Iman
adalah sumber energi jiwa yang senantiasa memberikan kita kekuatan untuk
bergerak menyemai kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam zaman kehidupan, atau
bergerak mencegah kejahatan, kebatilan dan kerusakan di permukaan bumi. Iman
adalah gelora yang memberi inspirasi kepada pikiran-pikiran kita, maka lahirlah
bashirah. Iman adalah cahaya yang menerangi dan melapangkan jiwa kita, maka
lahirlah taqwa. Iman adalah bekal yang menjalar di seluruh bagian tubuh kita, maka
lahirlah harakah (gerakan). Iman menenteramkan perasaan, menguatkan tekad dan
menggerakkan raga kita. Iman merubah individu menjadi baik, dan kebaikan
individu menjalar dalam kehidupan masyarakat, maka masyarakat menjadi erat dan
dekat. Yang kaya diantara mereka menjadi dermawan, yang miskin menjaga izzah
(menjaga kehormatan dan harga diri), yang berkuasa menjadi adil, yang ulama
menjadi taqwa, yang kuat menjadi penyayang, yang pintar menjadi rendah hati,
yang bodoh menjadi pembelajar. Ibadah mereka menjadi sumber kesalehan dan
kedamaian, ilmu pengetahuan menjadi sumber kekuatan dan kemudahan, kesenian
menjadi sumber inspirasi dan semangat kehidupan. Jika Anda bertanya, mengapa
Bilal dapat bertahan di bawah tekanan batu karang raksasa dengan terik matahari
padang pasir yang membakar tubuh? Mengapa ia yang tadinya hanyalah seorang
budak bisa berubah menjadi pembesar Islam? Lalu, mengapa Abu Bakar yang lembut
menjadi sangat keras dan tegar saat perang Riddah? Mengapa Umar bin Khattab
yang terhormat mau dengan sukarela membawa gandum ke rumah seorang perempuan
miskin dan Mengapa Khalid bin Walid lebih menyukai malam-malam dingin dalam
medan jihad fi sabilillah daripada seorang perempuan cantik di malam pengantin?
Mengapa Ali bin Abu Thalib mau memakai selimut Rasulullah saw dan tidur di
kasur beliau saat dikepung menjelang hijrah, atau hadir dalam pengadilan saat
beliau menjadi khalifah untuk diperkarakan dengan seorang warganya yang Yahudi?
Mengapa pula Utsman bin Affan bersedia menginfakkan seluruh hartanya, bahkan
membiayai sebuah peperangan di masa Rasulullah saw seorang diri? Jawaban semua
pertanyaan itu ada di sini: iman! Sejarah Islam sepanjang lima belas abad ini
mencatat, kaum muslimin meraih kemenangan-kemenangan dalam berbagai peperangan,
menciptakan kemakmuran dan keadilan, mengembangkan berbagai macam ilmu
pengetahuan dalam peradaban. Apa yang membuat mereka mencapai semua itu? Itulah
saat di mana iman mewarnai seluruh aspek kepribadian setiap individu muslim,
dan mewarnai seluruh sektor kehidupan. Tapi sejarah juga menorehkan luka.
Pasukan Tartar membantai 80.000 orang kaum muslimin di Baghdad, pasukan Salib
menguasai Al-Quds selama 90 tahun, surga Andalusia hilang dari genggaman kaum
muslimin dan direbut kembali oleh kaum Salib, Khilafah Utsmaniyah di Turki
dihancurkan gerakan Zionisme internasional. Apa penyebab kehancuran ini? Itulah
saat di mana iman hanya menjadi ucapan lisan dan tidak mempunyai hakikat dalam
jiwa dan pikiran, tidak memberi vitalitas dan dinamika dalam kehidupan, lalu
tenggelam dalam lumpur syahwat. Karena itulah penguasa mereka menjadi zalim,
orang kaya menjadi pelit, orang miskin menjadi pengkhianat, dan tentara mereka
tidak punya nyali! Abul Hasan Ali Al-Hasani Al-Nadwi mengatakan: saat kejayaan
adalah saat iman, dan saat keruntuhan adalah saat hilangnya iman. Sebagaimana
iman menciptakan keajaiban di alam jiwa, seperti itu juga ia menulis cerita
keajaiban di alam kenyataan. Gelora dalam jiwa pun menjelma menjadi
prestasi-prestasi sejarah.
