, Mikhail Mishaqa dan Nasif al-Yaziji mendirikan The
Syrian Association for The Sciences and Arts pada tahun 1847 atas
inisiatif The American Mission. Pada tahun 1850
didirikan Eastern Association, lalu terbentuk pula The
Syrian Scientific Association pada tahun 1852 dan The Secret
Association pada tahun 1875.
The Secret
Association memposisikan
diri sebagai partai politik pertama yang fokus pada nasionalisme Arab. Parpol
ini membangkitkan permusuhan kepada Daulah Utsmaniyyah dan menyebutnya sebagai
Negara Turki. Mereka memperjuangkan pemisahan agama dari negara, menegakkan
nasionalisme Arab sebagai dasar persatuan dan mengubah loyalitas pada aqidah
Islam menjadi setia pada nasionalisme Arab. Sesuai namanya, parpol ini
menerbitkan selebaran-selebaran yang berisi hasutan bahwa Turki telah merampas
Khilafah dari bangsa Arab.
Di Istanbul,
muncul Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) dibentuk oleh Ahmad Ridha Beik
yang memiliki gagasan untuk mengimpor budaya Barat ke Turki. Gerakan ini
sungguh terpengaruh Revolusi Prancis dengan semboyannya: liberte,
egalite, dan fraternite. Timbulnya kaum terpelajar yang
berpaham modern memudahkan proses adopsi liberalisme, nasionalisme dan
demokrasi. Tokoh-tokoh mereka seperti Ziya Gokalp tampil sebagai sosok
Turki Muda pembawa semangat nasionalisme yang dominan dan fanatik. Nasionalisme
yang disebut Gokalp sebagai Turkisme Kultural tidak menuntut keberadaan faktor
religius. Ia merekomendasikan Syaikhul Islam sebagai representasi penerapan
hukum Islam agar dihapuskan. Pemikiran Gokalp menegaskan pemisahan agama
dengan politik. Gerakan Turki Muda membentuk Committee for Union
and Progress/CUP (Komite Persatuan dan Kemajuan) sebagai alat untuk
memperoleh kekuasaan secara terbuka. CUP menjadi aktor penting
dalam Daulah Utsmaniyah sepanjang tahun 1908-1918, termasuk memasok tiga
presiden pertama Republik Turki sekular.
Singkat
kata, CUP berhasil melancarkan kudeta dan merampas kekuasaan
yang diabadikan sejarah sebagai Revolusi Turki Muda (Young Turk Revolution)
pada tahun 1908. Pada musim gugur tahun yang sama, CUP mengadakan
konferensi di Salanik, Turki, sebagai sarana unjuk kekuatan. Pada saat
itu Ahmad Beik menyombongkan kekuatan gerakannya dan memastikan dukungan Eropa
kepada mereka. Selanjutnya saat Turki meresmikan pembentukan parlemen,
komite ini memperoleh kekuasaan lewat Partai Turki Muda.
Kekuasaan
itu mereka manfaatkan sebaik-baiknya untuk mengendalikan angkatan
bersenjata. Komite sadar betul bila berhasil mengendalikan angkatan
bersenjata, mereka akan mampu mengendalikan seluruh kekuasaan. [7]
Gagasan
nasionalisme kemudian menyebar ke seluruh wilayah Daulah Utsmaniyyah hingga
bangsa Albania, Sirkasia, Kurdi, Romawi dan Armenia sibuk mendirikan komite
demi memerdekakan diri dari kesatuan Khilafah.
Pada tanggal
18 Juni 1913 dengan bantuan Prancis, pemuda-pemuda Arab mengadakan konferensi
di Paris. Konferensi itu menjadi deklarasi pertama kaum nasionalis Arab
yang bersekutu dengan Inggris dan Prancis guna melawan Daulah Utsmaniyah.
Pada 16 Mei
1916, terjadilah persetujuan rahasia “Sykes-Picot” antara Perancis dan Inggris
yang menyepakati pembagian wilayah-wilayah kekuasaan Ustmani yang berhasil
mereka rebut. Maka munculah negara-negara kecil bernama: Libanon, Suriah, Irak,
Palestina, Yordania, Hijaz dan Yaman. Persetujuan ini dirahasiakan karena
bertentangan dengan janji-janji yang diberikan kepada Amir Makkah, Syarif
Husein Bin Ali. Kepadanya pemerintah Inggris menjanjikan kemerdekaan bagi
negara-negara Arab dan berdirinya Khilafah Islamiyah Arabiyah yang
dipimpin tokoh Mekkah atau Madinah, jika mendukung Inggris melawan Kekhalifahan
Utsmaniyah. Wilayah kekuasaan yang dijanjikan meliputi Hijaz (Makkah, Madinah,
Thaif), Jazirah Arab, Irak, dan Syam.
