Hasan Al Banna, Pemegang Saham Kebangkitan Islam. Oleh M. Anis Matta

Agenda kebangkitan Islam, ketika itu masih berjalan ditempat. Di tengah majelis-majelis terbatas yang dihadiri para intelektual dan ulama, di kota Kairo, Mesir, tema kebangkitan ini belum beranjak dari sekedar wacana. Tepatnya wacana pemikiran politik.Pada pengujung abad ke 19 itu, Jamaluddin Al-Afghani mengangkat tema Pan Islamisme Sebab utama kemunduran umat Islam, katanya, adalah penjajahan negeri Barat atas dunia Islam. Jika ingin bangkit kembali, umat Islam, atau dunia Islam, harus bersatu melawan musuh bersama mereka: penjajahan.

Suatu saat kemudian,seorang pemikir Syria, Abdurrahman Al-Kawakibi, datang menjelaskan tesis  Al-Afghani tsb. Dalam buku Thabai'ul Istibdad, ia menulis, bahwa kemajuan setiap bangsa selalu dimulai dari kebebasan dan kemerdekaan. Itulah landasan mentalitas bagi setiap usaha kebangkitan. Begitu tirani dan sang Tiran datang merenggut kebebasan sebuah bangsa, segera saja bangsa itu mengundurkan diri dari pentas sejarah. Jadi tirani adalah akar dari seluruh dosa peradaban dan politik. Kita harus segera membebaskan diri dari rengkuhan tirani itu, agar kita dapat membangun peradaban kita sendiri. Dan, bagi Al-Afghanì, hanya satu jalan untuk itu: Pan Islamisme. Umat Islam harus bersatu.

 

Dari majlis Al-Afghani yg terbatas di kota Kairo itu, muncul seorang murid, yang kemudian dikenal sbg seosang ulama besar dan pembaru dalam sejarah Islam modern, Muhammad Abduh. Ia menerima tesis Al-Afgani tentang kolonialisme dan penjajahan sebagai musuh utama. Tapi baginya, tesis itu tidak sempurna. Jalan politik saja tdk akan menyelesaikan masalah umat Islam. Jalan politik harus disempurnakan dgn perbaikan pendidikan. Umat Islam bukan saja menghadapi masalah keterjajahan, tapi juga masalah keterbelakangan dan kemiskinan. Dan kata kunci untuk kedua persoalan terakhir adalah pendidikan. Bersama seorang muridnya yang jenius Muhammad Rasyid Ridha, Abduh membukukan gagasan pembaruannya dalam Tafsir Almanar. Bagian lain yg berserakan kemudian dikumpulkan oleh seorang pemikir Mesir berhaluan kiri kemudian bertaubat, Muhamad Imarah, dalam “ Al-A'mal Al-Kamilah”.

Itulah wacana yg berkembang di Mesir di pengujung abad ke 19 dan awal abad ke 20. Hampir seluruh bagian dunia Islam saat itu berkiblat ke Mesir, sebagai pusat kekuatan ilmiah dan spiritual dunia Islam, ketika khilafah Islamiyah di Turki sedang kedodoran menghadapi konspirasi internasional, di samping secara sistematis diisoasi dari negara-negara Islam lainnya, khususnya negara-negara Arab, melalui itu nasionalisme. Salah satu pengaruhnya adalah munculnya pergerakan Muhammadiyah di Yogyakara di bawah pimpinan KH. Ahmad Dahlan, tahun 1912.

 

Pendahuluan sejarah ini agaknya pentìng diketengahkan untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang maqom seorang pemikir dan pelaku sejarah yg sedang kita bicarakan: Hasan Al-Banna. Sebab lelaki sejarah ini memang lahir di tengah wacana pemikiran seperti itu, tepatnya pd thn 1906. Proses kebangkitan sebuah bangsa atau umat pertama-tama haruslah di pandang sebagai sebuah proyek peradaban yg besar dan kompleks. Proses itu terdiri dari sekian banyak pekerjaan yg bersifat sikuensial, bertahap, komprehensìf dan integral. Tentu saja itu membutuhkan waktu yg panjang. Dalam pendekatan seperti itu, proses kebangkitan sebuah umat haruslah dikelola dgn metode-metode perencanaan statregi sosial. Dan itulah yg kemudian dilakukan Hasan Al-Banna. Ia memulai pekerjaannya dengan menganalisa kondisi internal umat islam serta lingkungan strategis yg mempengaruhinya. Setelah itu ia menetapkan sasaran dan target tertinggi yg harus dicapai oleh umat Islam, sebagai misi hidup yg dibebankan kepadanya. Yaitu menegakkan khilafah dan menjadi soko guru umat manusia. Atas dasar itulah ia menetapkan pilihan strategi perjuangannya, serta alfabet pekerjaan-pekerjaannya dalam kerangka strategi besar itu.