Allah
swt berfirman: "Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami
hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu
dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang
yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali sekali tidak dapat keluar
daripadanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa
yang telah mereka kerjakan." (QS Al-An'am: 122) Sekarang, ketika kita
berbicara tentang proyek kebangkitan Islam, kita bertemu lagi dengan aksioma
ini; saat kejayaan adalah saat iman. Iman Syahid Hasan Al-Banna mengatakan:
"Orang-orang yang bekerja atau mengajak untuk membangun umat, mendidik
bangsa, memperjuangkan dan mewujudkan misi dan nilai-nilai dalam kehidupan,
haruslah mempunyai kekuatan jiwa yang dahsyat yang mengejawantah dalam beberapa
hal: • Tekad baja yang tak tersentuh oleh kelemahan • Kesetiaan abadi yang tak
terjamah oleh penyimpangan dan pengkhianatan • Pengorbanan mahal yang tak
terhalang oleh keserakahan atau kebakhilan • Pengetahuan, keyakinan dan
penghargaan terhadap konsep perjuangan yang dapat menghindarkan dari kesalahan,
penyimpangan, tawar menawar atau tertipu dengan konsep yang lain. Keempat hal
tersebut sesungguhnya merupakan pekerjaan pekerjaan khusus jiwa. Hanya di atas
pilar-pilar dasar itu, dan hanya di atas kekuatan iman yang dahsyat itu sajalah
umat yang sedang bangkit terdidik dan bangsa yang kokoh terbentuk. Siklus
kehidupan akan terbarui kembali bagi mereka yang tak pernah memiliki kehidupan
dalam waktu yang lama. Bangsa yang tidak memiliki keempat sifat ini, atau
setidak-tidaknya tidak dimiliki oleh para pemimpin dan pembaharunya, adalah
bangsa yang miskin dan tersia-siakan yang tak pernah meraih kebaikan atau
mewujudkan cita-cita. Mereka hanya akan hidup dalam dunia mimpi-mimpi, bayang-bayang
dan kesemuan. "Sesungguhnya dugaan-dugaan itu sama sekali tidak berguna
untuk (mendapatkan) kebenaran." (QS Yunus: 36). Inilah sunnah Allah bagi
seluruh makhluk-Nya, dan tidak akan ada penggantinya. "Sesungguhnya Allah
tidak akan merubah keadaan suatu kaum sampai kaum itu sendiri yang merubah
diri-diri mereka sendiri. " (QS Al-Ra'd: 11)." (Majmu'atur Rosail,
Hasan Al-Banna). Demikianlah. Jelas sudah, apa yang dibutuhkan gerakan
kebangkitan umat saat ini adalah mempertemukan umat dengan sumber energi
spiritual mereka: iman! Itulah persoalan kita, bahwa ada banyak kabut yang
menyelimuti pemahaman kita mengajarkan hakikat iman. Kesalahan atau kedangkalan
dalam pemahaman tentang iman, disertai kesalahan dalam menyusun dan
mengajarkannya, adalah sebab utama yang membuat iman kita tidak bekerja
semestinya. Ia tidak memberi inspirasi pada pikiran, tidak menerangi jiwa,
tidak melahirkan tekad dan tidak juga menggerakkan raga kita untuk bekerja
menyamai kebenaran, kebaikan dan keindahan dalam taman hidup kita. Karenanya
tidak ada keajaiban di alam jiwa, dan tidak akan terangkai keajaiban itu dalam
diri kita.
Oleh
: H. M. Anis Matta, Lc
Komentar
Posting Komentar