Pada 10 Juni
1916 Syarif Husein memproklamasikan pemberontakan Arab terhadap kekuasaan
Khalifah Turki Utsmani. Ia mengepung kota Madinah dan merebutnya dari kekuasaan
Daulah Utsmaniyah. Lalu putranya, Faishal bin Syarif Husain memimpin peperangan
pasukan Arab melawan pasukan Turki Utsmani di perbatasan wilayah Palestina.
Pasukan
berkuda Arab dipimpin oleh Pangeran Faishal bin Syarif Husain dan agen
intelijen Inggris, Lawrence of Arabia, menyerbu pasukan Turki Utsmani di
wilayah Jabal Druz, Baklabak, dan Ma’an. Sementara itu, Musthafa Kamal Pasha,
Panglima Pasukan Divisi VII Turki Utsmani, telah menjalin kesepakatan rahasia
dengan Inggris. Musthafa Kamal Pasha menarik mundur pasukannya tanpa menembakkan
sebutir peluru pun terhadap pasukan musuh. Atas pengkhianatannya itu, Inggris
menjanjikan Musthafa Kamal Pasha sebagai calon penguasa Turki Utsmani.
Pengkhianatan
Musthafa Kamal Pasha membuat pasukan Turki Utsmani yang kelaparan dan kehabisan
amunisi di kota Gaza dan Ma’an kewalahan menghadapi serbuan pasukan Arab.
Pasukan Turki Utsmani terpaksa ditarik mundur, sehingga kota Gaza dan Ma’an
jatuh ke tangan pasukan Arab.
Kemenangan
pasukan Arab itu merupakan sebuah kesuksesan besar bagi pasukan Inggris dan
Sekutu. Sebab, Palestina jatuh ke tangan pasukan Inggris dan Sekutu tanpa
tewasnya seorang pun tentara mereka dalam perang melawan pasukan Turki Utsmani.
Dengan mudah dan tanpa perjuangan apapun, Jendral Allenby membawa pasukan
Inggris memasuki kota Al-Quds pada tanggal 11 Desember 1917 M (1336 H). Dengan
congkak, ia mengeluarkan pernyataannya yang tercatat dalam sejarah “Sekarang
telah berakhir perang Salib!”.
Syarif
Husain dan bangsa Arab baru mengetahui hal itu setelah isi Perjanjian
Sykes-Picot dibocorkan dan dipublikasikan oleh pejuang revolusi komunis
Bolshevick, Oktober 1917.
Menteri
Penjajahan Inggris, Churchil, pada tahun 1921 M menggelar Konferensi Kairo.
Melalui konferensi tersebut, Inggris mendirikan sejumlah negara dan menentukan
raja-rajanya:
- Khilafah
Islamiyah atau Khilafah Arab berkedudukan di Makkah, dengan khalifahnya
Syarif Husain.
- Kerajaan
Mesir, dengan rajanya Fuad.
- Kerajaan
Irak, dengan rajanya Faishal bin Syarif Husain.
Namun
setelah itu, Inggris secara diam-diam juga menjalin kesepakatan dengan penguasa
Riyadh dan pemimpin politik gerakan dakwah tauhid Nejed, Pangeran Abdul Aziz
bin Abdurrahman Al-Saud. Dengan dukungan Inggris, pasukan Abdul Aziz bin
Abdurrahman Al-Saud mengalahkan pasukan Syarif Husain pada perang tahun 1925. Syarif
Husain akhirnya lengser dan menyerahkan tahta kerajaannya kepada putranya,
Syarif Ali bin Syarif Husain.