Siapapun yg meneliti tulisan-tulisan – Al Banna, serta warisan terbesarnya, al-Ikhwanul muslimin, akan dgn yakin mengatakan, bahwa beliau adalah seorang perencana sosial yang ulung. Setelah ia menyelesaikan -peta masalah- dunia Islam, menetapkan sasaran targetnya, ia memulai pekerjaannya dgn mendirikan sebuah organisasi, Al-Ikhwanul Muslimin pd th 1928, tepat ketika ia berusia 22 tahun. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa gagasan-gagasan besar hanya akan menjadi kenyataan jika ia bekerja di dalam melalui organisasi. Maka jejaknya yg paling abadi adalah ia mentransformasi wacana kebangkitan islam menjadi sebuah gerakan, yg bekerja pada semua lini kehidupan umat. Pikiran adalah arah, tapi gerakan adalah tanda kehidupan.

 Umat ini sama sekali tidak mempunyai sebuah struktur yg kuat. Struktur sosìal para pemimpin, yg akan mengisi lokomotif pembawa gerbong bernama umat. Itulah sebabnya, organisasi yg dibentuknya memfokuskan diri pada kerja-kerja rekonstruksi sosial, yg terutama bertumpu pada pembangunan manusia, pembentukan kader.


Aset perubahan


Albanna percaya bahwa perubahan besar harus dilakukan, dg cepat tapi tidak harus menempuh jalan pintas. Al-Banna sangat percaya pd prinsip pertumbuhan yg cepat namun terkendali. Sebab perubahan yg terlalu cepat tidak selalu merupakan karunia bagi umat. Perubahan besar dan cepat harus dimulai dari manusia. Karena itu, begitu ia merasa relatif selesai dari pekerjaan ini, sepuluh tahun kemudian, ia memutuskan untuk memasuki jalan tol kebangkitan Islam. Organisasi yg semula bekerja secara rahasia, kini telah memiliki aset perubahan yg memadai. Namanya kader. Karena itu ia memutuskan untuk bekerja secara terbuka.


Pada dasawarsa kedua organisasinya, Mesir telah menjadi zona terpanas seluruh dunia Islam. Ia telah menjadi ruh kebangkitan bangsa Mesir, dan bagian lain di dunia Islam. Kader-kader Ikwan ada pada seluruh lapisan sosial masyarakat Mesir, dan bekerja pd hampir semua jenis profesi. Seperti kata Iqbal, daun-daun yg berserakan kini telah menjadi satu.


Gaung perubahan dan kebangkitan segera membahana ke seluruh pelosok Mesir dan beberapa negara tetangganya. Mesir di ambang sebuah perubahan besar dlm sejarahnya. Dari sebuah gerakan kader yg kecil pd th 1928, Ikhwan berkembang menjadi gerakan massa yg memenuhi seluruh pojok negeri itu. Bukan hanya itu. Ikhwan bahkan berkembang menjadi sebuah miniatur negara, karena ia mengerjakan sebagian besar pekerjaan yg merupakan tugas dan fungsi negara. Ia mendirikan sekolah, rumah sakit, klub olah raga, forum ilmiah, lembaga riset, masjid, perusahaan dan lainnya. Ia mengelola aktivitas ibadah, pendidikan, bisnis, sosial dan politik. Ia telah mengintegrasikan empat kekuatan sekaligus : konsep, kader, masa dan organisasi.

 



Tapi karena itulah ia menjadi ancaman bagi barat. Hanya dua tahun setelah kelahiran Al-Ikhwan, tapatnya pd th 1930, seorang orientalis Inggris, Hamilton Gibb, menulis dalam -Pemikiran Islam Modern-, sebuah rekomendasi untuk pemerintah Inggris. Dua tahun, kata Gibb, memang tidak cukup untuk mengambil kesimpulan apapun tentang organisasi Ikhwan. Tapi intuisinya nengatakan, organisasi ini kelak menjadi ancaman bagi Inggris. Ia harus di awasi.

Hanya berkisar 18 th kemudian, ramalan terbukti bagi Inggris. Al-Banna telah menjadi ancaman. Ia harus diakhiri. Pada tahün 1948, sebutir peluru mengakhiri hidup al-Banna. Ia Syahid muda. Usianya baru genap 42 tahun.


Tapi sesungguhnya Al-Banna tidak mati. Umur sejarahnya lebih panjang dari umur biologisnya. Bahkan ketika pimpinannya dipenjara setelah kematiannya selama lebih dari 20 tahun, al-Banna tidak juga mati. Ikhwan juga tidak mati. Al-Banna dan ikhwan justru menyebar keseluruh penjuru dunia, setidaknya di lebih dari 70 negara Islam. Al-Banna dan Ihkwan telah menjadi legenda kebangkitan islam.


Albanna memang tidak sempat menyelesaikan seluruh agenda kebangkitannya. Tapi ia telah memulainya dgn benar, dan menyelesaikan beberapa tahapannya. Namun kader-kadernya mengetahui apa yg harus mereka lakukan setelah kepergian al banna. Mungkin tidak peting bagi al-Banna untuk disebut sebagai bapak revolusi, atau bapak perubahan, atau bapak pembaruan, atau sejenisnya. Tapi kita, atau tidak-tidaknya saya, bisa mengakatan bahwa Al-Banna adalah pemegang saham terbesar dari fenomena kebangkitan Islam abad 20.

[M. Anis Matta] [Sabili, NO. 01 TH. X 25 JULI 2002/ 14 JUMADIL AWAL 1423

 

Komentar