Salim A Fillah
"seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris
rapi-rapi"
Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri
sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang
beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan
buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,
“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu
Amirul Mukminin?!”
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al
Khaththab.
”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat
tenaga dari pintu dangaunya,
“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini?
Masuklah kemari!”
Dinding dangau di samping Utsman berderak keras
diterpa angin yang deras.
“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh
pembantuku menangkapnya untukmu!”.
”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman!
Masuklah!”
“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah,
Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“
“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau
hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”
Angin makin kencang membawa butiran pasir
membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar
dibaliknya & bergumam,
”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau
memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”
‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya.
Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.
‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh,
tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini
memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab
& ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas
kepemimpinannya.
‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang
kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa
hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun
ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak.
Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya.
Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi
menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena
Allah & dibekalinya bertimbun dinar.
Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa
‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh
jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di
mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku
menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan
tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”
Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran
yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama
yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri,
atau baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah
dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada
dalam angannya.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus
pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani
dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada
saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara
menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara
yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya
agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas
hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk
menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti
tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan
begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.
“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar”
kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah.
Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan
rusak?”
“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman
Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”
Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan
generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut
orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi
Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi.
Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka.
Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah
itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk
juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka
jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing
hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan
masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi
akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang
masa.
Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima
bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai
sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”.
Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya
lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita
pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih
bercahaya.
Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini
dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung
kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung
kebenaran.”
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah
Komentar
Posting Komentar