Namun,
kekalahan perang telah mengakibatkan kota Makkah jatuh ke tangan Abdul Aziz bin
Abdurrahman Al-Saud. Hal itu berarti Khilafah Arabiyah Makkah tumbang. Syarif
Ali dan keluarganya diberi jaminan untuk bergabung dengan saudaranya, Syarif
Faishal bin Syarif Husain di Irak. Sementara Syarif Husain sendiri dibuang ke
Cyprus sebagai tahanan politik dan meninggal di pembuangan pada tahun 1931. Makkah,
Madinah, Jeddah, dan Riyadh disatukan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud,
lalu ia mendirikan Kerajaan Alu Sa’ud.[8]
Bersambung
ke materi selanjutnya:
Marahilul Ghazwul Fikri (Bag. 2)
Fase Ihtilal dan
Fase Ma Ba’dal Ihtilal
Fase al-ihtilal, yaitu
fase pendudukan, perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam. Barat terus
melanjutkan aktivitas al-istisyraq (orientalisme) dan at-tanshir (kristenisasi),
juga berupaya melakukan fashlud dini ‘anid daulah (memisahkan
urusan agama dari kenegaraan), nasyrul qaumiyyah (menyebarkan
faham nasionalisme/kebangsaan), dan isqatul khilafah (meruntuhkan
khilafah).
Dari
pembahasan sebelumnya kita telah mendapat gambaran sekilas tentang aktivitas
orientalisme, kristenisasi, serta bagaimana tertanamnya ide sekularisme dan
nasionalisme di dunia Islam yang menyebabkan semakin lemahnya kedudukan Daulah
Khilafah Utsmaniyah.
Kekalahan
demi kekalahan yang dialami pasukan Turki Utsmani di negeri Syam dan Irak pada
masa revolusi Arab akhirnya memaksa Daulah Utsmaniyah untuk menyerah kepada
pasukan Inggris dan Sekutu. Inggris kemudian menyerahkan kepemimpinan Turki
kepada Musthafa Kamal sesudah berlangsungnya perundingan “Luzon” antara pihak
Inggris yang diwakili oleh Lord Cirzon, Menteri Luar Negeri Inggris, dengan
pihak Turki yang diwakili oleh Ismat Inonu, pembantu Musthafa Kamal.
Perundingan
Luzon berjalan selama tiga bulan, dari November 1922 hingga Februari 1923. Ada
empat syarat yang diajukan pihak Inggris kepada wakil Turki dalam perundingan
ini:
- Harus
bersedia menghapuskan Khilafah.
- Usaha
apapun yang bermaksud menegakkan kembali Khilafah harus ditumpas.
- Harus
bersedia mengambil undang-undang Eropa untuk menggantikan undang-undang
Islam.
- Harus
bersedia memerangi syi’ar-syi’ar Islam.
Akhirnya
Majelis Agung Nasional Turki mendeklarasikan Republik Turki pada tanggal 29
Oktober 1923 dan Musthafa Kamal berhasil menjadi presiden yang pertama. Dialah
yang menghapuskan kekhalifahan Turki Utsmaniyah pada 3 Maret 1924.
Berikutnya
fase ma ba’dal ihtilal, yaitu fase setelah pendudukan,
perampasan, atau penjajahan terhadap umat Islam. Atau bisa disebut pula:
fase setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pada masa inilah terjadi at-taghyir (perubahan)
yang demikian besar di dunia Islam, yaitu perubahan siyasiy (politik), ijtima’iy (sosial
kemasyarakatan), dan khuluqiy (moralitas). Sebagai contoh, di
Turki Musthafa Kamal dengan lancangnya melakukan penghapusan berbagai syi’ar
Islam, seperti: penggunaan bahasa Arab lisan maupun tulisan, pakaian muslim di
pasar-pasar, ibadah umrah dan haji, shalat berjama`ah, dan merubah Masjid
Aya Shofia menjadi gedung Museum. Kamal juga memaksa penduduk Turki memakai
topi ala Eropa dan melarang mereka memakai tarbusyi (songkok) dan
surban Turki, serta melarang pemakaian hithah dan ighal (jenis
ikat kepala) yang menjadi ciri bangsa Arab.[1]
Gempuran al-istisyraq (orientalisme), at-tanshir (kristenisasi), al-ladiniyyah (sekulerisme), al-qaumiyyah (nasionalisme/kebangsaan),
dan at-taghrib semakin deras. Dunia Islam pada saat itu begitu
terpuruk. Virus-virus pemikiran ini masuk ke berbagai bidang kehidupan kaum
muslimin, diantaranya melalui:
At-Ta’lim (pendidikan)
Bidang
pendidikan adalah bidang yang paling diincar oleh musuh-musuh Islam, karena
bila mereka dapat menguasainya, berarti mereka telah berhasil menguasai masa
depan dan peradaban umat Islam.
Maka, setiap
kali kaum imperialis memasuki suatu negara, mereka biasanya terlebih dahulu
menyerang strategi pendidikan di negara tersebut. Demikian juga kaum misionaris
kristen, mereka mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas
misionaris untuk mewujudkan tujuan mereka, yaitu memasukkan doktrin pemikiran
mereka, seperti yang terjadi di Universitas Amerika, di Beirut dan Cairo.
Dalam
Konferensi Kristenisasi tahun 1924 M, dirumuskan pesan-pesan misionaris, yang
antara lain berbunyi, “Dalam setiap kegiatan yang kita lakukan, kita harus memfokuskan
misi kita terhadap anak-anak keluarga muslim, sebab mereka ibarat benih yang
dapat kita petik buahnya dalam kurun waktu yang tidak lama. Garapan ini harus
kita prioritaskan dan kita dahulukan, daripada garapan lainnya, sebab penanaman
ruh Islam dalam pribadi mereka, telah dimulai sejak usia dini. Oleh karena itu
kewajiban kita adalah membina dan mengirimkan anak-anak Islam ke
sekolah-sekolah misionaris, sebelum sempurna perkembangan otak pemikiran dan
moral mereka dalam norma-norma Islam.”[2]
“Tujuan
utama kaum misionaris adalah, menguasai generasi baru dan mempersiapkan mereka
menjadi pelindung serta pendukung gerakan kristenisasi, tatkala anak-anak itu
sudah besar dan menjadi ahli politik, ilmuwan, sastrawan, intelektual, maupun
tokoh masarakat, di negara mereka pada masa mendatang. Mereka di harapkan akan
menjadi pembela serta secara nalurriah, lalu memberikan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada orang-orang yang telah mendidik dan mengajari
mereka.”[3]
Abdul Qadir
Al-Husaini, seorang mahasiswa Universitas Amerika pada saat yudisium wisudanya,
dengan ijazah tergenggam ditangannya, ia berdiri lalu berkata, ”Sungguh,
universitas ini tampil dihadapan masarakat, seolah-olah sebuah universitas
keilmuan, padahal sebenarnya, merupakan pusat dan sumber dari upaya
perongrongan aqidah Islam, karena selalu menjatuhkan dan menghujat Islam. Oleh
karena itu, tidak pantas bagi orang-orang Islam, memasukan anak-anaknya ke
universitas ini.” Kemusian Abdul Qadir Al-Husaini, mengungkap sejumlah
literature yang dijadikan buku pegangan, yang isinya menghina dan menghujat
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.[4]
Demikianlah,
dengan menguasai sistem pendidikan dan pengajaran. Mereka berupaya keras
mengganti kurikulum, metode, dan sistem pendidikan di dunia Islam dengan
kurikulum, metode, dan sistem pendidikan yang bersumber dari budaya, serta
pemikiran Barat, dengan tujuan, untuk mengangkat kebudayaan Barat, dan
menghancurkan kebudayaan Islam.
Menurut Dr.
Ali Abdul Halim Mahmud, invasi pemikiran di bidang pendidikan yang paling
berbahaya adalah mereka mendorong putra-putri Islam untuk belajar Islam di
negara-negara Barat. Maka, ketika mereka kembali ke pangkuan masyarakat muslim,
kebanyakan mereka mengagung-agungkan dan memuji-muji kebudayaan Barat, sambil
mencemooh habis-habisan kebudayaan Islam. Di mata mereka, kebudayaan Islam
sudah kuno, usang, dan tidak cocok lagi dengan zaman modern.
Al-I’lam (media)
Media
informasi modern yang canggih, serta dukungan dana yang besar, merupakan
senjata yang paling ampuh untuk mempengaruhi kaum muslimin secara langsung dan
cepat.
Oleh karena
itu, masuh-musuh Islam sangat berhasrat memanfaatkan media informasi tersebut
untuk menghancurkan norma dan budaya kaum muslimin, sehingga menimbulkan
kekacauan, kericuhan, dan penyimpangan di tengah kehidupan masarakat muslim.
Sebagian
besar kantor berita, stasiun televisi, stasiun radio, harian, majalah,
perusahaan perfilman dan periklanan, penerbitan, serta percetakan, tunduk di
bawah kekuasaan Barat dan Zionisme internasional.[5]
Semua media
informasi dipergunakan untuk menyiarkan acara dan program yang dapat menyulut
permusuhan etnis diantara ummat Islam. Selain itu, juga untuk menayangkan
berbagai macam film yang berisi adegan seksual dan tindak kriminal. Maka, para
remaja Islam yang sedang mengalami masa puber, bahkan orang tua sekali pun
menjadi rusak pemikirannya, lalu terdorong untuk melakukan hal yang serupa
dengan apa yang baru saja mereka saksikan.[6]
Al-Qanun (undang-undang)
Kaum
imperialis Barat semakin dalam menancapkan kuku-kukunya terhadap dunia Islam
dengan memaksa umat untuk tunduk kepada undang-undang buatan mereka. Walhasil
umat Islam beserta putra-putrinya semakin jauh dari nilai-nilai dan norma yang
dapat membentuknya menjadi pribadi muslim yang sejati.
Sebagaimana
dimaklumi, diantara faktor pembentuk karakteristik individu dan budaya suatu
masyarakat, selain pendidikan (keluarga, lingkungan, dan sekolah) adalah
undang-undang, peraturan, nilai-nilai, dan norma yang berlaku.
*****
Demikianlah
tahapan-tahapan invasi pemikiran yang melanda dunia Islam. Semuanya itu
menyebabkan umat ini semakin terpuruk dan kehilangan izzah-nya.
Marilah kita
renungkan kembali hadits berikut ini:
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kamu akan diperebutkan oleh bangsa-bangsa
lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkok.” Para sahabat
bertanya: “Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Beliau menjawab:
“Tidak, bahkan saat itu jumlah kalian banyak sekali tetapi seperti buih air bah
dan kalian ditimpa penyakit wahn.” Mereka bertanya lagi: “Apakah penyakit wahn itu
ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Terlalu cinta dunia dan takut kepada mati” (HR. Abu Daud).
Wallahu
A’lam.
[1] Lihat: Hidmul Khilafah
wa Bina-uha [Terjemahan:Runtuhnya Khilafah & Upaya menegakkannya,
Pustaka Al-Alaq: Solo.
[2] Dikutip oleh Nabil bin
Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam
fi Wajhit Targhib karya Anwar Al-Jundi, hal. 171.
[3] Dikutip oleh Nabil bin
Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam
fi Wajhit Targhib karya Anwar Al-Jundi, hal. 172.
[4] Dikutip oleh Nabil bin
Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari Al-Islam
fi Wajhit Targhib karya Anwar Al-Jundi, hal. 176.
[5] Dikutip oleh Nabil bin
Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul Fikri lil ‘Alamil Islami dari As-Saitharah
As-Shuhyuniyyah ‘ala wasailil I’lam Al-‘Alamiyah, karya Ziyad Abu
Ghanimah.
[6] Dikutip oleh Nabil bin Abdurrahman Al-Muhaisy dalam Al-Ghazwul
Fikri lil ‘Alamil Islami dari Ghazwun fish-Shamim, hal.
165, karya Abdurrahman Al-Maidani.
DAPATKAN FLASHDISKNYA DI :
IQROBOOKSTORE
PRODUK LENGKAP, DISKON SETIAP
HARI, SETIAP HARI DISKON
TELP : (021) 84598427
HP/SMS/WA : 0812-8091926
MENYEDIAKAN : BUKU BUKU ISLAM
DARI BERBAGAI PENERBIT
Buku Buku Referensi Kuliah, Buku
Cerita Anak, Komik Islam, Novel, Buku Kado Pernikahan, Buku Buku Best Seller
Dll
ANEKA AL QURAN INDONESIA &
TIMUR TENGAH ( MUSHAF UTSMANI )
Al Quran Mushaf Utsmani, Quran Hafalan, Quran Waqob Ibtida, Quran Terjemah
Perkata, Quran Tajwid Warna, Quran Wanita, Quran Lansia, Quran Anak, Quran Per
Juz, Dll
FILM FILM ISLAM, VCD & DVD
BACAAN MURATTAL AL QURAN ANEKA IMAM TIMUR TENGAH, ANEKA SPEAKER AL QURAN
ANEKA HERBAL
Madu, Kurma, Habbatussauda,
Minyak Zaitun, Sari Kurma, Air Zam Zam, Propolis, Qusthul Hindi, Sambiloto Dll
Jl.Transad 4 No.7 Ujung
Aspal Pondok Gede, Jatiranggon, Jatisampurna Bekasi
Komentar
Posting Komentar